webnovel

Kebencian

"Aku memang menyukaimu."

"Eh?"

Aku terdiam untuk sementara waktu, otakku terasa seperti ponsel jadul yang sedang bermain game berat, dan mungkin akan meledak suatu waktu. Aku menatap Richard yang masih memelukku dan menatapku dengan senyuman santai.

Ini tak mungkin terjadi.

"Tolong hentikan omong kosongmu."

Aku segera menepis tangannya dan akhirnya berhasil melepaskan diri, Richard tampak tak ingin membawaku kembali dan membiarkanku untuk pergi.

Aku segera berdiri dan menatapnya dengan ekspresi mengeras. Orang ini terlalu jauh dalam hal memilih candaan, atau dia memang terlalu payah untuk membuatku tertawa.

"Aku tahu kau diidolakan banyak orang, tapi jangan kau samakan aku dengan mereka. Apa yang kau lakukan tadi benar-benar membuatku jijik dan ngeri. Dan jangan menyentuhku seenaknya, mau bagaimanapun aku adalah muridmu. Seharusnya kau mengerti ada batasan dalam melakukan kontak fisik seperti itu," tegasku.

Dia tak segera menjawab.

Namun, dia hanya menatapku dengan mata yang memperlihatkan jika dia memahami apa yang aku rasakan.

"Aku minta maaf. Kau benar, sepertinya aku bertindak terlalu jauh."

"Pengakuanmu terdengar begitu palsu."

"Itu mungkin juga benar. Tapi kau bahkan tidak menolak sama sekali, bukan? Ini bukan kesalahanku sepenuhnya. Jika kau tidak mau kusentuh, kau bisa saja mendorongku atau melakukan sesuatu, Emely. Tapi kau hanya terdiam di sana dan membiarkanku untuk menyentuhmu."

Dia mencoba menyerangku dengan kalimat seperti itu.

Tapi aku tidak akan kalah.

"Itu mungkin benar. Tapi apa kau istilah freeze, Richard Gere? Atau apa aku perlu menjelaskannya agar kau mengerti?"

Aku tersenyum

Biar ku jelaskan apa maksud dari kata itu.

Itu adalah istilah dimana seseorang justru terdiam saat kau tahu ada bahaya yang mengarah padamu, itu sama dengan strategi hewan liar yang berpura-pura mati untuk mengelabui mangsanya. Dan kau mungkin tak ingin mempercayainya, jika manusia sebenarnya juga melakukannya saat terancam bahaya, ini sebenarnya manusiawi. Dari pada melarikan diri, kita justru membeku dan terkurung dalam ketakutan dan panik.

Richard terkekeh dengan jawabanku yang tak mungkin dia duga akan kulontarkan. Untuk pertama kalinya, aku merasa beruntung menjadi seorang kutu buku yang dijauhi oleh semua orang.

"Ah~ kukira aku bisa menang. Sepertinya aku terlalu meremehkanmu Emely. Baiklah, aku mengaku salah dan aku tidak akan mengulanginya lagi."

Dia mengangkat kedua tangannya sebagai jawaban jika dia telah mengakui kekalahannya. Walaupun begitu, aku menyadari jika pembicaraan kami mulai melenceng dari yang seharusnya.

"Lupakan itu. Katakan apa yang seharusnya ingin kau katakan."

"Kau benar."

"Aku akan mendengarkan dari sini."

Aku duduk di depannya, jarak kami cukup berjauhan, karena aku tak merasa aman jika duduk di dekatnya.

"Ah iya, Benar. Fox Dwyne, bajingan itu. Aku begitu membencinya, hingga melihatnya begitu membuatku ingin segera membunuhnya di saat itu juga. Dia adalah monster yang memang seharusnya dibenci oleh siapapun. Manusia yang mampu menipu siapa saja yang berbicara dengannya, lidahnya terlalu gesit dan mulus untuk menghancurkan orang lain, mungkin dia adalah dewa kematian atau iblis dari Neraka. Kau bisa menyebutnya sebagai serigala berbulu domba atau ular yang meracuni mangsanya. Benar-benar seorang Machiavellianism yang menakutkan. Dia adalah horor dari segala horor."

"Hmm, terdengar seperti dirimu sendiri."

"Ayolah."

"Tolong lanjutkan."

"Mungkin kau bertanya bagaimana aku mengetahuinya."

"Kau benar, aku penasaran bagaimana kau tahu dirinya yang asli."

"Aku tidak mencaritahu kebenarannya. Dialah yang menunjukkannya padaku."

"Apa maksudmu?"

"Saat itu aku masih menganggapnya sebagai anak yang jenius dan benar-benar baik. Dan aku cukup menghormatinya dan merasa bangga menjadi gurunya. Namun pada suatu hari, dia datang menemuiku- seorang diri dan mengatakan tentang betapa muaknya dia melihatku terus berada di sekitarnya, ah dan ya- aku terus mengingat bagaimana dia menatapku seperti pecundang yang sepatutnya berada di bawah kakinya. Aku tak percaya pada apa yang kudengar saat itu, namun itu adalah kenyataan yang sebenarnya."

"Hanya itu?"

"Tidak- tapi untuk sekarang, hanya itu yang bisa kuceritakan padamu, Emely."

Aku merasa keberatan dengan hal itu. Namun, aku tidak punya keinginan untuk protes atau apapun dengan hal penting yang seharusnya dia katakan padaku. Tapi, untuk sementara, akan kubiarkan itu dan bergerak ke pembicaraan selanjutnya.

"Lalu, apa hubungannya itu denganku?"

"Aku ingin kau membantuku, untuk menghancurkan Fox Dwyne."

"Itu bukan urusan-"

"Ayahmu ...."

Aku seketika melotot menatapnya. Dia memberikan seringai lebar dan seolah-olah berkata 'Kena kau.' Matanya menyipit dan aku tak bisa berhenti berpikir untuk segera menghujamnya dengan berbagai pertanyaan.

Kenapa dia menyebutkan bajingan itu.

Aku ingin tahu!

"Kau ingin tahu kan dimana keberadaan ayahmu? Orang yang membuat ibumu hancur dan tak bisa tersenyum lagi." Dia memiringkan kepalanya, memasang seringai lebar yang sangat mengerikan dan melihatku dengan kengerian yang tak bisa kugambarkan- mengamatiku yang masih terdiam di tempatku.

Dia dengan jelas memperlihatkan sosok iblis dengan aura yang menyesakkan dada, aku tidak bisa melihatnya sebagai seorang guru ataupun manusia lagi.

Angin kencang yang menerpaku menjadi sedingin es dan membekukan. Langit terlihat seperti gumpalan hitam yang tak meninggalkan cahaya sedikitpun, segalanya membuatku buta dan aku tak bisa merasakan tubuhku yang kaku hanya karena beberapa kata yang dia lontarkan.

Dengan segala tekanan yang dia berikan padaku. Aku pun berdiri dan segera berlari dan menerjangnya. Aku mencengkeram kuat kerah bajunya yang segera mengkerut dan dia masih menatapku dengan tenang dan tersenyum.

Mataku memerah dipenuhi kemarahan dan kebencian.

Dan tubuhku mulai bergetar liar akan amukan emosi yang tidak terkendali.

"Kau ingin tahu kan, Emely?"

"Diamlah!"

Bibirku bergetar hebat dan aku segera menggigitnya kuat hingga darah mengalir keluar dan mengotori seragamku.

Urat nadiku menonjol dan kepalaku diisi dengan kemarahan yang luar biasa mengerikan. Emosiku meledak dalam diam, dan aku terlihat seperti komputer yang dalam kondisi terburuk di masanya.

Kemudian tanpa diduga, Richard kembali menyentuhku, kemudian meraih rambutku dan menarikku dengan kuat dan cepat. Aku meringis merasakan sakit yang luar biasa dari kepalaku, dan tanpa kusadari tubuhku telah terkunci oleh tangan kirinya yang memegangku erat.

Ini adalah kekuatan laki-laki dewasa yang tak mungkin bisa kukalahkan.

Dia memaksaku untuk melihatnya langsung ke wajahnya, mencengkeram rambutku dengan kuat dan begitu kasar. Dia tersenyum ke arahku dan berkata,

"Ini adalah perintah."