webnovel

Setelah Elea Pergi

"Mereka lagi pergi keluar, lagian aku bersyukur mereka enggak di rumah ini setidaknya beban pikiran aku sedikit berkurang ketika mereka pergi dan tidak ada di rumah."

Lagi-lagi Elea harus dikejutkan dengan pernyataan yang keluar dari mulut sahabatnya itu. "Apa maksud kamu Len? Apa Mama dan Papah kamu masih sama seperti dulu?

Sering kasar dan memperlakukan kamu dengan tidak baik?" tanya Elea keheranan.

Alena menundukkan kepalanya lalu kembali menatap Elena dan tersenyum tipis pada sahabat terbaiknya. "Memang sepertinya mereka tidak akan pernah berubah, mereka akan terus menyiksaku sebelum aku mati."

Lagi-lagi Elea begitu sangat terpukul mendengar perkataan yang keluar dari mulut Alena. "Mereka sepertinya sudah tidak peduli dengan aku. Aku bahkan menyesal karena telah lahir di keluarga ini."

"Kamu jangan berbicara seperti itu Len. Kamu tenang aja, kamu masih ada aku yang selalu siap untuk menguatkan kamu dan aku mohon sama kamu, tolong jangan pernah sungkan untuk bercerita masalah apapun dengan aku. Supaya kita bisa mencari jalan keluarnya sama-sama."

"Iya Elea, memang sejak dulu hanya kamu yang bisa membuat aku kuat seperti ini. Oh iya, kabar orantua kamu sendiri gimana?"

"Ibu sama Ayah aku baik kok, mereka juga menitipkan salam untuk kamu."

"Syukurlah kalau begitu, salam balik dari aku yang menginginkan orangtua seperti Ibu dan Ayah kamu," ucap Alena sambil tersenyum.

"Kamu itu yah," sahut Elea sambil tertawa dan menggenggam tangan Alena, ia menganggap jika ucapan Alena hanyalah sebagai candaan namun nyatanya Alena benar-benar menginginkan orangtua seperti Ayah dan Ibu kandung Elea.

"Astaga! Aku benar-benar lupa, dari tadi kamu disini aku malah keenakan ngobrol sampe enggak bikinin kamu minum. Kamu diem disini ya aku ambil minuman sama makanan dulu," ucap Alena sambil mencoba berdiri dari tempat duduknya namun langsung dilarang oleh Elea.

"E-ehhhh ... Enggak usah repot-repot Alena. Kamu itu kayak aku itu siapa aja! Sudahlah duduk disini lagian aku juga sebentar lagi harus pulang karena ada hal yang harus aku kerjakan." Elea menarik tangan Alena kembali.

"Yaudah terserah kamu aja kalau kamu maunya begitu," balas Alena.

"Mendingan sekarang kamu cerita aja hal-hal yang menggangu hati dan pikiran kamu, supaya kamu jauh lebih tenang."

"Enggak kok cuma itu aja."

"Oh, yaudah kalau memang udah enggak ada lagi hal yang kamu ingin ceritakan, aku izin pulang dulu ya. Maaf banget cuma bisa mampir sebentar enggak bisa lama-lama tapi next time aku akan main kesini lagi kok."

Mereka berdua sama-sama berdiri. "Janji ya mau kesini lagi," ucap Alena sambil menatap sorot mata sahabatnya itu.

"Iya aku janji Len," sahut Elea.

Namun tiba-tiba seorang wanita cantik datang dari arah luar dengan membawa beberapa belanjaan barang-barang mewah.

"Eh, Tante." Elea menyapa ramah Mama dari sahabatnya itu.

Sementara itu wanita cantik itu hanya tersenyum tipis sebagai bentuk respon sapaan dari Elea.

Tidak lama wanita itu menjatuhkan semua barang-barang mewahnya diatas kursi dan matanya menatap tajam kearah Alena. "Cepat Alena kamu bawa dan bereskan semua barang-barang mewah yang Mama baru beli ini dan tolong hati-hati bawanya karena itu barang mahal!" titahnya dengan nada yang sangat ketus dan raut wajah sombongnya.

"Maaf ... Tante Elea pamit pulang dulu," ujar Elea.

"Iya, silahkan," balas wanita itu dengan nada dingin.

Elea pun segera pergi sementara itu Alena mencoba menunduk patuh dengan membereskan dan membawa barang-barang belanjaan sang Mama.

"Cepet Alena! Kamu itu jangan kebiasaan kalau mengerjakan sesuatu itu lambat!" teriak wanita itu pada anaknya sendiri.

"Iya Mama sabar," lirih Alena.

Sementara itu didalam mobilnya Elea masih memikirkan semua curhatan Alena. Ia benar-benar merasa sangat kasihan dengan kondisi sahabatnya saat ini.

"Aku kasihan sama Alena, dia kayaknya sedih banget. Mana dia harus hidup tertekan ditengah-tengah orangtua yang begitu keras dan kasar kepadanya."

Elea menyetir mobilnya dengan pelan karena pikirannya begitu kacau memikirkan kondisi sahabatnya. "Oh iya, tadi aku kepikiran buat ketemu dan bicara sama Andre untuk membicarakan semuanya. Aku juga percaya enggak percaya sama cerita Alena. Apa jangan-jangan orang yang namanya Daffa itu yang udah bikin Alena dan Andre berpisah dan gagal menikah?" guamamnya pelan.

Elea memang satu kantor dengan Andre dan ia adalah saksi percintaan Andre dan Alena. Bagi Elea sendiri kebahagiaan Alena adalah kebahagiaannya dan kesedihan Alena juga menjadi kesedihannya. "Sampai kapanpun aku akan terus berusaha untuk menjadi sahabat terbaik untuk kamu, kita temenan udah lama dan aku enggak akan membiarkan kamu larut dalam kesedihan," batin Elea yang begitu sangat mencintai sahabatnya itu.

"Mendingan sekarang aku pulang aja, untuk rencana membicarakan permasalah Alena mungkin aku bisa bertemu Andre besok."

*

"Dasar anak enggak berguna! Kamu itu bisanya apa sih Alena? Apa kamu cuma bisa bikin Mama emosi setiap harinya?" teriakan begitu keras membuat Alena yang sedang bersedih semakin sakit hati mendengar perkataan sang mama.

"Maaf Mah, aku kan enggak sengaja."

Alena tampak menundukkan kepalanya sambil membereskan semua pecahan beling-beling kecil yang berserakan dimana-mana hingga kebagian dalam meja. Hari ini Alena memang tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan fokus karena sedang banyak pikiran.

Baru saja ia membuat kesalahan besar yang membuat Mama Febi marah besar. Ya, Alena tidak sengaja memecahkan salahsatu piring makan mahal milik sang mama.

"Ini itu harganya mahal Alena! Gaji Papah kamu aja enggak mungkin cukup buat beli barang yang kamu pecahkan ini!" sentak Mama Febi.

Sementara itu Alena hanya terdiam sambil mendengarkan kata-kata pedas yang keluar dari mulut Mamanya. Setelah membereskan semua pecahan-pecahan itu, Alena langsung membuangnya ketempat sampah.

"Makannya kalau disuruh sama orangtua itu yang ikhlas!" pekik Mama Febi.

Karena sudah tidak kuat lagi mendengarkan umpatan-umpatan pedas itu, Alena segera masuk kedalam kamarnya lalu dengan cepat ia mengunci kamarnya.

Dia menangis sejadi-jadinya, rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk dirinya justru malah menjadi tempat paling mengerikan bagi kehidupan wanita yang baru menginjak usia dua puluh dua tahun itu.

Arrrgggwwhhhh!

Alena berteriak histeris sambil menjambak rambutnya. Ia benar-benar sangat kecewa kepada dirinya sendiri. "Apa yang Mama katakan itu benar jika aku hanyalah anak yang tidak berguna? Makannya itu Andre mencari wanita lain? Mama juga sepertinya menyesal telah melahirkan aku ke dunia ini!" rintih Alena.

Mama dan Papahnya yang seharusnya memberikan support untuk Alena malah berlaku kasar kepadanya. Alena sudah biasa diperlakukan bak pembantu di rumahnya bahakan Mama Febi sengaja memberhentikan pembantunya dengan alasan agar bisa lebih menghemat pengeluaran, namun sayangnya semua pekerjaan rumah harus dilimpahkan semua kepada Alena.