webnovel

Laksana

Adhinatha Laksana Bahuwirya, bukan manusia biasa, tapi bukan juga Iron Man

GwenXylona_ · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
26 Chs

Laksana | 06

•L A K S A N A•

"Beli, Jun"

Renda mendengus ketika Nana dengan seenak jidat menunjuk mainan gelembung dari dalam botol yang cara mainnya ditiup, Renda tahu sejak dulu Nana memang suka gelembung sabun, kata Nana 'Gelembung sabun itu murah, mudah didapat, disentuh dikit mbledos, tapi indah. Makanya kalau jadi orang itu kalau bisa jadi kayak gelembung, nggak banyak bacot meskipun murah, mudah didapat dan gampang mbledos, tapi disukai banyak orang'.

Dari situ Renda paham jika 'Murah, mudah didapat oleh siapapun bukan berarti lo jelek dalam artian nggak berkualitas' Renda tidak tahu kenapa Nana bisa berpikiran logis yang jauh dari pikirannya, namun sayangnya Renda tidak bisa untuk tidak menuruti permintaan Nana, se-aneh apapun selagi masih bisa, maka Renda akan menurutinya, bukan hanya Renda, tapi Jeksi juga. Katakan saja jika mereka berdua sangat memanjakan Nana yang notabenya bukan siapa-siapa, tidak ada ikatan darah dari ketiganya, namun Renda dan Jeksi berjanji pada diri mereka sendiri untuk memastikan Nana baik-baik saja.

Entah pikiran dari mana, namun ketika Nana bad mood dan bakal sering diam, nggak pernah makan, dan hanya megangin kaleng kopi, mereka berdua jadi bertekad untuk tidak ingin membuat mood Nana benar-benar hancur. Sayangnya Nana itu moodyan parah, bisa jadi detik ini ngoceh, detik selanjutnya udah macam cosplay jadi preman pasar.

"Ayolah, Juuuun" pinta Nana lagi yang akhirnya diangguki oleh Renda.

"Satu aja tapi, dan jangan ditunjukin ke anak-anak nanti, ngerti!?!"

Nana mengangguk lalu mengambil satu lusin gelembung sabun yang dia inginkan. Renda bilangnya satu kan berarti satu lusin tak masalah dong, salah sendiri bilangnya satu gitu, bukan satu biji.

Setelahnya kedua cowok itu berkeliling mencari kanvas, buku gambar, crayon, kuas, buku cerita, kamus bahasa, pensil, pulpen, pensil warna, penggaris, penghapus, cat warna, beberapa novel, dan buku tulis. Setelahnya mereka juga mengambil banyak mainan, mulai dari boneka, mainan masak-masakan, rubik, kelereng, mobil remote, bola, robot, patung hewan, beberapa jepitam rambut lucu, dan masih banyak lagi, udah kayak mau buka warung.

Tak lupa kotak P3K beserta isinya lengkap, jajanan banyak banget, lebih tepatnya borong semuanya, pokoknya semua camilan di rak itu lenyap sama keduanya, semua minuman terlebih kalengan dan susu kotak juga lenyap dari lemari pendingin. Maaf tapi Renda membawa satu troli, Nana juga satu, tapi dikasir sana udah ada 3 troli yang lagi proses hitungan.

Setelah mungkin setengah jam, keduanya mengehela napas lelah sembari menyenderkan badan pada sandaran jok mobil, hari ini Renda kepikiran waras bawa mobil yang gedean jadi muat buat nampung belanjaan yang---ya lord, struk-nya aja panjangnya setinggi tubuh Nana, tadi sambil nunggu seluruh kertas struknya keluar Nana sama Renda sampai jengah sendiri, mana bunyinya tritit-tritit kayak tikus kejepit.

¹³

"Maroko, Na"

Nana memalingkan wajahnya yang semula menatap anak-anak jalanan sedang makan itu pada seseorang yang dengan angkuhnya berjalan mendekat. Nana berdiri, juga Renda disampingnya yang ikut berdiri, keduanya berjalan mendekati Mark.

"Wait, beraninya lo kesini" Renda yang buka suara.

"Kenapa? Kayak nih lahan punya moyang lo!"

Nana masih diam, membiarkan Renda yang menjawab, untuk urusan bacot membacot, Renda adalah jagonya.

"Moyang gue dikuburan"

"Ckck,,," mata Mark kini berganti menatap Nana, menatap cowok itu dari kaki hingga ujung kepala.

Tentu saja tatapan itu membuat Nana risih "Ngapain sih? Ganteng? Ya gue akui itu"

"Masih hidup lo"

"Salah, harusnya gue yang nanya gitu ke lo. Masih mau hidup lo?" Renda yang menyahut.

"Walaupun kecelakaan itu nggak sengaja tapi gue cukup puas sama lo yang menderita, Adhinatha"

Nana berdecih "Gue nggak menderita, gue senang karena berkat gue sekarat, gue ketemu sama Ibu gue, thanks" santainya sambil mengeluarkan satu botol gelembung sabun dan meniupnya.

Jeda beberapa saat hingga Mark menatap Nana dengan tajam "Bangsat"

"Lo yang bangsat" Renda kembali menyahut.

"Lo kesini mau usir mereka kan?" Nana menunjuk anak-anak jalanan yang ia kasih makan dan banyak hadiah hari ini.

Mark mengangguk "Secara halus atau gue seret satu per satu"

"ENAK AJA MAIN SERET, KITA DULUAN YANG MUTILASI KAKAK!!!" namanya Dewa, anak yang harusnya kelas 6 SD yang menjawab.

"MUKA DOANG GANTENG, HATINYA GENDENG" ini yang nyahut cewek, namanya Zelena.

"WOY, BANG. SEBELUM PERANG, SINI MAKAN DULU!" ini namanya Gilang, anak yang harusnya kelas 9 SMP.

Nana tahu dibawah sana ada antek-antek Mark yang nungguin komando Mark. Maka dari itu Nana mencoba menghubungi Jeksi yang belum ada kabar sejak tadi pagi pamit mau nyariin Haechan.

Panggilan pertama dan kedua kandas tak terjawab. Baru pas ketika terjawab "Ha---"

"Apaan??"

"Ini gue butuh lo, si---"

"Gue sibuk!!"

Nana tersekat "Jeksi?"

"Gue sibuk, Na. Kali ini aja jangan ganggu gue!"

•••••

"makasih ya, Jek"

Jeksi mengangguk lalu tanpa menatap Nana sedikitpun langsung tancap gas lagi keluar dari halaman rumah Nana. Sedangkan Haechan, cowok itu kini tengah berjalan mendekati pintu dimana ada Nana disana, dan begitu dekat, Haechan dibuat nyebut berkali-kali oleh adiknya itu.

"Ya Tuhan, dedek gemes. Wajah lo kenapa babak belur gitu?"

Bola mata Nana berputar, dia melihat jam dari jam tangannya sudah menunjukkan pukul 22.23, dan Haechan dari pagi entah jam berapa dia pergi baru balik sekarang? Jeksi juga, kemana aja berdua?

"Dari mana lo??" galaknya.

"Aduh nggak penting, kata Papa kalau lo luka tapi nggak buru-buru diobatin nanti sakit, udah diobatin belum? Itu parah"

Nana tidak menjawab, langsung masuk meninggalkan Haechan. Haechan sendiri menghela napas "Maaf ya, Jeksi seharian ngurusin gue" lirihnya.

¹³

Pintu kamarnya diketuk dari luar.

"Mas"

Haechan yang memang kang molor itu tentu saja nggak kebangun kalau cuma diketuk dan dipanggil secara halus begitu.

"Mas"

"Mas, Bibi masuk ya?"

Karena tidak ada jawaban, Bibi mengambil kunci cadangan untuk akses masuk kamar Haechan. Dilihatnya jika Haechan tengah berguling dibawah selimut tebalnya. Bibi tersenyum lalu berjalan mendekat, sedikit menggoyangkan tubuh Tuan Muda-nya membuat Haechan sepenuhnya bangun.

"Eungh,,, Bi?"

"Maaf saya lancang, Mas"

"Hmm, kenapa?"

"Mas Na sakit"

"Hah??" Haechan sepenuhnya sadar sampai terduduk.

Bibi mebgangguk "Tadi Bibi mau antar powerbank yang tertinggal di dapur, Mas Na sedang tidur tapi nggak nyaman"

Haechan mengeluh, teringat perkataan Papa 'Kalau lagi berantem terus luka terus nggak buru-buru diobatin malamnya pasti sakit, kata dokter diluka itu ada kuman dan virusnya, Nana nggak kuat.'

"Nggak diobatin tadi lukanya, Bi?"

"Tadi Bibi siapin kotak obat, mau Bibi obatin, tapi katanya biar dia sendiri aja. Tapi pas saya tilik balik, kotak obat itu belum disentuh, Mas"

"Hobi amat nyari penyakit, tolong siapin kompresan ya, Bi"

Bibi mengangguk lalu beranjak keluar, sementara Haechan menutup matanya sejenak baru ikut keluar menuju kamar Nana. Benar saja didalam sana Nana meringkuk kedinginan, Haechan mencari remote control AC yang entah ada dimana karena tidak ada ditempatnya, kalau nggak dimatiin bisa-bisa Nana mati kedinginan.

Setelah nemu terus dimatiin, Haechan baru mendekatinya, menyentuh dahinya yang malah bikin Haechan mengucap asma Tuhan berkali-kali, tumben.

"Ya Allah, Dek. Kamu tadi udah makan belum?"

Nana tersadar, anak itu menatap Haechan dengan tatapan mata kuyu, namun tak mengatakan apa-apa. Haechan menilik jam yang menunjukkan pukul 2 dini hari.

"Udah makan belum?"

Nana menggeleng.

"Harusnya tadi makan, bodoamat jaraknya lama yang penting makan biar bisa minum obatnya" Haechan beranjak, bertepatan dengan Bibi yang datang membawa air untuk kompresan.

Haechan mengambil nasi beserta lauknya untuk dipanaskan beberapa saat. Sembari menunggu, Haechan membuat teh hangat. "Kalau aja gue tadi dirumah, udah gue obatin lukanya, sakit kan jadinya."

"Masih untung gue sayang sama lo, kalau nggak bodoamat mau sakit juga"

"Sayang? Masa iya gue belok ke jalan setan?"

Haechan menggeleng "Lagian siapa yang nggak sayang sama orang kayak lo, Na"

"Biar Bibi saja, Mas"

Haechan menoleh "Nggak usah, Bibi isrirahat aja. Ini udah malam"

"Tapi---"

"Nggak apa-apa, lagian udah beres kok" Haechan senyum sambil mengambil nampan untuk makanan dan teh hangatnya, juga obat penurun demam, tak lupa bye bye fever, Haechan aja baru tahu kalau ada bye bye fever dikotak obat, berarti selama ini Nana pakai itu dong?

"J-jangan, mual gue"

Haechan mendengus, dia tak jadi mengangkat piring nasinya "Yaudah maunya apa? Tapi jangan aneh-aneh udah jam setengah tiga ini"

Nana menggeleng.

"Aduh Nanaku sayang, kalau nggak diminum obatnya besok yang ada makin parah. Gue ambilin roti aja, mau?"

Nana mengangguk.

"Selainya apa?"

"Coklat"

Haechan kembali tersenyum lalu mulai berjalan kembali ke dapur mengikuti keinginan Yang Mulia. Pas lagi moles-moles selai, Haechan kepikiran gimana Nana dulu pas dia belum disini, bagaimana anak itu ngurus dirinya sendirian, karena udah pasti nolak diurusin pembantu.

"Ini, aaaaa"

Nana membuka mulutnya dan menggigitnya sedikit. Haechan malah melongos "Ini digigit manusia apa digigit belalang, dikit amat!"

Nana menggeleng "Udah yang penting gue makan, udah menghormati usaha lo"

"Yaudah serah, nyerah gue sama lo. Ini obatnya, minum!"

Nana mengambil dari tangan Haechan, meminumnya begitu saja, lebih tepatnya menelannya bulat-bulat tanpa bantuan apapun, Haechan melongo sejenak "Na??"

"Hmm?"

"Itu obat---"

"Minum, bego! Pait nyet"

Haechan buru-buru memberikan satu gelas air untuk Nana minum.

"Bobo ya, biar gue kompres jidat lo"

"Nggak usah, sono pegi!!"

"Nurut!!"

Haechan bisa juga mode galak, dan kalau udah gitu ternyata serem, Nana hanya bisa nurut. Lagian dia nggak punya tenaga untuk melawan perdebatan lagi.

"Gue paling benci sama salah satu keluarga yang sakit" gumam Haechan.

"Makanya pas lo sekarat gue kayak orang kesetanan nggak waras"

"Pas gue sehat aja lo nggak waras" sahut Nana santuy banget.

¹³

"Telen!! Telen, awas lo muntahin gue bijek-bijek lo!!"

Nana menatap horor Haechan, tatapan tajam Haechan ternyata menyeramkan, jadi mau tak mau Nana menelan makanannya dengan susah payah seolah tenggorokannya tertutup lalu dipaksa untuk menelan rasanya menyakitkan.

"Jangan paksa gue dong, sakit tau!!"

"Ya kalau lo nggak makan terus lo mati nggak mau gue"

"Kenapa gitu"

"Takut lo gentayangan, kan dosa-dosa lo segunung"

Nana yang awalnya mengira jika Haechan akan menjawabnya dengan kewarasan hanya mendengus, ada ya orang macam Haechan, pikirnya.

Haechan lalu menyuapkan kembali sendoknya "Aaa!! Nurut!!"

Nana menggeleng "Nggak!!!"

"Gila, ngangon Pajero lebih mudah dibanding kasih makan manusia"

"Pajero??"

"Wedus"

"Lo ngatain gue wedus" Nana yang pas lagi sakit aja sensian apalagi pas kayak gini, sensiannya plus-plus.

Bola mata Haechan berputar "Pajero itu nama kambing gue!"

Nana terbatuk, kontan bikin Haechan panik, takut ajal menjemput adik tirinya. Bocah itu spontan berucap "Lailahailallah, ikutin gue, Dek. La---"

"Gue belum mau koit, Su!!" Nana menggampar kepala Haechan yang kini berjarak lebih dekat dari sebelumnya.

Haechan ngelus kepalanya yang jadi korban gamparan Nana, Nana ngegamparnya nggak main-main coy, sakit. "Lagi sakit nggak boleh sa-su-sa-su, nanti malaikatnya yang gemes sekalian cabut nyawanya"

Nana langsung dongkol "Lo ngomong lagi gue denda 10 juta!!"

"Itu melanggar HAM, Hak Asuh Manusia"

"Asasi, gembel!!"

Haechan nyengir "Hehehe, lali aku" dia lalu meletakkan mangkuk berisi sarapan Nana pada nakas dan beralih mengambil gelas.

"Lo sekolah aja!!"

Haechan menggeleng "Nggak mau, gue tinggal sekolah pas balik lo tinggal nama"

"Anjing"

Haechan hanya diam, lagi nggak mood berantem sama Nana, kamar ini daerah kekuasaan Nana, bisa-bisa Haechan yang pas keluar mukanya bonyok semua.

"Main yuk" ajak Haechan setelah bermenit-menit hening, Haechan sibuk chat Renda untuk mengizinkan kalau mereka absen.

"Bisa nggak lo keluar"

"Kenapa?"

"Gue mau tidur"

Haechan manggut-manggut "Bobo aja, gue nggak ganggu"

Nana tidak peduli, cowok itu menarik selimutnya lalu mulai berguling diatas ranjang memulai perjalanan menuju mimpinya. Sementara Haechan tersenyum, ponsel ditangannya tiba-tiba bergetar membuat senyuman diwajahnya luntur digantikan wajah dingin dan menusuk.

"Hallo"

"Kenapa??"

"Namanya Mark"

"Mark?? Abisatya?"

"H'mm, kok tahu?"

"Cucunya juragan tanah, nyet"

"Yang bener? Terus gimana?"

"Nggak gimana-gimana, diam aja biar gue yang urus"

"Oke, gue matiin ya, pulsa gue entek"

Haechan terkekeh "Suwun ya"

"Padha-padha, Chan. Asalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

Setelahnya Haechan menghembuskan napas berat "Laksa Crescencia, menarik kayaknya"

•••••

+62953***

Maaf banget tapi gue butuh

You

Brp?

+62953***

20jt

You

Gw tf

Dgn syarat

Lo nurutin semua yg gw suruh

+62953***

Gw udh nurut soal Adhinatha

Dr dulu ancaman lo itu mulu

You

Kl lo g nurut, tau sendiri kan?

+62953***

Iy, tolong sekarang ya

Gw butuh banget

Maaf sebelumnya

You

Buat apaan si?

+62953***

Biaya RS

You

Oh

Renda meletakkan ponselnya diatas meja setelah selesai mentransfer sejumlah uang pada manusia itu. Ternyata berurusan dengannya sangat melelahkan dan menguji kesabarannya, namun Renda masih bisa menahannya. Cowok itu kemudian mencoba memperhatikan Bu Guru yang sedang mengajar didepan, namun dia tak fokus, otaknya melayang jauh pada hari dimana dirinya nyaris hilang harga diri saat memohon bantuan itu--karena Nana.

Uang 20 juta mungkin bukan apa-apa, bisa dicari, namun Renda tak habis pikir dengannya yang segitunya, masalah bunuh dirinya Beril masih menjadi desas-desus dimana-mana, namun pikiran Renda nyalang bertumpu pada satu kubu.

Hari ini Renda duduk bersama Jeksi karena biasanya kan Jeksi sama Nana dan dia sama Haechan, karena dua bersaudara itu absen jadinya Jeksi dan Renda menyatu. Disampingnya, Jeksi juga sibuk mikirin sesuatu, cowok itu tidak punya masalah sebelumnya, hanya saja setelah mencari Haechan kemarin, Jeksi jadi parnoan.

Kalau aja dia datang terlambat satu menit saja kemarin, mungkin Haechan berakhir diliang lahat, Jika ditilik bagaimana Haechan kemarin, Jeksi berani bersumpah jika dia takut, Haechan adalah sahabatnya dari kecil yang hobinya ngangon wedus sama nguber layangan kayak orang nggak guna bagi negara. Haechan juga tak jarang nyebur empang Pak RT buat nangkepin ikan, kata Pak RT, kalau bisa nangkap dengan tangan sendiri, ikan itu boleh dibawa pulang dengan gratis. Makanya Haechan semangat, orang gratisan.

Tak lama ponselnya juga berdeting.

Line

Mark

Apa yg lo lakuin, bangsat!

Jeksi menyirit bingung, apa yang dia lakukan memangnya?

Jeksi

Apaan?

Mark

Jgn prnh lindungi gue

Lo bs kena masalah

Jeksi

Dgn biarin lo mendekam

Dipenjara?

Mark

Itu lbh baik

Jgn prnh memohon

Biar gw g dilaporin

Jeksi

G, lo g waras!

Mark

Emang, semua karena

Mereka.

Jeksi

Bukan, Bang.

Lo salah paham

Mereka g ngapa-ngapain

Mark

Lo yg slah paham

Mereka g ky yg lo liat, Jeksi!!

Jeksi tak lagi menjawab, dia membiarkan saja ponselnya diatas meja, matanya menatap pada papan tulis yang terdapat banyak coretan yang tidak Jeksi pahami, yang penting lihat papan tulis dulu pasti hidupnya aman nggak bakal kena lemparan penghapus dari Bu Guru.

Tidak lama kemudian Jeksi mengalihkan pandangannya, gila banget merhatiin angka dicampur garis-garis, ada huruf, juga simbolnya kayak gitu, udah campur-campur banget. Kalau misal angka itu cendol, huruf santan, garisnya itu gula, dan simbolnya ketan hitam, udah enak banget jadi es cendol. Jeksi mendengus, jadi pengen es cendol.

Renda juga begitu, dia menyenggol lengan Jeksi membuat Jeksi menatapnya dengan sorot mata penuh tanya.

"Beli es cendol depan terminal yuk"

•L A K S A N A•