webnovel

L E Z A

Cerita klise macam apa ini? Erza, pria kuat dengan senyuman yang paling manis di muka bumi ini. Atau Ahza, pria tampan dengan sejuta kesabarannya. Sebenarnya ini bukan lagi cerita tentang cinta segitiga yang rumit dan banyak masalah. Ini tentang dia yang menjadi satu-satu pengubah genre kisah hidupku. Aku tidak tahu, yang menakjubkan itu kisahku yang berubah genre atau dia yang mengubah genre. Cerita ini dibuat pada tanggal 2 Agustus 2020

Frxddxpark · สมจริง
เรตติ้งไม่พอ
5 Chs

Empat Anak

Brengsek!

Teriakan Erza dari dalam rumah menggema hingga sampai di telingaku. Tanpa ragu lagi aku masuk kerumahnya, berlari kecil mencari sumber suara.

Aku sampai di ruang tengah yang luas sekali. Melebarkan mataku terkejut karena keadaan disana. Ruangan itu berbau anyir karena darah dari dua orang yang tergeletak dilantai. Wanita cantik itu tergeletak di lantai tak berdaya, mengucurkan darah yang keluar dari salah satu sisi kepalanya. Dan satu lagi, pria gagah yang juga tergeletak tanpa nyawa, menggenangi tubuhnya dengan darah.

Itu mama dan papa Erza.

Erza terpaku melihat kedua mayat orang tuanya itu, dengan air mata yang deras menutupi wajah tampannya itu. Tangannya nampak bergetar. Dia tidak sanggup mendekati kedua orang tuanya itu.

Aku juga melihat satu art –asisten rumah tangga- duduk gemetar seperti halnya Erza. Sepertinya dia melihat kejadian yang menimpa kedua majikannya itu. Satu lagi, security yang sedang panik menelpon. Entah menelpon polisi atau ambulan.

Kemana yang lainnya? Security di rumah ini kan tidak hanya satu, art-nya pun ada lebih dari satu. Kemana mereka?

Aku masih berdiri melihat apa yang terjadi. Setelah itu aku menoleh, merasakan ada suara tangisan dari jarak terdekatku. Aku menemukan anak laki-laki kecil sedang meringkuk dan menangis sesenggukan. Itu bima.

Aku mendekatinya, berusaha menenangkannya. Aku mengelus pucuk kepalanya, mengangkat tubuhnya agar bisa kugendong. Akan aku ajak pergi dari sini, supaya dia tidak terus melihat orang tuanya yang mengenaskan.

Dia tidak menolak saat kugendong, tapi masih berusaha menutupi wajahnya yang sedang menangis hebat. Aku menghampiri security yang sudah selesai menelpon.

"Pak, bima aku bawa kerumahku. Aku teman Erza. Tolong jaga Erza". Aku meminta ijin supaya mereka tidak mencari bima nanti.

"Iya neng. Tolong jaga bima ya"

Aku pergi dari rumah itu, meninggalkan sepedaku yang entah kutaruh dimana tadi.

Bima masih menangis di lekukan leherku, mengeratkan pegangannya yang melingkar diatas bahuku. Dia pasti melihat semuanya tadi. Anak kecil yang belum mengerti apa-apa itu, pasti akan punya trauma nantinya.

Aku memikirkan banyak kemungkinan yang menyebabkan orang tua Erza seperti itu. Mulai tentang musuh, maling atau apapun. Aku juga memikirkan keadaan Erza. Dia sudah pasti sangat terguncang, apalagi dia sedang tidak ada di tempat kejadian waktu itu. Pasti dia menyesal tidak bisa melindungi orang tersayangnya itu. Kuharap dia baik-baik saja.

Bima sudah menghentikan tangisannya, meskipun masih cegukan sesekali. Aku mengelus punggungnya, mencoba untuk berbicara dengannya.

"Bim, mau beli es krim di market?"

Sungguh, aku tidak tahu cara menenangkan anak kecil. Aku tidak pernah melakukannya.

Dia menggeleng pelan dan tetap menyembunyikan wajahnya.

Aku sampai di rumah, berniat menurunkan bima di sofa lalu kuambilkan makanan di dapur. Tapi dia tidak mau kuturunkan, makin mengeratkan pegangan dan kakinya yang mengapit pinggangku. Ah! Bagaimana ini.

"Gak mau" ucapnya dengan suara yang serak.

"Yaudah kak lea gendong aja. Mau makan?" Tanyaku berusaha mengeluarkan suara paling lembut.

Lagi-lagi dia hanya menggeleng.

Aku mengelus punggungnya yang nampak lesu itu, menimang-nimangnya agar dia tertidur. Minimal, dia bisa tenang setelah bangun tidur nanti.

Dan benar saja, dia tertidur dalam waktu 10 menit. Aku menuju kamarku, menidurkan dia di kamarku. Bahuku dan lenganku sudah capek sekali sekarang. Rasanya sudah mati rasa. Bima ini sudah bukan bayi lagi, jadi tubuhnya itu berat.

Tapi tetap saja dia tidak mau lepas dari gendonganku. Ah!

Aku kan harus menghubungi bunda, menceritakan hal-hal yang terjadi pada Erza. Kalau ada bima, aku kan tidak bisa menelpon bunda. Takut bima mendengarnya.

Aku yang frustasi dan capek, mendudukkan tubuhku di tempat tidurku. Memangku bima sambil menghubungi bunda via chat. Mengetikkan banyak kalimat, sudah seperti cerpen untuk tugas sekolah. Sekalian kuceritakan semua agar bunda tidak banyak bertanya lagi. Tidak lupa, aku meminta bunda untuk cepat pulang dan menggantikan posisiku ini.

Aku diam menunggu balasan bunda. Lalu teringat teriakan Erza yang memaki seseorang. Ada tanda tanya besar dikepalaku. Apa Erza tahu siapa pelakunya?

Kepalaku memutar kasus-kasus serupa yang kulihat di drama korea. Memikirkan berbagai teori yang bahkan aku tidak pernah mau memikirkan teori comeback NCT. Itu membingungkan. Dan sekarang aku memikirkan teori yang jauh lebih membingungkan.

Ting Tong

Suara bel rumahku bunyi, aku tidak tahu siapa yang memencetnya. Kalau itu bunda, pasti langsung masuk dan tidak mungkin bunda pulang secepat itu. Aku membuka pintu. Anak perempuan dengan gaya rambut pendek keriting itu terkejut melihatku menggendong anak laki-laki yang tertidur.

"Anak siapa itu woe?" Suaranya khas melengkingnya itu menyambutku dengan nada terkejut sekaligus penasaran. Untung saja tidak membangunkan bima.

"Sstttt.. Jangan keras-keras, ini adeknya pacar gue" aku berbisik dengannya.

Dia ini teman dekatku sejak sd, nadia namanya. Dia sering menginap di rumahku. Begitupun hari ini. Aku sudah tahu kalau dia akan menginap, dia membawa tas ransel yang penuh dan membawa kantong plastik berisi banyak camilan.

Dia ber-oh tanpa suara lalu masuk tanpa kupersilahkan. Dia duduk di sofa ruang tengah, melepas tas di punggungnya lalu melemparkannya di lantai, menaruh kantong plastik itu di meja. Dia meregangkan punggungnya di sofa empuk kesukaannya itu. Dia ini memang sudah menganggapnya seperti rumah sendiri.

Aku juga menyandarkan tubuhku ke sofa empuk itu. Cukup melegakan bisa melakukannya.

"Kenapa dia?" tanyanya dengan suara pelan.

Aku menyodorkan ponselku, mengisyaratkan kalau dia harus membaca chat ku dengan bunda. Sambil menunggu nadia selesai membaca dan paham, aku mengambil tangan kecil bima, membiarkannya menggantung di sisi-sisi tubuhnya. Tangannya pasti capek karena terlalu lama memegang leherku dengan erat.

Memperhatikan wajah merah bima yang sudah kering air mata itu, wajah bundar dan kecil itu tampan sekali. Mengusap pelipisnya dengan lembut. Tatapanku seketika terhalang air mata.

..

..

Ini, hari kedua bima di rumahku. Sulit sekali membujuknya untuk tetap bersamaku. Dia menangis semalaman memintaku untuk mengantarnya pulang. Bunda mengajaknya pergi keluar malam-malam, dengan ayah naik motor. Dan saat mereka kembali, bima sudah tidak rewel lagi. Aku tidak tahu bagaimana cara bunda menyakinkannya.

Pagi ini aku menjaga bima bersama dengan nadia. Bunda bekerja di toko, tapi dia akan pulang nanti siang. Itu karena bima.

Mengurus adik kecil memang tidak semudah yang aku kira. Bima memang tidak rewel lagi, tapi .... ya begitulah. Bukannya aku menyesal karena membawa bima.

Nadia yang juga anak tunggal sepertiku itu senang sekali bermain dengan bima. Di rumahku tercecer banyak mainan sekarang. Mainan lama ku yang sengaja bunda simpan itu akhirnya keluar dari penyimpanan. Mainanku bukan hanya boneka dan masak-masakan. Jadi jangan berpikir kalau bima main boneka sekarang.

Selagi nadia dan bima bermain di ruang tengah, aku menjauhkan diriku, menelpon seseorang yang sedari tadi malam tidak bisa kuhubungi. Aku khawatir dengannya. Kata bunda, mungkin dia sedang ada di kantor polisi untuk di investigasi. Tapi tetap saja aku khawatir. Tidur dimana dia semalaman? Apa dia sanggup pulang kerumahnya yang sekarang tertutup garis polisi itu?

Kalaupun dia di rumah saudaranya, pasti akan kuantar bima kesana. Bima akan lebih senang tinggal dengan seseorang yang dia kenal dengan dekat.

Nomor yang anda tuju...

Tetap saja seperti itu.

"Assalamualaikum.. Lea.."

Suara bunda yang lembut itu membuat tubuhku otomatis menghampirinya yang masih berada di ruang tamu. "Waalaikumsalam. Ada apa bun? Tumben gak langsung masuk"

Bunda mendekatkan wajahnya ke telinga kiriku, berniat untuk membisikiku. "Erza kesini –"

"Ha?"

Aku memotong perkataan bunda dengan teriakan.

"Bunda mau ngajak bima jalan-jalan dulu. Terus kamu bawa masuk Erza. Suruh dia mandi sama siapin bajunya ayah di lemari"

Bunda menganggukkan kepalanya meyakinkan aku yang masih melongo setelah mendengar bisikkan bunda.

"Dek.. Ayo ikut bunda dek. Bima suka roti gak?" Bunda menghampiri bima, membujuknya agar bisa diajak keluar rumah.

"Sukaaa" logat lucu bima terdengar di ruang tamu.

"Ayo ikut bunda ke toko roti, bikin roti yuk dek" ajak bunda.

"Ayookkkk" bima semangat saat mendengar ajakan bunda.

"Kak nadia tolong bikinin teh anget ya" perintah bunda untuk nadia.

"Buat apa bunda?"

Tanpa menjawab bunda keluar menggandeng bima, melewatiku yang masih berdiri kaku di ruang tamu.

"Teh anget buat apa le? Bunda kan pergi" nadia masih bingung dengan perintah bunda yang tanpa alasan itu.

"Erza kesini, buatin gih! Gue mau nemuin dia dulu. Ntar bawain ke sini ya!"

Tanpa menunggu jawaban, aku keluar dari rumah setelah melihat bunda dan bima sudah hilang dari penglihatan. Aku menengok kanan kiri, mencari keberadaan Erza yang disembunyikan bunda dari bima.

Dari jarak 10 meter, nampak anak laki-laki lesu yang masih memakai pakaian joggingnya. Aku menunggunya di depan gerbang rumahku, memperhatikannya yang sedang menunduk. Pikirannya pasti sedang kalut sekarang. Kehilangan orang tersayang, bukanlah hal kecil yang mampu dia maklumi, bahkan ketika kepergian keduanya dengan cara yang mengenaskan.

Saat tepat di depanku, dia memperlihatkan wajahnya padaku. Pahatan indah itu sedang dalam keadaan yang tidak baik. Rambutnya sedikit berantakan, matanya sembab, bibirnya kering dan tanpa senyuman.

Aku menarik pergelangan tangannya, mengajaknya untuk berbicara di dalam rumah. Aku mendudukannya di sofa ruang tamu, menjajari duduknya dan mencoba menunggunya bicara.

Dia menatapku dan sesaat kemudian bibirnya tertarik kebawah dan mulai menangis. Aku merengkuhnya, dia menutupi wajahnya di lenganku.

"Wajar jika kamu menangis sekarang. Jadi menangislah!" Suaraku berat, seperti ada yang menahanku untuk berbicara. Tenggorokanku serasa kering sekarang.

Dia menegakkan tubuhnya, menatapku dengan tatapan yang susah kuartikan. Mungkin tatapan itu mengandung banyak sekali rasa. Sedih, marah, kecewa dan apapun yang tidak tahu ingin kuucapkan dengan cara bagaimana.

Aku tetap menunggunya berbicara, atau setidaknya mengucapkan beberapa kata. Tapi tetap saja dia tidak mampu untuk melakukan hal itu.

"Kamu mandi dulu ya, aku siapkan bajunya sekarang"

..

Malam itu, kami bertiga –aku, nadia dan bunda- sedang ada di kamarku. Bunda bercerita saat Erza menemui bunda di toko kue tadi pagi. Menangis di pelukan bunda dan bercerita tentang apa yang terjadi semalam.

Erza ada di kantor polisi malam itu, menjadi salah satu saksi dalam kasus ini. Mama dan papanya dibunuh oleh seseorang yang menerobos masuk kedalam rumahnya pagi itu. Tidak ada yang tahu siapa dia. Bahkan security dan art yang ada di rumah.

Erza juga ijin pada mamaku untuk tinggal dirumahku untuk jangka yang panjang, sampai pembunuh itu terungkap. Sebenarnya Erza punya paman –adik kandung papanya- tapi Erza tidak mau pergi kesana. Kata bunda, Erza mencurigai pamannya sendiri.

Bunda terkejut saat Erza mengatakan semua itu padanya. Dia yang tidak mempercayai pamannya sendiri itu malah mempercayai orang lain. Bunda bukan orang yang tidak bisa dipercaya, tapi kan itu aneh.

Erza sedang tidur di kamar tamu sekarang, ya kuharap dia bisa tidur. Kalau bima, dia lagi bersama ayah menonton tv di ruang tengah. Nadia masih disini, mendengar cerita bunda dengan mengajukan berbagai pertanyaan.

"Gak usah nanyain apa-apa ke Erza. Juga jangan bilang ke siapa-siapa."

Kalimat terakhir bunda sebelum meninggalkan kami berdua –aku dan nadia.

Aku dan nadia sama-sama bungkam dengan pikiran masing-masing. Aku tidak tahu apa dia juga memikirkan apa yang kupikirkan.

Jadi, saat Erza berteriak mengumpat itu untuk pamannya? Bagaimana dia bisa mencurigai pamannya sendiri? Apa pamannya itu sering melakukan kejahatan?

Ah sialan! Kenapa aku memikirkan hal yang tidak-tidak. Membuat kepalaku pusing saja.

"Le, kenapa pamannya gak bunuh semuanya aja ya?" Nadia melontarkan pertanyaan yang kutakutkan sejak tadi.

"Dasar lo. Lo doain mereka?" Tentu saja aku akan marah, aku tidak pernah mengatakan hal buruk untuk pacarnya. Enak saja dia bicara seperti itu.

"Bukan gitu leee. Kalo pamannya itu punya dendam atau mau rebutan warisan, pasti dia bakal bunuh satu keluarga. Aneh gak sih?"

"Bikin gue kepikiran aja lo. Kampret"

"Lo gak trauma abis liat kejadian itu?"

"Yang trauma itu ya mereka, gue kan gak ngalamin woee"

"Ya kali aja kan le"

"Jangan sampe nad. Gue gak mau jadi lemah"

"Leaaaa.."

Itu suara ayah dari lantai bawah.

"Dipanggil ayah tuh"

"Gue dengar nad"

Aku menuju ke ruang tengah, menyauti panggilan ayah.

"Adek bima maunya tidur sama kamu nih"

Bima sedang menyender lemas di lengan ayah, mengerucutkan bibirnya yang merah dan sedikit tebal itu. Aku tidak tahu bagaimana bisa ayah begitu dekat dengan bima. Sepertinya bukan ayah saja, tapi semuanya yang ada di rumah ini termasuk nadia.

"Udah ngantuk tuh dia" kata bunda yang mengelus kepala bima.

"Ayo dek, jalan sendiri apa digendong kak lea?" tawarku sambil mencubiti pipinya.

"Gendong aja lea, udah ngantuk banget tuh adeknya" ayah menyauti.

Mata anak laki-laki itu memang sudah menyipit sejak aku datang tadi, sengantuk itu dia. Lucu sekali wajah mungil itu. Aku menggendongnya lalu bergegas kembali ke kamar.

Langkahku terhenti sebelum menaiki tangga. Kamar di samping kananku terbuka, muncul anak laki-laki dengan mata sembab yang dia kucek.

"Sudah bangun ternyata" ucapku yang dia sambut dengan senyuman.

Dia mendekatiku, melihat wajah bima yang menyender di bahuku, mengusap kepalanya dengan perlahan. "Sejak kapan dia sedekat ini denganmu" suaranya pelan tidak mau membangunkan bima.

"Sepertinya bima juga menyukaiku" aku tertawa pelan mengejeknya.

"Apa semalam dia juga tidur denganmu?"

"Tidak, dia tidur dengan bunda dan ayah"

Dia tersenyum, merapikan rambutku yang menghalangi pandanganku.

"Kamu jangan tidur terlalu larut"

Aku mengangguk mengiyakan. Meninggalkan dia yang masih berdiri ditempatnya sambil memperhatikanku.

"Dia mau tidur disini?" tanya nadia saat aku sampai di dalama kamar.

"Iyalah, lu tidur dilantai sana"

"Badan bima kecil, gak akan makan tempat"

"Ngapain juga tempat dimakan"

"Bangke lu"

"Nad, ambilin bantal di lemari buat bima. Daripada ntar lu rebutan bantal sama dia"

Saat nadia mengambil bantal, aku mendengar suara motor. "Siapa nad yang mau keluar malem-malem begini?"

Nadia membuka gorden, melihat siapa yang keluar dari rumah. Tumben sekali ayah bunda keluar malam-malam begini.

"Ayah sama erza tuh"

"Eh.. mau kemana mereka?"

Nadia yang juga tidak mengetahui alasannya hanya mengangkat bahunya.

"Tanyain bunda gih nad! Ini si bima gak bakal mau gue tinggal kalo belum nyenyak"

"Siap"

Nadia meletakkan bantal yang dia ambil, lalu keluar menemui bunda. Semoga saja bukan hal buruk.

Aku menidurkan bima, dan benar saja, dia menahan tanganku agar tidak pergi. Aku berbaring di samping bima, memegangi tangan kecil bima, sambil memikirkan alasan ayah dan erza keluar malam-malam.

Apa polisi perlu penjelasan erza lagi?

Apa polisi sudah menemukan pelakunya?

Apa –

Pikiranku terhenti ketika nadia masuk ke kamar.

"Kata bunda.." nadia ini memang tidak tahu keadaan, bagaimana kalau bima mendengarnya. Aku refleks menutup telinga bima, berharap agar dia tidak mendengar. "..ayah nganterin erza kerumahnya, cuma mau ambil barang-barang yang penting"

Ah syukurlah.

Lega sekali mendengarnya.

..

..

Pagi-pagi kami berenam berkumpul di ruang makan. Bunda menyiapkan berbagai makanan di atas meja. Tidak pernah bunda memasak sebanyak ini.

"Punya anak empat ternyata gak susah juga ya" pekik bunda memecah keheningan sesaat.

"Kurang dua bun, biar setengah lusin" ayah tertawa kecil menyauti bunda.

"Rame ya bun. Meja makannya pun juga penuh sekarang" –Nadia

"Iya nih, biasanya gue sendirian. Kalo gak gitu cuma sama lo doang nad" –Aku

"Kalo sendiri bawaannya kangen mulu, kalo berdua adu mulut terus, sekarang berempat bingung mau ngajak ribut yang mana, iya?" –Ayah

"Kak lea selalu berantem sama kak nadia" suara dengan logat lucu khas anak kecil itu membuat tawa kami pecah. Menertawai lagak lucu anak laki-laki yang sedang fokus dengan makanannya.

"Cuma bima ya yang pinter" bunda memuji sambil mengusap pucuk kepala bima yang duduk tepat disampingnya.

"Nanti sholat taraweh ya. Besok udah puasa" lanjut bunda memberitahu.

Nadia yang masih mengunyah makanannya itu menyahut, "Loh bun, cepet banget ya udah ramadhan".

"Bima puasa gak?" –Aku

"Tapi bima puasanya cuma sampai dhuhur aja" mulutnya penuh dengan makanan, semakin lucu.