webnovel

Kembalilah

"Bara, apa kau benar benar tidak ingin pulang?"

"Aku rindu, Bara yang dulu," Zean mengirim pesan terus terusan.

Ia berada di dalam kamar hanya seorang diri, Zean kembali ke sepian karena sosok Bara yang tidak ada disisinya saat ini.

"Pulanglah Bara."

Namun tekat Bara sudah bulat ia tidak ingin pulang lagi ke rumah Zean, walau begitu hati Bara masih mencintai Zean.

"Mencintai Zean itu sakit, tetapi aku tidak bisa jika tidak mencintainya," ujar Bara menatap layar hp nya kosong.

Tepukan Angga di bahu Bara membuat, ia tersadar.

"Kamu kenapa Bara? Kamu ga nyaman ya disini?"

"Engga kok, aku malah nyaman disini. Tapi bukan begitu, ehh ia Angga kamu bosan ga?" tanya Bara mengalihkan perbincangan.

"Lumayanlah."

"Angga, gimana kalau kita keluar jalan jalan."

"Wihh bagustuh, apa lagi kalau kita sambil beli jajan diluar."

"Nah ide bagus," Bara tersenyum menampakkan sedikit giginya.

"Tunggu ya aku ngambil kunci motor."

***

"Bara kita mutar muta aja ya, kalau kamu mau jajan bilang aja."

"Oke," membuat tangannya menjadi simbol oke.

"Angga mau bakso bakar," sebenarnya aku tidak terlalu menginginkannya aku hanya mengetes Angga, apakah ia akan membelikan, atau tidak.

Angga berhenti di tempat penjual bakso pinggir jalan.

"Apa! Orang ini benar benar menurutiku," ujarku dalam hati.

"Kamu mau beli berapa Bar?"

"Dua, aku satu, kamu satu."

"Beli 10.000, aja."

"Yaudahdeh," setelah bakso selesai kami pun pergi melanjutkan perjalanan.

Aku, dan Angga memakan bakso bersamaan di atas sepeda motor.

"Angga haus," ujarku lagi dari belakang. Kali ini Angga membelokkan sepeda motornya ke sebuah mini market.

"Ayo turun," tanganku tak lagi gemetaran seperti sebelumnya aku merasa kini aku, dan Bara sudah mulai akrab.

"Kamu mau beli apa?" tanya Angga membukakan lemari pendingin.

"Mau beli langsung mini marketnya," ucapku bercanda.

"Boleh, tapi aku cium kamu dulu," ujarku yang juga bercanda.

"Aku masih normal, aku tidak akan melakukan itu," mengambil air mineral.

"Heh! Udah cuma itu saja?"

"Ia, terus apa lagi. Adasih satu yang aku mau," ujarku menunduk.

"Apa?" tanyaku sambil mengambil lays.

"Aku mau daging tirex panggang," ucapku menunduk memasang ekspresi sedih terpaksa.

"Sial," memukul badan Bara dengan lays itu.

"Sakit tau," mengangkat kepala.

"Sikit tiu, hilih," cerca Angga.

"Angga!" kesalku melihat tingkah Angga yang mengejekku seperti itu.

"Udah ayo kita bayar, lihat," langkah Angga berhenti.

Entah mengapa dengan bodohnya aku pun ikut berhenti.

"Ada apa?" tanyaku penasaran.

"Kita di awasi," ujar Angga dengan wajah yang serius.

"Serius? Sama siapa di awasinnya?"

"Itu," mengarahkan kepala Bara ke arah CCTV.

"Anjir itu CCTV goblok."

"Emang," ucapku berjalan deluan.

"Minimal aku jangan di tinggallah."

***

"Angga."

"Apa Bar?"

"Ke club bar yok," ucapku main main.

"Heh! Lu mau ngapain disitu? Mau mabuk?"

"Mau coba coba siapa tau dapat hadiah," menahan tau.

"Hadiah apanya? Ga ada ke club club malam gitu, aku ga ngijinin dosa."

"Loh kenapa?"

"Dosa, lagian buat apa aku ngijinin kamu ke sana, kamu ga kurang bahagia. Aku ga bakalan biarin kamu pergi ke situ."

"Auww Angga perhatian deh," ujarku manja.

"Ya gimana aku ga perhatian, aku ga akan ngebiarin orang yang aku sayang kenapa kenapa," ujarku tanpa sengaja.

Mendengar itu Bara pun terdiam tanpa suara.

Suasana seakan akan menjadi seperti canggung

"Maksutku sayang sebagai teman," jelasku agar tidak ada asing di antara kami. Tapi kalau dipikir pikir memang benar, aku suka sama Bara. Tetapi aku tau Bara lurus, sedangkan aku adalah Gay.

"Angga, aku ngantuk. Pulang yok," ucapku menguap.

"Ia..."

***

Sebelum tidur, aku sempat memikirkan hal tentang Zean, bagaimana keadaan dia, bagaimana Zean saat ini. Malam itu sebelum aku menar benar tidur pikiranku hanya tertuju kepada Zean.

"Bara yuhuu, wek up," membangunkan pelan.

"Emm," aku terbangun melihat jam. Namun sedikit samar bagiku.

"Sudah jam berapa Angga?"

"Hampir jam 06.00," ujar Angga yang menyemir sepatunya.

Aku pun bangun merapikan tempat tidue, kemudian berlanjut mandi.

Baru kali ini aku berangkat sekolah pagi pagi sekali.

"Angga mampus!" ucapanku membuat Angga terkejut.

"Ada apa?" memberhentikan motorku kepinggir.

"Ga, aku lupa bawak buku pelajaran hari ini," cetusku.

"Lah serius?"

"Ia ga, bukunya tinggal di kosan.

"Yaudah aku kawani kamu menjemputnya ya."

"Ga sempat ga," aku melihat jam tanganku.

"Ini sudah 07.20, entar kita telat, mending kamu saja yang ke sekolah aku pulang ke kosanku," cetusku.

"Trus kamu gimana?"

"Aku pulang naik angkot tenang aja."

"Yaudah kalau gitu, nanti aku buat kamu ijin tenang aja."

Akhirnya aku pun turun, sedangkan Angga melanjut kesekolah. Memang benar semalam itu aku lupa membawa buku pelajaranku hari ini, jadi aku memutuskan untuk kembali ke rumah Zean. Ini suatu kebetulan barang kali.

***

Aku pun sampai ke rumah Zean, aku membuka pintunya yang tak terkunci.

"Kenapa bisa Zean tidak mengunci pintunya," ucapku menutup kembali.

Aku melihat rumah yang luas ini sepi sekali, wajar saja orang penghuninya cuma satu orang.

"Kenapa Zean tidak terlihat," aku berhenti sampai di depan tv, tetapi aku meneruskan mencari Zean.

"Apa Zean ada di dapur," pikirku yang memutar balik kedapur.

Namun tetap saja ia tidak ada di dapur, ruangan belakang yang mengerikan itu juga tertutup.

"Atau mungkin Zean berada di kamar," aku pergi menuju kamar Zean, selama belum sampai aku meneleponinya namun hpnya tidak aktif.

"Atau Zean sakitnya parah," ujarku berlari terbirit birit ke atas.

Aku membuka pintu kamar Zean ia juga tidak berada di kamar.

"Zean kamu dimana?"

"Apa yang terjadi sebenarnya dengan Zean kenapa dia tidak ada di ruangan rumah ini."

"Sialan kemana sebenarnya Zeanku."

"Kalau Zean kenapa napa ini semua salahku, dan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, aku membuka pintu kamar Zean.

Saat itulah kami berpas pasan di depan pintu.

"Zeaann," jeritku.

"Aku tidak budek, aku mendenharmu. Apa?"

"Akhirnya aku ketemu juga denganmu," aku langsung memeluk Zean erat erat.

Zean melepaskan pelukan Bara lalu berkata: "Ada apa denganmu?"

"Aku merindukanmu laki laki sialan," ucapku kembali memeluk Zean.

"Sudahlah," ia menyapu kepalaku.

"Kau tidak merindukanku?" menatap Zean tajam.

Ia memejamkan matanya.

"Bahkan aku lebih merindukanmu, dari apa pun itu."

"Zean kau ini laki laki apasih? Kamu bajingan," aku terus terusan mengeluarkan kata kata serapah kepada Zean.

Ia hanya bisa diam mendengarkan omelanku.

"Sudah selesai dengan semua itu?"

"Kau sama sekali tidak peka, kau tidak mau memelukku."

"Kemarilah."

Aku mendekat kepada Zean, ia benar benar memelukku erat.

"Aku tidak mau melepaskan pelukan ini," aku mencium kening Bara.