webnovel

10,5. ALICE DAN CARANYA

ALICE BERDIRI DI DEPAN KU, masih mempertahankan senyum seringaian tipisnya, "ayolah, dokter. Kau tidak bisa hanya diam saja di rumah saja. Sekali-kali kau harus keluar, contohnya keluar bersama ku.. aku jamin kau tidak akan kecewa ketika tiba di sana"

Aku berusaha terus menolak, tapi tidak bisa. Nahye ada bersamanya, mendukung gadis itu sehingga aku tidak bisa berbuat apapun. Dengan sangat berat hati, aku mengiyakan ajakan Alice.

"Baiklah, aku ikut. Tapi, jangan bawa-bawa kakak gila mu itu.. aku tidak mau melihat wajah nya"

Dia menujukan raut wajah bingung, "boleh aku tau, kenapa? club yang akan kita kunjungi nanti adalah mulik kakak ku. Mana mungkin kau bisa menghindari nya?"

Nahye tertawa geli, dia tampak sungguh menikmati pembicaraan menarik ini.

"Dia benar, Musa. Bagaimana kau akan menghindari nya?" Nahye mengulang pertanyaan itu, aku jadi semakin tersudut.

Aku menyandarkan tubuh ku di dinding melihat tangan ku sebelum menjawab, "pokoknya aku sedang tidak minat bertemu dengan nya.."

Kemudian, mereka berdua saling pandang satu sama lain dan tersenyum gelap. Aku curiga, mereka merencakan sesuatu yang konyol untuk ku nanti. Aku harus lebih waspada sekarang, karena Nahye akan bersekongkol bersama gadis muda licik itu untuk mengerjaiku.

Selanjutnya mereka menatapku, tersenyum polos terutama Alice yang kini melingkari tangannya di lenganku.

"Ya ampun, Dokter. Bukan nya bagus jika kau dan kakak ku bertemu? maksud ku, aku pikir kalian sudah akrab" ujarnya manis tersenyum ramah kearah ku, meskipun aku tau itu semua palsu.

"Itu bagus bagi kalian, bukan aku"

"Ah, dokter. Kau tidak seru. Apa salah nya bertemu lagi?" dia meletakkan kepalanya di pundak ku, seperti merayu ku.

"Oh ya, dimana Lucas? dan kenapa kau bisa tau kalau aku ada dalam masalah tadi? ceritakan cepat"

Kali ini aku mengubah topiknya. Bukan karena sengaja, tapi aku ingin tau lebih lanjut tentang yang tadi. Rasa curigaku belum hilang.

Dia perlahan melepaskan ikatan nya di lengan ku dan duduk kembali di sofa. Wajahnya terlihat serius kali ini.

"Aku yang meminta nya sebelum kita berdua mendatangi toko si kakek" Nahye angkat bicara, aku sedikit terkejut tak percaya dengan pengakuan nya.

"Ara? tapi kenapa..kau tidak memberitahu ku? aku kecewa sekali, lho" kataku sedikit sarkas.

"Aku punya alasan untuk itu, dan kau sudah mengetahui alasan ku, Musa. Jadi berhenti memasang wajah seperti itu!"

Aku mendengus kesal. Nahye ada benarnya juga, tapi aku tetap tidak bisa menerima. Bagaimana pun, aku perlu masih harus perlu tau kan?

Pintu terbuka lagi, kami bertiga serempak penasaran siapa yang berkunjung larut malam begini? Masuk pria muda dengan oufit casualnya di lengkapi dengan sebuket bunga agak besar yang sengaja menutupi wajah nya.

"Siapa, kau?"

Dia menarik buket bunga dan memperlihatkan wajah nya. Pria berkata mata merah gelap, dan rambut hitam tersenyum menyeringai menghadap kami, Lucas.

"Yah, aku datang untuk berkunjung. Suster Meera memberitahu kalau Nona Nahye terluka dan ada di sini.. " jelasnya, dia menaruh buket bunga di sebelah meja dekat ranjang Nahye.

"Manis sekali, terimakasih!" Nahye sangat terharu, baru pertama kali ini ada seseorang yang begitu manis apalagi orang itu Lucas. Dia agak berbeda sekarang.

"Sama-sama. Bagaimana keadaan mu?"

Aku dan Alice terkejut bersamaan. Lalu gadis itu berjalan ke arah Lucas, menaruh tangan nya di kening lelaki itu.

"Apa kau sakit?"

"Sakit? kau buta ya? aku baik-baik saja, tau!" dia memasang wajah datar pada Alice, pertanyaan sarkas sekali.

"Habisnya kau sangat berbeda sekali. Kau tidak pernah repot-repot mengunjungi orang di rumah sakit apalagi sampai membawa buket bunga? apa ada alasan di balik ini semua? atau kau hanya cari muka saja?" Alice mencemooh, perkataan nya ceplas-ceplos membuat Lucas ingin menjahit mulut kurang aja nya itu.

Lucas menaruh jari telunjuk di kening Alice lalu mendorong kepalanya ke belakang, cukup keras hingga membuatnya hampir jatuh. Ia melewati nya, berdiri di sebelah ku.

Seperti nya Lucas cepat menyadari ada sesuatu di bagian lenganku. Dia mengambil lenganku, dan menaikkan lengan panjang baju ke atas memperlihatkan tanda hitam bunga higanbana yang masih baru. Dia menatap tak percaya tanda yang ada.

Tapi tunggu, bagaimana dia bisa tau? tanda ini sebelumnya tertutupi. Apa Alice yang memberitahu? ah, kenapa rasa penasaran ku terus bertambah.

Dia mengenal nafas, "ah, ini membuat ku naik darah" dia tampak tak terima dengan adanya tanda ini di tubuh ku.

Apa dia khawatir?

"Kau pasti dapat tanda ini dari orang itu, menyebalkan" dia terlihat marah, tanpa sadar sedikit mencengkram lengan ku, emosi nya tersalurkan.

"Heh, jangan bilang kau khawatir padaku?" aku sengaja menggodanya.

"Memang benar, aku tidak menyangkalnya.. " mendengar nada suaranya yang berubah sedikit mengejutkan diriku. Dia tersenyum tipis melihat ekspresi terkejutku.

Kurasa aku terkena serangan balik..

Lucas mengusap lembut lenganku yang terkena tanda, "kau tau, mendapatkan tanda bunga higanbana bagi kota ini adalah kutukan. Hidup dan mati mu di pertaruhkan di sini, Dokter"

"Kalau tidak-" aku menutup mulutnya menggunakan tanganku, menghentikan dia untuk bicara. Kepalaku menggeleng tegas, tidak ingin pikiran negatif atau apapun keluar dari mulut nya.

Dia menatapku lirih, raut wajahnya terlihat sedih, baru kali ini, "aku baik-baik saja, tidak apa-apa. Kau tidak perlu mencemaskan diriku, pikirkan saja dirimu sendiri"

Dia menarik tanganku dan malah meletakkan di pipinya, mengecupnya pelan, tatapan Lucas tak lepas dariku. Aku ingin menarik tanganku kembali namun dia menahannya sebentar.

"Tetap saja, dokter.. "

Perubahan sikapnya sangatlah jauh. Perasaan kemarin waktu pertama bertemu dengan nya, dia masih cuek dan dingin.

Dia melepaskan tanganku, mengambil sesuatu dari saku celananya. Lucas mengeluarkan semacam jimat dari benang merah, aku tidak tau pasti itu jimat atau hanya benang merah biasa.

Lalu Lucas menarik lenganku lagi, melingkar benang merah itu di sekitar bagian atas lenganku.

"Pakai saja, dan jangan di lepas! awas saja jika aku mendapati gelang ini tidak ada di lengan mu" katanya menyipitkan matanya ke diriku.

Aku mengangguk pelan, mengiyakan. Ini semua juga untuk kebaikanku, apa salahnya, setidaknya membantu menetralkan efek tanda sialan ini, mungkin?

Meera masuk ke kamar berniat memastikan keadaan Nahye. Dia tersenyum ramah pada kami, menyambut kami sejenak, lalu beralih pada Nahye.

"Nahye, bagaimana keadaan mu? tubuh mu masih sakit, ngak?"

"Better. Kapan aku bisa pulang? Aku gak berniat nginap di sini sebenarnya" ucap Nahye sambil nyengir lebar.

Meera sumringah melihat Nahye merasa baikan dengan cepat. Salah satu alasannya karena ada banyak orang di sampingnya? atau karena Nahye adalah tipe gadis yang kuat, padahal luka di kepala nya cukup dalam.

Nahye merebahkan dirinya di ranjang, lelah karena tubuh nya dalam keadaan lemah. Matanya berat menuntut untuk tidur sekarang. Aku menarik selimut, membantu menyelimuti tubuh nya. Dia menutup matanya dan istirahat.

Meera pamit keluar karena banyak urusan lain. Sementara, aku dan dua kakak beradik ini masih di dalam, saling diam.

"Dokter Mu, kau mau menunggu Nona Nahye di sini?"

"Iya, kalian bisa pulang saja, ini juga sudah larut. Aku akan menjaga Nahye di sini" saran ku pada mereka. Yah, aku tidak ingin merepotkan mereka berdua lagi.

"Kau sudah makan?" tanya mendadak dari Lucas, aku menoleh menggeleng kepala. Mana mungkin aku teringat makan di saat begini.

Perutku memang belum di isi sedari siang tadi, karena kesibukanku di rumah sakit aku jadi jarang punya waktu untuk makan. Sekarang pun, nafsu makanku berkurang.

"Kau ini seorang dokter, tapi tidak bisa jaga pola makan sendiri. Percuma mengingat kan pasien mu agar jaga makan tapi kau?"

"Aku belum nafsu makan, sudahlah"

Aku tau, Lucas sebenarnya sangat mencemaskan diriku. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang gelisah. Dia terus memaksa mengajakku makan di luar dan menyuruh Alice menjaga Nahye sebentar. Menolak permintaannya membuat Lucas semakin memaksakan dirinya. Dia kerasa kepala dan ngotot, sama denganku.

Pada akhirnya, aku pun keluar bersama dengannya untuk mencari makan di sekitar jalan. Ada sedikit rasa canggung karena kami hanya berdua saja, berjalan di keramaian kota.

"Ada yang ingin kau makan malam ini?" dia menoleh menatapku. Ia melepas jaket nya menyadari aku memeluk lengan karena kedinginan.

"Pakai ini, cuaca nya dingin"

"Terimakasih. Um, ya aku lagi pengen makan nasi goreng.. " aku menutup mulutku keceplosan. Nasi goreng kan bukan makanan kota ini, bodohnya.

"Nasi goreng? emang ada ya.. " tanya nya bingung, seperti baru pertama kali mendengar nasi bisa di goreng.

"Ah, tidak-tidak, maksud ku kita makan...ramen saja! ya itu.."

"Baiklah, aku tau tempat ramen yang enak"

Bersambung-