webnovel

Gamang

Kaerul sudah meninggal?

Cukup lama Bary hanya diam, duduk bermenung di samping sumur gali yang berada di dalam hutan jati milik Pemerintah. Bayang-bayang laki-laki durjana yang telah menjadi penyebab terlantarnya Rima pada pengembaraan berterompahkan lara, yang mana Bary sendiri ikut serta di dalamnya, terus saja bergelayut di langit-langit lamunannya.

Kaerul sudah meninggal, apakah sudah saatnya untuk melupakan serta memaafkan segala perbuatannya? Bary mulai mempertimbangkan sikap.

Puas merenung, tetapi tidak kunjung menemukan solusi atas sikapnya tentang Kaerul, pada akhirnya Bary menyudahi lamunan. Setelah itu, Bary mulai menimba air untuk ia isi ke dalam jerigen.

Kala terpikir mungkin Rima sudah menunggu, Bary bergegas.

Pun, empat buah jerigen lima literan sudah terisi semua. Sebelum beredar, selain menyempatkan diri membasuh wajah, Bary juga minum sedikit. Hanya beberapa teguk, sekadar untuk menafkahi dahaga. Setelah itu, barulah ia pikul jerigen-jerigennya untuk dibawa pulang.

Semenjak Pemerintah mencangkan program Air Bersih Masuk Desa, warga tidak lagi kesulitan mendapatkan air bersih. Maka, jadilah sumur ini hampir tidak ada orang yang mengunjunginya selain Bary, dan sesekali Rima.

Pun, tibalah juga Bary di ladang.

Usai meletakkan semua segala sesuatu yang ia bawa pulang dari kampung barusan, tanpa menunda-tunda lagi, Bary langsung duduk bersila di depan hidangan yang sudah disiapkan oleh Rima.

Hanya sepiring nasi jagung berlaukkan bayam disayur bening, tetapi dikarenakan rasa lapar setelah seharian penuh barulah bersentuhan dengan makanan, maka hidangan ini bagi Bary lezatnya tiadalah mampu tergambarkan.

Nikmatnya semakin bertambah saat Bary mendapati bayi Rima tidak lagi menangis seperti tadi sore.

Kala Bary tengah menikmati makan malamnya, Rima menghampiri tas kresek berisi beras dan susu bungkus yang dibawa pulang oleh Bary barusan.

"Berapa liter berasnya ini, Dek?" tanya Rima.

Mendengar itu, Bary meletakkan mangkuk berisi sayur bayam yang tanpa garam dan tanpa perasa, atau penyedap rasa ini. 

"Kakak suruh beli satu liter, 'kan?" jawab Bary balas bertanya.

Rima kian mengernyit. Rima heran, barang belanjaan yang dibawa pulang oleh Bary jumlahnya tidak sesuai dengan uang yang ia bawa.

Sedangkan Bary, mendapati Rima hanya diam sambil menjiwai isi tas kresek hitam yang ia bawa pulang barusan, Bary menyempatkan diri menyeruput sekali lagi kuah bayam yang ada di hadapannya.

Kuah sayur bayamnya terasa hambar. Akan tetapi, Bary coba memakluminya. Konon, demi kesehatan bayi mereka, orang yang baru habis melahirkan atau wanita menyusui, tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang keasinan, termasuk yang berpenyedap rasa. Hal itulah yang coba dimaklumi oleh Bary.

Untuk sementara, mau tidak mau Bary harus bisa makan lebih seada-adanya lagi. Toh, Bary merasa, ia sudah terbiasa makan untuk kenyang, bukan untuk sehat sebagaimana orang-orang yang hidupnya berkecukupan. 

Apalagi, makan nasi jagung tanpa lauk apa pun juga kecuali segelas air putih sebagai ganti lauknya, sudah terlalu sering Bary dan Rima lakukan semenjak mereka diasingkan oleh Tetua di desa asalnya.

"Ini, kamu utang atau gimana, Dek?" Rima mulai tidak bisa hanya mendiamkan barang belanjaan Bary.

Bary meluruskan wajah. Hawa-hawanya ini serius. Sebelum menimpali, Bary lebih dulu mengakhiri makan dengan menandaskan segelas air putih. Merapikan piring yang barusan ia gunakan, lalu beringsut menghampiri Rima.

"Itu belilah, Kak!" ujar Bary serius. "Kasian, Kak, di dunia ini, mana ada ... orang yang berani kasi utang jualannya sama kita?" lirih Bary kemudian.

"Tapi, tadi kamu bilang sudah ndak ada uang?" selidik Rima lagi.

"Iya, memang!" jawab Bary sembari mengambil tempatduduk di hadapan Rima. 

"Duh, bau badan Kak Rima-ku ini. Mungkin dia belum mandi, kasian ini," batin Bary apabila mencium aroma amis darah yang menguar dari tubuh Rima, masih bisa tercium dengan begitu jelasnya. Surai Rima pula, semrawut kesana-kemari. "Betapa kusutnya kakakku ini," tambah Bary dalam hati.

"Dapat uang dari mana kamu, Dek?" Rima benar-benar tidak merasa puas.

"Tadi Kakak yang suruh bawa uang lima belas ribu, kan? Saya belanja pakai itulah, Kak," sahut Bary dengan begitu yakinnya.

"Nah, itu dia, Dek, yang bikin Kakak merasa heran," ucap Rima lagi. "Ini uangnya masih ada di sini?" tambah Rima.

Sampai di sini, Rima mulai memperlihatkan sejumlah uang yang ia dapatkan dari dalam tas kresek.

"Iya, ini uang yang saya bawa sore tadi. Kenapa bisa?" tanya Bary dalam hati.

Belum sempat Bary menimpali, Rima kembali menambahkan. Kata Rima, "Berasnya juga, ini kebanyakan kalau cuma satu liter. Terus susunya ... betul kamu tidak utang ini, Dek?"" 

Di sini, Rima memamerkan satu renceng susu putih sachet-an. Tidak hanya itu, di dalam tas kresek, masih ada dua bungkus mi instan.

"Zahirah! Cewek itu ... ?" sesal Bary dalam hati. "Pantasan kreseknya agak berat."

Tadi, Bary terlalu terbawa pikiran tentang berita kematian Kaerul, hingga sedikitpun tidak terpikir tentang apa yang ia bawa pulang. Selain itu, Bary juga tidak sempat memeriksa isi tas kresek yang diberikan oleh Zahirah.

Jika ini sampai ketahuan Bu Hajjah Maemunah, tidak menutup kemungkinan ini akan menjadi masalah. Diam-diam Bary mulai direngasi rasa resah.

"Atau, kamu masih punya uang, ya, Dek?" tanya Rima lagi sembari bangkit dari duduknya, kemudian beringsut ke depan tungku.

"I-iya, Kak!" sahut Bary terbata. "Tadi saya sekalian minta panjar sama pak Haji. Maaf, saya tidak bisa pakai uang Kakak," tambah Bary mengarang bicara.

Bary tahu ini benar-benar tidak benar. Akan tetapi, dia juga tidak mungkin berkata jujur jika Zahirahlah yang sudah dengan sengaja mengisi barang-barang tersebut, tanpa memberitahu Bary terlebih dahulu.

Andai Zahirah berterus terang, sudah pasti Bary akan menolak. Sekarang, tidak mungkin Bary kembali turun ke kampung untuk mengembalikan barang-barang pemberian Zahirah tersebut.

"Hum," deham Rima. "Tambah banyaklah utangmu itu, Dek," tambahnya sambil menumpuk kayu bakar di atas tungku.

"Tidak apa-apa, Kak, nanti tetap saya lunasi, kok!" Bary coba menenangkan Rimw. "Eh, itu Kakak mau masak apa? Kakak istirahat sajalah, biar saya saja yang masak," tambah Bary.

"Ndak masak apa-apa, hanya mau rebus air untuk bikin susu," jawab Rima. "Kasian tadi dia hanya saya kasi icip-icip kuah bayam."

"Astaga, Kak?" Bary tak ingin mempercayai ini. "Tidak apa-apakah itu? Nanti dia kenapa-kenapa, bagaimana?"

"He he he, ndak apa-apalah, Dek!" Rima coba tertawa, meskipun hanya sekadar tawa sumbang. "Sedikit saja, kok! Habis, tadi Kakak sampai bingung dia ndak ada berhentinya menangis. Tapi habis saya kasi kuah bayam itu, dia langsung diam. Mungkin dia lapar kasian, makanya dia menangis terus," tutur Rima.

"Ya, Allah! Siapa lagi yang mengilhami Kak Rima-ku ini?" batin Bary.

Kesederhanaan pengakuan Rima ini, bahkan lebih sederhana dari senyum yang coba ia kembangkan, Bary tahu, itu hanyalah cara Rima untuk menabiri gejolak penderitaannya. Bary semakin hapal dengan watak Rima.

Sampai di sini, Bary tidak tahu lagi harus menimpalinya dengan kalimat apa. Bary hening sambil diam-diam menerawangi wajah Rima.

Sedangkan Rima sendiri, ia semakin letih berpura-pura menjadi saja di hadapan adik angkatnya ini.

"Dek! Tadi malam kamu ndak dengar suara Koa?" tanya Rima kemudian sembari membaiki nyala api di atas tungku. Pertanyaan ini sudah Rima simpan sejak tadi malam.

"Tidak tau, tidak ada kayaknya. Kenapa?" Sanggah Bary yang lagi-lagi terpaksa berdusta, dikarenakan tidak ingin membuat Rima mencemaskan apa pun.

"Ndak apa-apa!" sahut Rima. "Mungkin tadi malam Kakak yang salah dengar."

"Iya, mungkin," imbuh Bary.

"Tapi," ucap Rima lagi. "Tadi waktu di kampung, kamu ndak dengar berita ada orang meninggal?"

Jlep! 

Kalimat Rima kali ini pas kena di kisi-kisi batin Bary. Tadi Bary sempat mempertimbangkan ini, berpikir untuk menyampaikan atau mendiamkan kabar kematian Kaerul, laki-laki durjana yang saat ini mungkin sudah berhadapan dengan Malaikat-Nya untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. 

Ada sedikit keraguan dalam diri Bary, antara memberi tahu, atau menutupinya dari Rima. Bary begitu gamang.