webnovel

Chapter 6 : KAKEK-KAKEK SIALAN

DUA MINGGU BERLALU. Hari demi-hari ku lewati dengan rasa was-was yang tak pernah hilang. Aku masih tak bisa melupakan kasus kejadian si kakek tua itu. Apalagi hingga sekarang, kami masih tutup mulut tentang kasus itu karena permintaan sang kakek. Kami telah di ikat janji olehnya. Tetapi masalahku tak hanya sampai di situ saja. Lucas, si bocah nakal itu, dian masih dalam pengawasanku. Meskipun sudah keluar dari rumah sakit, dia masih datang untuk terapi kakinya yang patah.

Sedangkan kabar Alice? aku sangat bahagia karena kondisi gadis itu membaik semakin hari. Setiap minggu, seperti sebelumnya dia selalu menemani Lucas datang ke rumah saki untuk terapi tulang kakinya yang patah. Tak pernah lagi ku lihat sosok Alveus sejak percakapan di taman. Entah kenapa aku agak merasa seperti ada yang kurang(?)

"DOKTER!!" aku mendengar suara familiar berteriak, otamatis aku menoleh.

Bocah itu lagi...Lucas datang bersama kursi rodanya di temani oleh Alice yang tersenyum ke arah ku dari jauh. Mereka segera menghampiri ketika aku berbalik. Yah, tanganku terangkat untuk melambai pada mereka.

"Kau masih bekerja di sini, dokter?" dia bertanya seakan aku tak berkerja lagi disni. Dasar konyol.

"Kau pikir aku resign, begitu?"

Pagi-pagi begini membuat orang naik darah saja. Memutar bola mataku malas meresponnya. Andaikan saja aku terus dihadapkan ocehannya terus menerus, lebih baik resign saja sekalian. Untuk apa aku megabadikan diri di rumah sakit ini kalau hanya mendengarkan ocehan tak jelas bocah gila itu.

Bacanda.. Mana mungkin aku berani..

Soalnya kalau resign sebelum masa kontraknya habis, aku yang celaka. Coba aja dari awal aku tahu akan menghadapi bocah menyebalkan seperti dia, aku mungkin tak akan datang jauh-jauh kesini.

"Halo, dokter, kau semakin cantik saja!" puji si gadis polos di belakannya itu, Alice. Meskipun mempunyai tampang polos, dia pandai sekali berkata manis, aku jadi ngeri. Jangan-jangan dia buaya versi cewek.

"Semakin cantik? yah, terserah kau saja" dia tersenyum manis, semanis permen. Aku bisa diabetes.

"Dimana, Suster Nahye?" dia celingak-celinguk mencari sosok Nahye.

"Nahye sedang bersama Meera, kenapa kau mencarinya?"

"Tidak ada, hanya penasaran saja dimana dia sekarang. Soalnya biasanya kan dia dengan mu" jawab nya polos selayaknya gadis kecil yang beranjak remaja.

"Dokter, apa kau tidak penasaran dimana kakak ku sekarang?" tiba-tiba menanyakan ini?

"Hah? kakak mu, yang kemarin itu? Al-" suaraku terhenti, tercekat di tenggorokan.

"Alveus adalah nama asli ku.. dan hanya kau yang tau. Aku harap kau tidak memanggilku di depan umum.. "

Hampir saja aku menyebutkan nama aslinya. Mana mungkin, adiknya sendiri bahkan tak tau? aku tidak percaya, mereka pasti tau. Nada suaraku seketika terkunci di tenggorokan setiap kali ingin menyebut namanya.

"Apa apa, dok? kau ingin mengatakan sesuatu..kenapa mendadak diam" bocah itu tersenyum miring, seolah tau yang tengah kupikirkan.

"Ah, kau tidak lihat? Bu Dokter hampir saja memanggil nama kakak.." sambung Alice, gadis itu lagi-lagi...kurasa aku tertipu lagi..

"Dokter, kau tahu apa? Kakak terus membicarakan mu. Katanya kau meno-" aku membungkam mulutnya dengan tanganku. Bicaranya keras sekali. Bisa-bisanya blak-blak kan di rumah sakit. Mana banyak orang mondar-mandir di sana. Mereka bisa saja tak sengaja mendengarnya.

"Mmphh! Lepas!"

Lucas berusaha menyingkirkan tanganku dari bibirnya. Dirasa sekitar aman, aku mengambil tanganku kembali. Kini, dia memandangku, cemberut.

"Kau takut orang akan mendengar ya?" katanya lagi. Bocah sialan ini, tak bisa lepas dari perhatian ku. Aku mengambil alih kursi roda Lucas, mendorongnya masuk ke ruanganku dan Alice berjalan mengikutiku. Menutup pintu dan menguncinya rapat agar suster tak sembarangan masuk.

"Apa sekarang?"

"Kenapa denganmu? kau tidak bisa sehari saja menahan mulut embermu itu?!" geramku padanya, dia terus tersenyum geli seakan lucu.

Raut wajah Lucas berubah menjadi serius lagi, "tidak baik loh, menolak ajakan orang lain begitu saja. Apalagi kakak ku sudah berusaha untuk berbicara baik-baik padamu. Apa salahnya menurutinya?" dia memiringkan kepala.

Konyol..

perkataan nya tak masuk akal..

Itu kan.. terserah aku, memang nya dia siapa sehingga aku harus menerima?

Aku membungkuk, menyetarakan wajah ku sama dengan Lucas, "bicara apa kau ini?" sudut bibirnya melengkung ke atas, memalingkan wajahnya. Aku mendengar nya bicara sambil melakukan pemeriksaan pada tulangnya sebelum melakukan terapi. Untung saja hanya patah tulang biasa, dan bisa sembuh beberapa bulan atau minggu.

Alice duduk di kursi putar, memutar-mutar kursinya. Dua bocah ini sama saja, ternyata. Aku menoleh lagi pada Lucas, bertanya tentang keadaan kakinya selama beberapa hari ini.

"Kaki ku, rasanya mati rasa.. " lirihnya lemas.

"Itu berarti kau lumpuh.. "

"HAH?! kau, kau yang benar saja dokterrr.. " rengeknya lagi.

"Aku serius.. " becanda dikit gak ngaruh.

Perlahan, dia menunduk. Menaruh kedua tangan di wajahnya, kalimatku berpengaruh. Lucas menganggap nya serius. Yang benar saja? dia menangis sekarang, aku baru tahu bocah super aktif begini bisa merengek layaknya bayi baru lahir.

"Dokterr Mu, jangan becanda padaku!"

"Sudahlah kak, kau terlalu emosional. Dokter Mu jadi jijik melihatmu yang sok begini, bukan begitu?" sindir gadis polos yang duduk di kursi putarku.

"Diam kau! aku tidak sedang bicara padamu. Tutup saja mulut siletmu itu!" tatapannya berubah lagi, menajam ke arah Alice. Sementara yang di tatap mengangkat bahu, cuek. Aku bergantian melirik mereka berdua. Kadang terlihat sangat akrab, kadang juga berselisih seperti musuh.

"Kalian..hentikan bertatapan seperti itu!" sontak Lucas langsung menoleh pada ku lagi, "Dokter Mu, kapan aku sembuh?"

"Kalau kau rajin periksa dan terapi akan sembuh dalam beberapa belum, bahkan minggu ke depan"

Lucas tersenyum lebar, itu lebih seperti nyengir. "ada yang tak sabar balap liar lagi, nih. Emang gak ada kapok-kapoknya!" sindir Alice terang-terangan.

"Emang kenapa? itu terserah aku. Kau juga, jangan sok suci di depan Dokter Mu kalau kau sering pergi ke klub setiap malam minggu" balas Lucas tak terima.

****

Aku menatap malas mereka berdua yang terus saja berdebat. Sepanjang menemani Lucas terapi, gadis itu terus berceramah mencemooh Lucas, kadang pula menyindirnya habis-habisan.

"Sebaiknya kau kapok, Kak!"

"Alice, apa benar yang dikatakan Lucas kalau kau-" gadis itu meletakkankan jari telunjuknya di depan bibirku "Ssst, jangan disini, dokter. Aku sedang tak ingin membicarakan itu"

Mereka semua memang aneh.

Manusia jenis apa sih mereka ini?

Aku mendorong kursi roda Lucas, mengantarnya ke luar dari rumah sakit bersama Alice. Seharusnya aku tak perlu repot-repot begini, tapi bocah ini. Sejak mereka keluar dari rumah sakit, sikap Lucas mendadak berubah. Ku pikir dia sedikit lengket? aku tak tahu pasti kenapa, mungkin kepribadian asli nya memang begitu karena sebelumnya kami dua orang asing yang tak saling mengenal satu sama lain.

"Dokter Mu.. " panggil Lucas.

"Apa?"

"Semisal aku sembuh, apa kita bisa ketemu lagi?" dia berhenti.

"Maksudku, kita bisa bertemu kan walaupun bukan karena terapi?" baru kali ini nada suaranya terdengar gugup.

"Omong-omong dokter, berapa lama kau akan menetap di kota ini? mungkin itu yang dimaksud kakak ku" sela Alice di sela-sela.

"Ya, aku hanya sampai tiga bulan disini"

"Apa kontrak nya tidak bisa di perpanjangan? kau tidak bisa saja tinggal di sini atau tinggal sedikit lebih lama?!" nadanya sangat memaksa sekali. Aku tersentak, sebelumnya dia sangat menentangku, tapi sekarang? dia justru memaksaku untuk tinggal lebih lama di kota ini? memangnya siapa yang mau. Dua minggu berada di sini sudah seperti berabad-abad. Semua kejadian tak terduga sangatlah mendesakku.

Tiga bersaudara ini, mereka muncul tanpa hujan dan angin. Lalu bersikap seperti ini padaku? aku benar-benar masih belum mengerti semua ini. Terlalu banyak untuk di terima.

"Kenapa memangnya? kota ini berbahaya. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Ada orang yang menunggu pulang, mana mungkin aku membiarkan nya menunggu ku terlalu lama.. "

"Siapa yang kau maksud?" dia memincingkan matanya.

"Ah bukan-"

"Aku tebak, kekasihmu kan? dia pasti menunggumu pulang. Memangnya siapa lagi?"

Lagi-lagi gadis ini menyela ku, suka banget sih.

"Oh, jadi kau punya kekasih? kenapa gak bilang sih dari awal. Dengan begitu aku tidak akan terlalu banyak bertanya..." kali ini dia terlihat menyesal dan sedikit kesal.

Bersambung-