webnovel

Risih

"Ndak ada, ya?" ucap Rima lagi dengan nada yang sangat terukur.

"Tidak tau juga, ya." Sekali lagi Bary coba menutupi. "Perasaan, tidak ada tuh, saya dengar orang meninggal. Tapi tidak taulah."

Pada akhirnya, Bary lebih memilih untuk menutupi. Bary berpikir, jika Tuhan menghendaki, akan ada masanya Rima pasti akan tahu dengan sendirinya perihal meninggalnya si Kaerul yang sudah menorehkan luka batin yang teramat luka dalam diri Bary.

"Berarti, suara Koa tadi malam memang hanya perasaan saya saja kayaknya." Rima mulai melandai.

"Kayaknya begitu memang, Kak!" sambung Bary. "Saya juga tadi malam tidak dengar apa-apa, sih, masalahnya."

Rima tidak lagi menambahkan. Kini ia mulai sibuk menjerang kayu bakar di atas tungku. Air yang ia rebus sudah mendidih. 

Sesaat setelah itu, mulailah Rima menyeduh susu sachet pada sebuah cangkir kaleng bekas susu, salah satu cangkir paling 'mewah' yang ada dalam 'angsana' mereka.

Rima hanya menyeduh satu bungkus susu sachet, untuk jaga-jaga jika bayinya menangis kelaparan atau kehausan di malam ini.

Usai menyeduh susu, Rima beringsut menghampiri Bary dan bayinya.

"Mau?" tanya Rima sembari menyodorkan cangkir kaleng bekas berisi seduhan susu.

"Makasih, Kak! Saya masih kenyang. Buat Kakak saja," tampik Bary.

Pada saat yang bersamaan, Bary sangat berharap, susu yang disodorkan oleh Rima, tidak akan menjadi masalah di kemudian hari. 

"Ini bukan buat kakak," ucap Rima. "Tapi untuk adek kamu," tambahnya sembari rebahan di samping bayinya.

"O, Tuhan ... !" lirih batin Bary. "Kak Rima menyebut bayinya dengan sebutan adek kamu?"

"Kamu belum ngantuk?" tanya Rima lagi tanpa menolehi Bary.

Bary diam saja sambil memperhatikan Rima, yang kini rebahan sembari membaiki kain sarung bayinya. Di sini, bayi Rima tengah tidur dengan begitu lelapnya.

Mungkin karena kekenyangan menyantap kuah bayam seperti yang Kak Rima akukan. Bary mengandai-andai.

"Dek!" Rima membuyarkan lamunan Bary.

"Oh, iya, Kak. Kenapa?" sahut Bary.

"Bisa tolong turun nyalakan api? Tapi kalau kamu ndak capek saja."

"Bisa, Kak, bisa!" sambung Bary cepat.

Lalu, secepat itu juga Bary beringsut meraih korek api. "Bikin api di bagian mana ini, Kak?" tanya Bary kemudian.

"Di depan tangga, tapi jangan terlalu dekat, ya! Satu meteranlah gitu dari tangga," jawab Rima.

Tanpa kata, tanpa bertanya lebih dulu untuk apa menyalakan api di tanah malam-malam seperti ini, Bary langsung turun ke tanah.

Tiba di tanah, mulailah pula Bary beredar menghimpun dahan dan ranting-ranting kering yang kebetulan melimpah ruah di sekitar ladang mereka ini. Setelah itu, ia kembali menyalakan api unggun. 

"Sini dulu, Dek!" Suara Rima begitu serak dan berat.

"Iya, Kak!" sahut Bary lalu gegas naik ke gubuk mendongaki Rima. "Kenapa, Kak?" 

"Ambil garam barang satu genggam baru lempar dalam api, ya!" seru Rima.

"Oh, iya, Kak," sahut Bary.

Sampai di sini, Bary mulai paham apa maksud Rima. Lalu, seperti sebelumnya, tanpa kata ia langsung beringsut ke bagian dapur, mengambil segenggam garam kasar, yang oleh mereka, mereka menyebutnya garam batu. 

Usai yang demikian, karena gubuk mereka ini hanya memiliki satu pintu yaitu pintu utama gubuk, maka Bary pun kembali turun ke tanah lewat pintu tersebut. 

Tiba di tanah, semua garam yang ada dalam genggamannya, Bary lemparkan ke dalam api. Setelah itu, Bary beringsut ke tangga gubuk, duduk menggantung kaki pada anakan tangga, sembari memandangi api unggun.

Api unggunnya sudah menyala dengan baik.

Membakar garam. 

Adalah masyarakat setempat, putra-putri asli di daerah ini, memiliki sebuah keyakinan semenjak turun temurun, bahwa letupan-letupan kecil dan wangi garam yang termakan api, diyakini bisa mengusir makhluk-makhluk tak kasat mata, khususnya makhluk tak kasat mata jelmaan dari manusia biasa. 

Entah itu hanya mitos atau fakta, tetapi sugesti yang sudah mengakar dalam keyakinan mereka, demikianlah adanya.

Lalu, puas duduk diam, Bary kembali ke atas gubuk.

"Sebenarnya dari magrib tadi kakak mau nyalakan api, tapi kakak ndak sempat," ujar Rima saat Bary sudah mulai rebahan di depan pintu gubuk.

"Gitu, ya?" timpal Bary tanpa menolehi Rima. Bary mengarahkan wajah vertikal dengan langit-langit gubuk.

Lalu, Bary berpikir masih ada yang terlewatkan, yakni Tembuni.

Tentang Tembuni, masyarakat setempat mempunyai kebiasaan lain. Saat di malam hari begini, biasanya mereka akan menerangi Tembuni tersebut dengan lampu atau setidaknya satu batang lilin setiap magrib. Umumnya, itu dilakukan sejak hari pertama Tembuni dikebumikan hingga empat puluh hari ke depan. 

Bary belum melihat adanya cahaya apa pun pada Tembuni yang terkebumikan di kolong gubuk tersebut.

"Bagaimana dengan tembuninya, Kak?" tanya Bary.

"Besok sajalah, Dek! Belum ada lampu yang bisa disimpan di kolong," jawab Rima. "Besok kalau kamu ke kampung, tolong cari-carikan botol Kratingd**ng atau botol apakah gitu untuk kita bikin jadi lampu," tambahnya.

"O, iya! Nanti saya carikan, Kak," jawab Bary. 

Selang kemudian, mereka pun saling diam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing hingga beberapa saat lamanya.

"Tadi Kakak mandi, tidak?" Satu pertanyaan yang sejak tadi Bary sungkan untuk menanyakannya, akhirnya ia luahkan juga.

"Belumlah, Dek!" keluh Rima. "Tadi airnya habis Kakak pakai untuk kucek kain kotornya adek kamu ini, kasian."

"O ... pantasan bau," ucap Bary dalam hati.

"Tidurlah, Dek!" seru Rima. "Kamu sudah terlalu capek."

"Tidak ada lagi yang mau dikerjakan?" Bary belum bisa merasa tenang jika masih ada yang harus dikerjakan.

Rima yang sejak tadi memperhatikan Bary, mengucap, "Besoklah! Dari tadi kakak liat kau menguap terus."

"Iyalah, Kak. Saya memang sudah ngantuk. Tapi memang tidak ada yang mau dikerjakan lagi ini, 'kan?"

"Ndak ada. Kalau Kakak perlu apa-apa, nanti Kakak kasi bangun."

"Iyalah, Kak! Kasi bangun saja!" pungkas Bary.

Beberapa saat setelah itu, dikarenakan kantuk yang teramat sangat, tidak perlu menunggu lama, ianya sudah menuntun Bary ke alam mimpi.

Melihat Bary yang sudah terlelap, Rima pun memejamkan mata, coba mengakhiri hari yang sangat melelahkan jiwa dan raganya.

Rima yang tidak bisa tidur dengan tenang, hari masih remang-remang kala ia membangunkan Bary.

Kala Bary terjaga, Rima yang kini hanya mengenakan kain sarung yang ia lilitkan pada dada, menutupi bagian tubuhnya yang lain, sudah siap untuk mandi pagi.

"Tolong turun ambilkan ember kita yang paling besar, ya!" seru Rima.

Masih dengan mata setengah memejam, Bary menjawab, "Iya, Kak."

Setelah itu, Bary langsung turun ke kamar mandi. Di kamar mandi, usai membasuh wajah, Bary pun meraih ember yang dimaksud. Ember plastik berwarna hitam berukuran sedang yang Bary turun ambil ini, adalah ember satu-satunya yang mereka miliki.

"Taruhkan dengan airnya setengah, Dek!" pinta Rima yang mengintip dari atas gubuk.

"Iya, Kak!" jawab Bary yang masih berada di kamar mandi.

Lalu, sesegera itu Bary membawa naik ember berisi sedikit air, kemudian menyerahkannya pada Rima yang sudah bersiap dengan satu panci air mendidih. 

"Tolong bantu, Kakak, ya!" ucap Rima sembari menggayung air mendidih dari panci yang masih berada di atas tungku, lalu menuangnya dalam ember berisi air dingin yang Bary bawa naik barusan.

Kecuali memperhatikan Rima dengan seksama, Bary tak berbuat apa-apa, tidak pula menyahuti Rima.

Sedangkan Rima, ia sudah mulai mencelupkan tangannya ke dalam ember yang berisi air dingin bercampur air mendidih, mengukur kehangatan air yang akan ia pakai untuk mandi.

"Masih ada sabun mandi kita, Dek?" tanya Rima sembari mulai mengelap tubuhnya dengan menggunakan kain yang lebih dulu ia celup ke dalam ember.

"Masih ada kayaknya!" sahut Bary yang tidak bisa memastikan apakah sabun mandinya memang masih ada atau tidak, karena Bary sendiri sudah dua hari belum mandi, yang otomatis tidak bersentuhan dengan benda tersebut. 

"Tunggu saya turun liat dulu," tambah Bary dan langsung beringsut ke luar gubuk.

"Bawa naik sama sabun cucinya, Dek!" seru Rima apabila lewat celah-celah dinding, ia mengintip Bary yang sudah berada di kamar mandi. 

"Iya, Kak!" sahut Bary sembari mencari-cari keberadaan sabun mandi yang tidak terlihat di kamar mandi. 

Benar-benar tidak ada. Mungkin hewan pengerat itu lagi yang sudah membawanya lari. Sial, benar-benar tidak terlihat, kesal Bary.

"Sabun mandinya tidak ada, Kak!" ucap Bary usai memastikan bahwa sabun mandinya sudah tidak terlihat.

Tidak ada? Rima mendengus kecil. Ada jeda beberapa saat sebelum Rima menjawab, "Bawakan saja sabun cucinya, Dek!"

Mendengar itu, Bary pun hanya membawa naik sabun cuci.

Sabun cuci yang mereka gunakan ini adalah sabun cuci padat. Bentuknya serupa balok pipih dengan panjang sekira lima belasan centimeter dan lebar sekira lima centimeter. Tebalnya sekira dua centimeter atau kurang.

Sabun cuci seperti ini, selain harganya murah, ia juga cukup awet. Per-picis-nya bisa digunakan dua hingga tiga mingguan.

"Kasian kami ini," batin Rima sembari menyabuni tubuhnya. Setelah tiga hari tidak mandi, begitu ada kesempatan untuk mandi, hanya menggunakan sabun cuci.

"Tolong!" seru Rima sembari menyodorkan kain baju yang ia gunakan untuk mengelap tubuhnya.

Tanpa kata, Bary menyambut kain tersebut.

"Celup, baru tekan-tekan di sini-sini, ya!" seru Rima lagi sambil menyentuh bagian pundak dan tengkuknya.

Kembali Bary melakukan seperti yang Rima pinta.

"Kamu tau, Dek! Pak Guru bilang, orang yang habis melahirkan itu, ada jutaan sel-sel syarafnya yang putus. Sebenarnya, ini kalau kita punya uang macam orang lain, maunya kita beli obat atau setidaknya jamu beranak begitu, biar cepat pulih kembali."

"Tapi ndak apa-apalah, mandi air panas begini, ini obat besar juga."

"Nenek moyang kita dari dulu lagi pakai cara seperti ini. Tapi ... mereka campur dengan doa-doa. Dulu itu, mana ada yang namanya rumah sakit, tapi mereka sehat-sehat saja, kan?" tutur Rima panjang lebar.

"Iya, juga, ya?" sahut Bary asal sembari terus menekan-tekan bagian tertentu di tubuh Rima dengan menggunakan kain yang juga sudah lebih dulu Bary celupkan ke dalam ember.

Setelah itu, Rima bertukar posisi.

Jika tadi Rima membelakangi Bary, kini ia menyandarkan punggung ke dinding, menghadap Bary. Selang kemudian, hati-hati Rima menegakkan kedua lututnya.

"Tolong di sini-sini, Dek! Baru sudah," ujar Rima sembari menunjuk bagian paling private di tubuhnya. "Pelan-pelan, ya! Di sini yang syarafnya paling banyak robek," tambahnya.

Kali ini, Rima yang mandi di depan tungku dapur ini, mulai membuat Bary merasa risih.

Bagaimana tidak? Kali ini Rima meminta Bary untuk menekan-tekankan kain basahan air hangat di bagian tubuh Rima yang paling privat.

Bary diam sambil membuang muka sedikit lebih ke samping. Kali ini, Bary sangat ingin menolak permintaan Rima.

"Ndak apa-apa, Dek! Tidak usah malu," ucap Rima kemudian yang tahu kebimbangan Bary. "Kalau tidak begitu, luka dalam kakak ini tidak bisa sembuh," imbuhnya.

"Tapi, Kak?" Bary benar-benar risih.