webnovel

Lady in Red (21+)

"Cinta itu buta dan tuli. Memang. Karena, jika cinta tidak buta dan tuli, maka itu bukan cinta, tapi LOGIKA." Vince Hong sudah merasakan berbagai jenis cinta, sekaligus berbagai jenis ranjang dan desahan, namun akhirnya dia tersudut pada sebuah cinta buta dan tuli yang menjungkir balikkan kewarasan dia, meski itu artinya... TABU, karena seseorang yang dia cintai, adalah sesorang yang tidak seharusnya dia kejar. ============================================ Novel ini sarat akan ADEGAN DEWASA. Tolong bijaksana dan bijaksini dalam memilih bacaan. Novel ini hanya utk para pendosa, bukan utk orang2 suci tanpa dosa, apalagi utk anak2. Krn novel ini justru menceritakan bagaimana cara membuat anak... /PLAK!/

Gauche_Diablo · สมัยใหม่
Not enough ratings
1000 Chs

I Wanna Take Forever Tonight

(I Wanna Take) Forever Tonight

- Peter Cetera & Crystal Bernard -

.

I want to take forever tonight

Want to stay in this moment forever

I'm gonna give you all the love that I've got

I want to take forever tonight

Fill you up, fill you up with love

When we close the door all I need is in your eyes

I want to take forever tonight

======================

Seorang pria lekas keluar dari mobil, setengah berlari ke arahnya. "Mogok?"

"Ban kempes!" seru Ruby karena derasnya hujan. Meski tangan sudah memayungi dahi, tetap saja basah kuyup.

Pria itu mengangguk. Dia pria misterius di kafe. Ruby sempat berasumsi pria itu mengikuti dia, tapi apakah mungkin?

"Ayo kuantar saja pulang ke rumahmu!" seru si pria. Tampaknya kondisi tidak memungkinkan bila mengganti ban di bawah guyuran hujan lebat begitu.

"Hah?"

"Ayo! Jangan lama-lama hujan-hujanan! Nanti kau sakit!"

Ruby hanya bisa kaget terbengong ketika tangannya sudah ditarik pria tadi menuju ke mobil si pria. "H-hei! Tunggu! Mobilku belum aku kunci!"

Pria itu pun melepas genggamannya agar Ruby bisa mengunci mobilnya. Kemudian keduanya masuk ke mobil si pria. Ruby memandang skeptis.

"Kau takut kuculik?" Pria itu membuka omongan sebelum mobil dijalankan. "Hahaha, jangan kuatir. Aku tidak sejahat itu. Cepat beritahu di mana alamatmu, aku antar kau pulang." Mesin mobil dinyalakan. Penghangat udara mulai bekerja menyemburkan hawa hangat di mobil.

Ruby angkat bahu. Mungkin dia memang terlalu paranoid mengira yang tidak-tidak pada pria di sampingnya. Toh jikalau pria itu berniat jahat, Ruby bisa hujamkan high heels dia ke batok kepala pria tersebut.

Mau tak mau, Ruby mengatakan lokasi tempat dia tinggal.

Di lain pihak, pria itu mencoba menghubungi bengkel langganannya. Ternyata ada yang mengangkat. Mungkin Ruby harus ganti bengkel sejak ini. Pria itu meminta bengkel mengurus mobil Ruby yang ditinggal di jalanan.

Sampai di apartemen sang biduan, Ruby turun. Mereka ada di basement. "Maaf, jokmu jadi basah."

"Oh, tidak apa-ap--HUATCHIM!" Belum sempat selesai bicara, bersin keras si pria sudah menginterupsi.

Ruby jadi tambah tak enak sendiri. Pria itu berkali-kali repot karena dirinya. Mengurus mobilnya, jok basah, dan kini terancam demam?

"Errngh... mau masuk? Secangkir coklat hangat pasti nyaman untukmu," tawar Ruby.

Pria itu mendongak ke Ruby. "Kau yakin?"

Sedikit ragu, Ruby mengangguk. Namun, pria itu menangkap keraguan sikap Ruby.

"Lebih baik aku pulang--HATCHIN!"

"Lihat, sepertinya tubuhmu menginginkan coklat hangat, Tuan." Ruby lipat dua tangan di depan dada, menahan tawa.

Pria itu terkekeh. "Susah bohong, yah? Hehehe..."

-0-0-0-0-

"Letakkan saja mantelmu di bawah sana." Ruby menunjuk ke lantai ruang tamu apartemen. "Nanti akan aku bawakan keranjang laundry." Ia sudah mendahului masuk ke ruang dalam usai melepas sepatu basahnya di rak ruang tamu.

Pria itu mengikuti setelah menaruh mantelnya seperti yang disuruh Ruby.

"Oh ya, siapa namamu, Tuan?"

"Vince. Tapi panggil saja Vin."

Ruby menoleh sebentar ke belakang. "Oke, Vin. Kau bisa pinjam kamar mandiku untuk berbilas karena kamar mandi tamu sedang rusak kerannya. Baju... kurasa aku punya kaos longgar. Semoga kau tak keberatan dengan style wanita."

Vin mengangguk patuh. "Tak masalah." Ia menerima handuk dan baju ganti dari tangan Ruby. Kemudian ditunjukkan arah kamar mandi di ruang pribadi Ruby. Rupanya dua ruangan itu menyatu

"Mandilah air hangat agar tidak demam, Vin. Aku akan buatkan minuman hangat untuk kita."

"Tapi kau kan juga basah."

"Tenang saja, aku sudah biasa kehujanan, kok. Jadi, lumayan kebal." Ruby melenggang meninggalkan Vin di kamar untuk ke dapur membuat 2 coklat hangat.

Setelah coklat selesai dibuat, Ruby ke ruang lain, tempat baju-baju dari laundry diletakkan sebelum masuk ke lemari. Lekas saja dia menukar pakaian basahnya dengan baju kering di sana. Atasan kaos merah muda dan rok mini merah tua. Ingin mencari yang agak panjang, sayangnya tak ada. Daripada ke kamar dan kepergok Vin, lebih baik yang ada saja.

Begitu dia selesai ganti pakaian, ia membawa dua mug berisi coklat hangat ke ruang tengah, tepatnya ke minibar.

Baru saja dia rampung meletakkan dua mug, Vin sudah muncul. Handuk sibuk digusakkan ke rambut basahnya. Ruby menahan tawa melihat kaos pink longgarnya di tubuh atletis Vin. Apalagi boxer merah bermotif kupu-kupu. Hanya itu yang berukuran besar di lemarinya.

"Syukurlah keduanya muat di tubuhmu, Vin." Ruby mengulum senyum. "Ayo duduk sini. Coklat hangatmu sudah menanti." Ditepuknya kursi tinggi di sebelah ia henyakkan pantat.

Vin patuh. Handuk ia sampirkan ke besi kursi lain, sementara dia duduk di sebelah Ruby. "Kau sudah ganti baju rupanya. Tidak ingin mandi?"

Ruby menggeleng. "Nanti saja." Lalu ia menoleh ke Vince. "Kau... yang akhir-akhir ini sering datang ke kafe, kan?"

Vince naikkan alis sambil menyesap coklat hangat di tangan. "Wah, kau sampai tau. Sebuah kehormatan bagiku dikenali seorang biduan cantik."

"Dasar perayu," kilah Ruby sambil senyum miring. Dua tangan menangkup mug, lalu menyesap pelan isinya. "Ahh... sedap sekali."

Vin melakukan hal yang sama. "Humm... kau benar. Sungguh perpaduan sempurna."

"Perpaduan sempurna?" Ruby menoleh ke Vin.

"Yah, perpaduan rasa yang enak dan suasana yang mendukung minuman ini." Vin balas menoleh sembari ulaskan senyum simpatik.

"Kuharap perpaduan sempurna ini bisa mencegah kau demam," sergah Ruby.

Vin terkekeh ringan. "Yeah. Semoga." Ia menyesap coklatnya. "Oh ya, boleh tau namamu?"

"Hn? Namaku?" Ruby angkat alisnya.

"Yup. Aku yakin Ruby bukan nama aslimu. Benar, kan?"

Biduan itu tergelak kecil. "Terlalu kentara, yah?"

"Tidak. Hanya insting saja."

"Instingmu luar biasa."

"Juga analisa, sedikit."

"Analisa?"

"Karena kau selalu memakai baju merah tiap tampil. Makanya aku asumsikan itu berhubungan dengan nama Ruby. Nama panggung."

"Hahah. Cerdas juga kau, Vin." Ruby bangkit dari kursi mini-bar, berjalan ke depan lemari es demi mengambil shortcake yang ia beli pagi tadi.

Vin mengamati Ruby dari belakang. Meski terlihat layaknya wanita dewasa dan matang, namun penampilan Ruby sangat trendi, didukung bentuk tubuh proporsional.

Pinggul ramping, pantat kecil yang padat, lekuk dada tidak berlebihan, dan betis yang rasanya menggiurkan jika dijilat. Oke, Vin mulai berpikiran kotor. Memalukan sekali.

Vin menggusak gusar rambut basahnya. Ruby menoleh ke belakang seraya taruh kue yang sudah ia potong ke meja mini-bar.

"Kuharap kau tidak keberatan dengan makanan manis seperti ini, Vin." Ruby meletakkan sepotong shortcake yang dia tempatkan pada piring kecil beserta garpu di tepinya pada meja minibar.

"Oh, kau bisa tenang, karena aku bukan jenis orang yang terlalu pemilih dengan makanan." Vin tersenyum simpatik pada wanita menarik di dekatnya. "Terlebih jika kue manis ini dihidangkan oleh wanita semenarik dirimu," imbuhnya tanpa ditutup-tutupi.

Ruby terkekeh lirih begitu mempesona, seolah hanya kekehannya saja sudah seperti sebuah lantunan nada merdu yang mengambil kunci nada do = C mayor. "Kau ini rupanya benar-benar mempunyai bakat besar sebagai penggombal nomor satu di daerah ini, yah! Hihi!"

Vince ikut terkekeh tanpa malu-malu. "Jurus spesialku ini hanya akan muncul di depan wanita yang juga spesial."

Alis rapi Ruby terangkat naik.