webnovel

Menjodohkannya?

Pecahan piring dan gelas yang saling berjatuhan ke bawah membentur lantai. Revin yang mendengarnya hanya memejamkan matanya saja. Dan menggerutu kesal.

Revin menggemeletukkan giginya secara bersamaan dengan mengepal kedua tangannya yang berada di samping tubuhnya. "Kamu ini!!! Berani-beraninya sengaja melakukan hal itu."

"Kalau kena kaki saya tadi. Bagaimana??!!" ketus Revin yang melototkan kedua bola matanya lebar. Dan langsung saja melangkah pergi dengan cepat ke arah kamarnya.

Ruri hanya menundukkan kepalanya saja. Dan setelah punggung Revin menghilang dari pandangannya. Ruri menarik bibir kanannya ke atas.

Tersenyum miring. Dalam hatinya ia berkata, 'Untung saja tidak ketahuan.' Membenarkan rambut yang menutupi dahinya.

Dengan cepat Ruri membereskan hal tadi. Ia tidak ingin Oma Triya tahu dan nantinya malah bertanya macam-macam dengan dirinya.

"Semoga saja tidak ada yang melihat kejadian barusan." Memejamkan matanya sejenak. Sambil memikirkan kenapa tiba-tiba saja Revin melakukan hal itu.

Saat semuanya sudah selesai. Dan Ruri ingin membawa pecahan beling itu. Ia sedikit terkejut ketika melihat Oma Triya yang sudah berada di hadapannya. Sejak kapan. Pikir dalam benaknya. Dan ia berusaha untuk terlihat tenang.

"O-oma...." Tersenyum lebar. Membenarkan rambutnya kembali. Dan menetalisirkan tubuhnya agar Oma Triya tidak curiga padanya.

Ruri mengatur napasnya sejenak. "Oma sejak kapan sudah—"

"Kamu baik-baik saja?" Ruri mengerutkan dahinya. Kenapa tiba-tiba saja Oma Triya bertanya seperti itu padanya.

"A-aku.... Aku baik-baik aja Oma. Memangnya ada apa?" Raut wajah yang bingung. Tetapi Ruri berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja.

"Yang benar? Tadi Oma tidak sengaja melihat kamu yang diperlakukan kasar oleh Revin." ucapnya dengan nada yang terdengar khawatir. Dan Ruri membulatkan kedua bola matanya. Apa jangan-jangan Oma Triya melihat kejadiannya barusan. Ia harus jawab apa jika nanti ditanya macam-macam.

"Aku baik-baik saja Oma." jawabnya yang diakhiri dengan anggukan kepala. "Maaf Oma, sepertinya aku harus membuang pecahan beling ini terlebih dahulu."

Ruri sengaja mengalihkan pembicaraannya. Dan ia langsung saja bergegas tanpa Oma Triya mengizinkannya. "Huft."

Akhirnya Ruri bisa bernapas lega juga. Jujur ia tadi sudah sesak sekali ketika sedang ditanya-tanya oleh Oma Triya.

"Apa Oma Triya melihat semuanya?" pikir Ruri yang menggigit ibu jarinya. Dengan perasaan yang cemas dan raut wajah yang tidak bisa dideskripsikan.

"Ku harap. Nanti dia tidak tanya yang macam-macam saja." ucapnya yang mulai melangkahkan kakinya untuk kembali. Tetapi tiba-tiba saja ia jadi teringat dengan tahi lalat yang dipasang di dahinya ini.

Dengan cepat Ruri melepaskannya dan memasukkan 'itu' ke dalam kantong bajunya. Merapikan kembali rambutnya dan tersenyum tipis.

Sedangkan di sisi lain. Revin sedang mati-matian menahan rasa penasarannya dan juga kekesalannya yang bercampur menjadi satu.

"Argh!!!" pekiknya yang mengacak-acak rambutnya yang jelas-jelas sudah di tata oleh dirinya sendiri.

Revin tak habis pikir dengan perlakuan Ruri barusan. Mengapa dia bisa melakukan hal itu. Membuat dirinya semakin yakin dan curiga saja.

"Argh!!!" Revin berteriak kembali. Dengan pandangan yang lurus.

"Kenapa gue masih belum sempat melihatnya. Padahal itu bukan hal sulit!!" Menuruki dirinya sendiri yang entah kenapa begitu bodoh sekali. Tidak bisa melakukan hal itu.

"Aku yakin kalau dia penyebabnya!!!" ucap Revin tanpa sengaja.

"Karna dari awal...." Memberhentikan kalimatnya sejenak dengan kepala yang berangguk-angguk. "Tetapi...." Menggantungkan kalimatnya kembali dengan pikiran yang jauh berkenala.

"Kita buktikan aja nanti." Suara yang berat. Dan Revin langsung saja melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya.

Di pertengahan jalan. Ia tidak sengaja mendengar ucapan Omanya dan juga Ruri yang malah sedang membahas dirinya sendiri.

"Kamu benaran tidak diapa-apain dengan Revin?" tanya Oma Triya kepada Ruri yang memang terus saja menggeleng-gelengkan kepalanya secara perlahan.

"Masalahnya dia sekarang lebih sangat emosional dan sering tidak terkontrol."

"Sejak kematian istrinya itu." Revin yang mendengar hal itu langsung saja mengepalkan kedua tangannya kuat di samping tubuhnya. Dan berusaha mencoba untuk mengatur napasnya yang tidak beraturan.

Karna setiap ada orang yang membahas persoalan istrinya pasti emosinya ini akan memuncak cepat.

Tidak mempedulikan siapa yang membicarakan itu. Dan jika ia tidak bisa menahannya sudah dipastikan orang itu akan habis di tangannya.

"I-iya Oma. Aku juga paham." jawaban Ruri dengan lugunya.

"Hanya Maya yang bisa mengontrol emosi Revin." Curhat Triya yang terjadi begitu saja secara tiba-tiba.

"Dan dia bisa jadi monster yang melebihi apapun. Jika sudah ada orang yang berani menganggu istrinya sedikitpun."

"Dan Revin juga marah karna ada sebabnya. Tapi jangan pernah main-main dengan dirinya."

"Apa kamu berbuat kesalahan dengan dia?" Ruri menggelengkan kepalanya secara cepat. "Tidak. Aku tidak membuat kesalahan apapun."

"Apa kamu tadi tidak takut dengannya?" Ruri yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa mengerutkan dahinya saja. "Maksud Oma—"

"Aku berniat untuk menjodohkanmu dengannya. Karna dari sekian banyaknya wanita yang sudah ditemui olehnya dan juga dipertemukan olehku."

"Tidak ada yang cocok. Jika kamu bersedia. Aku akan berterima kasih banyak dan juga memberikan sebagaian harta milikku kepadamu." Ruri yang mendengarnya tiba-tiba saja merasakan ada gejolak aneh dari dalam tubuhnya.

"Aku hanya kasihan padanya. Di umurnya yang terbilang muda dan matang harus kesepian seorang diri."

"Dan yang paling penting kamu bisa menjadi teman curhat baginya serta mengendalikan emosinya yang suka meluap-luap."

Revin yang mendengar itu. Menghela napasnya dan juga menutup matanya sejenak. Berpikir. Omanya ini berkata apa barusan. Kenapa memutuskan secara sepihak seperti itu.

Tetapi entah kenapa tiba-tiba saja muncul rencana baru dalam benaknya. "Apa aku harus mengikatnya. Agar dia bisa mengaku?"

Pertanyaan besar yang belum memiliki jawaban serta kejelasannya juga. Ah, lebih baik ia berangkat ke perusahaan saja.

Revin berjalan menuruni anak tangga dengan raut wajah yang datar dan tenang. Seolah-olah tidak mendengar percakapan Oma dan Ruri barusan.

Dan Ruri serta Omanya yang mendengar langkah kaki Revin hanya bisa saling pandang saja. Dalam hati Ruri berkata. 'Apa dia mendengar semua percakapan tadi?'

"Revin tunggu!!" cegah Omanya. Melihat Revin yang memang tetap terus saja melangkahkan kakinya tanpa mempedulikan ucapan Omanya.

"Revin!! Tunggu!! Tunggu dulu!!" Berusaha menggerakkan kursi rodanya. Dan Ruri sendiri jadi bingung harus membantu Oma Triya untuk mencegah Revin. Atau membiarkannya begitu saja.

"Oma. Oma biarkan Tuan Revin berangkat kerja. Mungkin sudah telat ja—"

"Kamu ini kenapa tiba-tiba malah membela Revin. Bukannya membantuku dorong kursi roda ini." Triya memarahinya. Dan Ruri tak percaya jika akan marah padanya.

"Maaf Oma. Saya bersalah." Menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Sudahlah. Cepat!! Bawa saya keluar." Ruri hanya bisa menurutinya saja mendorong kursi roda Oma Triya keluar. Dan Revin sudah melesat pergi jauh dengan mobilnya.

***