Randy memacu kendaraan bermotornya dengan kecepatan sedang. Dia ingin menikmati setiap detik yang dia miliki bersama Ditya. Biarlah tetap seperti ini adanya, asalkan Ditya bisa selalu ada bersamanya, pikir Randy. Sayangnya jarak pusat perbelanjaan ini dengan kontrakan Ditya terbilang cukup dekat, sehingga hanya dalam hitungan 10 menit, Randy dan Ditya telah tiba di tujuan.
Ditya turun dari motor, "Kakak mau mampir dulu?" tanyanya.
"Nggak usah, Dit. Kamu pasti capek hari ini, lebih baik kamu beristirahat aja," kata Randy, "Oh ya, aku punya sesuatu lagi untuk kamu."
Randy mengeluarkan salah satu buku yang dia beli tadi dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Ditya. Buku itu adalah buku yang dibaca oleh Ditya saat di toko buku, karangan Rick Riordan.
"Ini untuk aku, Kak?"
Randy mengangguk.
"Terimakasih sebelumnya, tapi aku nggak bisa nerima ini." kata Ditya sedih.
"Kenapa?"
"Kakak udah berbuat banyak hal untuk aku hari ini, mulai dari membelikan sepatu sampai mengantar aku pulang. Masa kakak masih memberikan buku ini untuk aku?"
"Aku memang udah berniat membelikan kamu buku ini saat aku melihat kamu membacanya. Aku tau betul kalau kamu sangat menyukai cerita semacam ini, jadi aku memutuskan untuk membelinya. Kalau masalah sepatu kan itu hal yang nggak terduga. Anggap aja itu sebagai sebuah bonus."
"Harusnya kakak cepet-cepet punya pacar biar bisa membelikan dia hadiah," tawa Ditya, "Overall, makasih ya kak, untuk hari ini."
"Aku yang harusnya berterimakasih karena kamu udah mau nemenin aku hari ini. Kamu masuk, gih, biar bisa istirahat."
"Aku tunggu kakak pulang dulu baru aku masuk."
Randy menggelengkan kepala, "Aku nggak akan pulang sebelum kamu masuk."
"Ok, kalau begitu. Aku masuk ya, kak. Kakak hati-hati nanti pulangnya." kata Ditya. "Bye . . ."
Ditya masuk kedalam kontrakan, dan begitu Ditya menutup pintu, Randy langsung menjalankan motornya dan kembali ke rumahnya.
-- Jam 19.00 --
Ditya sedang membereskan kamarnya dari mulai merapihkan perabotan sampai membersihkan debu di kamarnya. Ketika dia membuka laci dan melihat tempat dia biasa meletakkan perhiasan, dia langsung panik karena gelangnya tidak ada disana. Dia lalu meraba dan melihat tangannya, namun nihil. Gelang itu juga tidak ada disana.
Dengan panik dia pergi keluar kamar dan menanyai teman-temannya.
"Temen-temen, ada yang lihat gelang aku nggak?"
"Gelang apaan, Dit?" tanya Yuni.
"Gelang emas, modelnya rantai. Barusan aku beres-beres kamar, pas aku buka laci, gelangnya udah nggak ada."
"Coba kamu ingat-ingat lagi, mungkin kamu pernah pakai gelang itu." kata Anisa.
Ditya berpikir sejenak, "Oh iya, aku sempet pakai kemarin waktu ke kampus, setelah itu aku nggak ingat lagi apa aku masih pakai gelang itu atau nggak."
"Jangan-jangan gelang kamu jatuh di jalan lagi." kata Triana.
"Ya ampun . . . Bagaimana dong?"
"Coba kita bantu cari, siapa tau ketemu." kata Niar berusaha menenangkan Ditya.
Mereka mencari gelang Ditya dari segala penjuru ruangan. Tapi hasilnya nihil.
"Kalau masih rejeki kamu, pasti nanti ketemu kok, Dit." hibur Niar.
"Iya, Niar. Kalau memang hilang berarti bukan rejeki aku." kata Ditya lemas.
-- Di Fakultas Ekonomi --
"Eh, kapan kamu mau mulai bikin proposal penelitian?" tanya Fajar pada Veri, salah satu teman sekelasnya yang memilik rambut ala-ala boyband Korea.
"Nanti lah, nunggu moodnya belum dateng-dateng," Veri tertawa.
"Nanti keburu tua di kampus, loh!" ejek Satria.
"Eh, itu Sarah! Sarah, sini!" panggil Fajar.
Sarah tersenyum dan menghampiri mereka.
"Kamu abis ngapain, Sarah?" tanya Veri.
"Aku baru aja selesai konsultasi sama *DosPem masalah Penelitian."
"Randy mana? Biasanya kamu bareng sama dia. DosPem kalian juga sama kan?" tanya Veri.
"Kayaknya dia nggak bimbingan deh, hari ini." jawab Sarah.
"Ngomong-ngomong masalah Randy, apa kamu tau kalau Randy udah punya pacar?" Fajar bertanya pada Sarah.
"Pacar?" tanya Sarah terlihat terkejut.
"Jadi kamu beneran nggak tau?" tanya Satria tidak percaya.
"Emangnya kamu tau darimana kalau Randy punya pacar? Kalaupun memang Randy punya pacar, aku malah berpikir kalau pacarnya itu adalah Sarah. Jadi kalian berdua nggak pacaran? tanya Veri.
Sarah menggelengkan kepala, "Baik aku ataupun Randy kan sering bilang kalau kami hanya berteman." jelas Sarah, "Kalian pernah ketemu dengan pacar Randy?"
"Kemarin kami jalan ke Mall, terus kami bertemu dengan Randy. Dia sedang makan dengan beberapa perempuan. Dan sepertinya salah satu diantara mereka adalah pacarnya. Soalnya Randy perhatian banget sama perempuan itu." Fajar menceritakan kejadian kemarin. "Iya kan, Sat?" tanya Fajar pada Satria seolah meminta dukungan.
"Betul. Waktu perempuan itu tersedak aja, Randy langsung sigap nepuk-nepuk punggungnya, sambil memberinya minum. Pokoknya dia kelihatan perhatian banget deh."
Sarah terlihat murung mendengar penjelasan Fajar dan Satria.
"Mungkin itu cuma adik atau sahabatnya." kata Veri mempelajari situasi.
"Nggak mungkin adiknya, lah. Dia kan anak tunggal." bantah Satria.
"Apa kalian yakin kalau itu benar-benar pacarnya?" tanya Sarah ragu.
"Sarah, kamu kan yang paling dekat dengan Randy. Kamu juga tau bagaimana susahnya dia kalau kita ajak jalan. Dia nggak akan mau keluar kalau bukan untuk hal yang benar-benar penting. Selama 4 tahun, bisa dihitung pakai jari berapa kali dia ikut kita jalan." kata Fajar, "Dan kemarin, dia bukan hanya jalan ke mall atau makan di food court. Bahkan dia rela gabung dengan sekelompok perempuan. Apalagi coba alasan yang paling masuk akal selain dia lagi menyenangkan pacarnya?"
"Padahal kalau aku boleh jujur ya, kalau membandingkan antara Sarah dan perempuan itu, Sarah jauh lebih cantik daripada dia. Penampilannya juga sporty nggak ada feminimnya sama sekali. Wajahnya polos, aku rasa dia hanya memakai pelembab, bedak dan lipstik warna jingga kecoklatan, pokoknya warna natural gitu." kata Satria.
"Tapi kamu ngerasa nggak, Sat. Walaupun wajah perempuan itu biasa aja, tapi dia terlihat menarik bahkan dalam diamnya. Auranya beda dan kuat banget. Mungkin itu yang jadi daya tarik perempuan itu." tambah Fajar.
"Kok, aku jadi penasaran ya, sama ceweknya Randy." kata Veri.
"Siapapun perempuan ini, harusnya kita turut senang untuk Randy. Selama ini dia terlalu sibuk dengan kegiatan kuliahnya. Bagaimanapun, dia tetap aja membutuhkan seorang pendamping atau pacar. Kita doakan aja yang terbaik untuk dia." Sarah berkata dengan sangat bijaksana dan tersenyum. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang dia rasakan. Walaupun dia tersenyum di hadapan mereka, namun pada kenyataannya dia merasakan sakit di dalam hatinya.