webnovel

Pelantikan Pin (6)

Putra menghela nafas berat.

"Mana bukunya?" pinta Putra.

Ditya menyerahkan bukunya dengan senyum kemenangan. Putra kemudian membubuhkan tanda tangannya di buku Ditya dengan perasaan yang sungguh sangat amat terpaksa.

"Ini." Putra mengembalikan buku itu kepada Ditya.

"Akhirnya Ditya dapet tanda tangan pak ketua juga." Desta memberikan applaus padanya.

"Ini kak." Ditya memperlihatkan tanda tangan Putra kepada Rian.

"Ok. Good job." kata Rian. "Terimakasih ya, Put."

"Harusnya Ditya yang berterimakasih, Kak. Bukan kakak" protes Putra.

"Oh, iya. Saking senangnya, aku sampai lupa berterimakasih." Ditya mengoreksi kesalahannya sendiri. "Terimakasih kak Putra." ucapnya dengan nada gembira.

"Kamu senang karena dapat tanda tangan aku, kan? Jujur aja kalau selama ini sebenarnya kamu ngefans kan sama aku?" tanya Putra dengan penuh percaya diri.

Ditya tertawa terbahak-bahak. "Aku senang bukan karena dapat tanda tangan kakak. Tapi karena aku nggak harus menghitung jumlah daun-daun itu." katanya sambil menunjuk ke arah pohon.

"Putra . . . Putra . . . Aku turut prihatin ya, atas kejadian hari ini." kata Desta.

Putra terlihat kesal sementara Rian masih belum mengerti apa yang sedang terjadi disana.

"Jadi, kapan aku bisa mendapatkan pinnya?" tanya Ditya pada Rian.

"Sebaiknya kita kembali ke tempat tadi dulu ya." ajak Rian. Ditya mengangguk setuju dengan perasaan senang.

"Kak! Kakak harus berhati-hati sama Ditya. Jangan sampai kakak dipermainkan sama perempuan ini." Putra memberi peringatan pada Rian saat Rian dan Ditya meninggalkan mereka. Rian mengacungkan jempolnya ke atas tanpa melihat ke arah Putra.

Rian dan Ditya pun kembali menuju tempat semula. Ketika mereka berjalan, diam-diam Rian memandangi Ditya. Dia ingin sekali bertanya pada Ditya mengenai kejadian tadi. Tapi dia sadar bahwa dia tidak sedekat itu dengan Dirya.

Ditya menyadari apa yang dilakukan oleh Rian dan itu membuatnya canggung.

"Kenapa, Kak? Kayaknya ada yang mau kakak tanyain ke aku." tanya Ditya.

Rian terkejut karena ternyata Ditya menyadari apa yang sedang dia lakukan. "Ehm . . . Sebenarnya apa yang baru saja terjadi? Kenapa kamu kembali begitu lama?"

"Tadi ada sedikit insiden." kata Ditya sambil tertawa karena mengingat kembali kejadian tadi. Dia jadi membayangkan betapa kesalnya Putra saat ini. Dan hal itu benar-benar membuatnya puas.

"Oh." ucap Randy. "Kamu dekat ya sama Putra?"

"Nggak kak."

"Tapi tadi kalian kelihatan akrab." kata Rian.

"Apa kakak nggak salah lihat? Aku sama dia apanya yang akrab?" tanya Ditya bingung. "Kak Desta aja sampai bilang kami itu kayak Tom and Jerry."

"Kenapa Desta bilang begitu?"

"Ya karena kami memang nggak pernah akur dan selalu bertengkar setiap kali bertemu." jelas Ditya.

"Tumben." kata Rian singkat.

"Apanya yang tumben kak?"

"Biasanya wanita yang mengenal Putra akan bersikap baik sama dia, dan begitu pula sebaliknya. Putra selalu memperlakukan wanita dengan baik. Aku bahkan sempat memperhatikan para junior perempuan yang mengambil pin dengan Putra. Semuanya terlihat mengelu-elukannya."

"Itu dia, Kak, yang membuatku heran. Kenapa semua perempuan itu mengidolakan dia. Dibilang cakep tapinya biasa aja, kepintarannya juga standar yang ada malah nyebelin banget orangnya. Tapi aku akui dia memiliki kemampuan verbal yang sangat bagus. Itulah alasannya kenapa banyak wanita yang tertarik kepadanya. Karena dia bermulut manis." Ditya memaparkan pendapatnya mengenai Putra pada Rian. Rian hanya tertawa kecil mendengar celotehan Ditya.

"Kamu sepertinya sering memperhatikan Putra sampai kamu mengenal kepribadiannya." Rian menaruh curiga pada Ditya.

"Aku bukan memperhatikannya kak. Tapi itu muncul begitu saja ketika aku bertemu dengannya. Ketika aku melihat atau bertemu seseorang aku mempelajari bagaimana karakteristik orang tersebut dari cara bicaranya dan gerak-geriknya. Aku selalu tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan psikologi. Hal ini sangat membantuku beradaptasi dengan lingkungan sekitar."

"Lalu kenapa kamu nggak ambil jurusan psikologi aja?" tanya Rian.

"Karena disini nggak ada jurusan psikologi kak." Ditya tersenyum. "Lagipula aku memang ingin menjadi guru sejak kecil. Dan untuk menjadi seorang guru, aku harus memahami karakteristik setiap orang agar aku bisa memahami karakter siswa aku nanti."

"Iya juga, sih." kata Rian. Semakin Rian mengenal Ditya, dia merasa semakin kagum terhadapnya.

Tanpa terasa mereka sudah tiba di tempat tadi. Rian pun duduk di bangku sementara Ditya berdiri di hadapannya.

"Kamu nggak capek dari tadi berdiri terus? Duduk aja." kata Rian.

"Emang nggak kenapa-kenapa, Kak?" tanya Ditya khawatir.

"Loh, memangnya kenapa? Memangnya ada larangan buat kamu untuk duduk?" tanya Rian.

"Nggak sih." jawab Ditya. Akhirnya dia duduk diujung bangku, menjaga jarak dengan Rian karena dia takut beredar isu yang tidak sedap.

"Aku kenal Putra semenjak dia bergabung dengan klub musik. Dia itu aktif, supel, dan punya jiwa kepemimpinan. Selama aku kenal dengannya, ini pertama kalinya aku melihat dia bertengkar dengan seorang perempuan." Rian tiba-tiba membahas Putra di hadapan Ditya. "Sepertinya kamu itu memang spesial di matanya."

"Martabak telor kali ah, spesial." Ditya tertawa lagi. "Kakak itu ada-ada aja. Dia itu selalu mencari gara-gara sama aku. Bagaimana mungkin dia menganggap ku spesial?" tanya Ditya. "By the way, kenapa kita jadi ngomongin dia, sih? Kapan aku bisa dapat pinnya kak?"

"Oh iya. Karena keasikan ngobrol, aku sampai lupa. Ini pin kamu." Rian mengambil pin dari dalam saku kemejanya dan menyerahkannya kepada Ditya.

Ditya menerimanya dengan senang hati. "Terimakasih kak."

"Iya sama-sama, Dit."

"Oh, ya ada satu lagi." kata Rian.

"Apa kak?"

Rian memasukkan tangannya ke dalam saku kemejanya lagi. Lalu dia mengeluarkan benda dari dalam sana dan menunjukkannya pada Ditya. Benda itu adalah sebuah gelang yang dulu pernah tersangkut di baju Rian.

"Apa ini milik kamu?" tanya Rian.

Ditya memperhatikan gelang yang ada di telapak tangan Rian. Dan itu memang gelang miliknya yang hilang.

"Benar kak. Bagaimana gelang ini bisa ada di kakak? Aku udah lama cari gelang ini sampai akhirnya aku berpikir kalau gelang ini udah bener-bener hilang." Dia mengambil gelang itu dari tangan Rian. Namun dia heran kenapa gelang itu bisa ada pada Rian.

"Kamu ingat nggak kejadian waktu kita pertama kali bertemu?" tanya Rian.

"Ingat, Kak. Waktu di KOPMA kan? Aku nabrak kakak waktu itu dan meninggalkan dompetku di kasir sampai kakak harus menyusul aku ke jurusan." jawab Ditya.

"Dan sepertinya gelang kamu tersangkut di baju aku ketika kita bertabrakan. Awalnya juga aku nggak sadar. Setelah aku mengembalikan dompet kamu, aku pergi ke kesekretariatan Musik untuk bertemu Putra dan yang lainnya. Lalu Desta melihat gelang ini terkait di baju aku. Dari situ aku sadar kalau itu mungkin milik kamu. Karena hanya kamu yang pada saat itu memiliki kontak fisik dengan aku." Rian menceritakan kronologis kejadian sebulan yang lalu saat mereka bertemu. "Setiap kali aku membawa gelang ini karena aku pikir mungkin kita akan bertemu lagi. Jadi aku bisa mengembalikannya ke kamu. Aku bahkan sempat mencoba beberapa kali ke jurusan kamu, tapi aku nggak pernah melihat kamu disana. Mau bertanya pun, aku nggak bisa karena aku nggak tahu kamu kelas apa atau bahkan nama kamu. Jadi maaf ya, kalau aku terlambat mengembalikannya."

"Nggak apa-apa kok, kak. Aku justru sangat berterimakasih karena kakak masih menjaga gelang ini dan berusaha mengembalikannya." kata Ditya ramah.

"Kamu nggak perlu sungkan. Itu kan sebuah ketidaksengajaan. Kalau begitu, kita kembali berkumpul dengan yang lain, yuk. Sebentar lagi waktunya istirahat." ajak Rian.