webnovel

JANGAN TINGGALKAN AKU

"Ma-- maaf, bukan maksudku membangunkanmu, aku ... aku hanya ...." Belum sempat Liana meneruskan kalimatnya, tangan Bara sudah mendorong tengkuk Liana maju, lalu beberapa detik kemudian Liana merasakan bibirnya sudah dipangut oleh pria di depannya itu, membuat Liana semakin melebarkan mata karena begitu terkejut dengan apa yang tengah terjadi.

Meskipun begitu, entah mengapa Liana sama sekali tidak sanggup menolak pesona Bara, pria yang selama ini Liana kagumi.

Melihat Bara yang masih memejamkan mata seraya memainkan lidah di bibirnya membuat gairah Liana semakin menjadi, bukannya mendorong tubuh Bara untuk menjauh, gadis itu justru semakin larut dan turut memejamkan mata seraya mengikuti irama permainan Bara.

"Bibirmu begitu manis dan indah." Rancu Bara setelah mengakhiri aktivitas mereka dan kini bersiap mendudukkan dirinya. Melihat Bara yang sedikit kewalahan membuat Liana dengan sigap membantu pria itu bangkit dari tidurnya.

Liana tau pasti jika Bara saat ini dalam keadaan yang mungkin bisa dibilang tidak seratus persen sadar, bukan karena pria itu baru saja terbangun dari tidurnya, namun karena aroma yang menguar dari napas dan mulut pria itu yang menandakan bahwa Bara tengah dalam kondisi mabuk.

Tentu saja Liana paham dengan hal itu. Jujur saja, sebagai seorang gadis yang baru beranjak dewasa, Liana bukanlah gadis yang polos karena masa itu merupakan masa yang paling berat baginya, sehingga membuatnya sempat terjerumus ke dalam pergaulan yang salah.

Liana mempunyai banyak masalah? Tidak. Hanya satu masalah. Perihal masa lalu orang tuanya. Namun hal itu benar-benar membuat Liana hampir putus asa karena berbagai hinaan dan cercaan teman-teman terhadap dirinya.

Hingga gadis itu mengenal beberapa teman yang menurutnya begitu perhatian, juga tidak pernah mempermasalahkan tentang latar belakang orang tuanya. Teman yang justru bersedia menemani dan membantu Liana untuk sejenak melupakan segala beban hidupnya.

Semenjak mengenal mereka, minuman keras, rokok, bukan hal baru lagi bagi Liana.

Hingga akhirnya takdir mengenalkan gadis itu kepada Vella dan sahabatnya yang lain, yang dapat mengubah diri Liana menjadi pribadi lebih baik dari sebelumnya.

"Hei," ucap Bara menyadarkan Liana dari lamunannya.

"A-- ada apa?" pekik Liana kembali terkejut menghadapi kenyataan yang ada, namun bukannya menjawab, Bara justru menggerakkan jemarinya dan menyentuh bibir mungil Liana.

"Bolehkah aku merasakannya sekali lagi?" pinta Bara begitu polos membuat Liana justru mengembangkan senyumnya. Rasanya benar-benar seperti mimpi dan Liana berharap mimpi ini akan berlangsung sangat lama.

Dengan perasaan senang akhirnya gadis itu menganggukkan kepalanya pelan. "Tentu saja," ucap Liana, lalu tanpa menyia-nyiakan waktu Bara segera meraih tengkuk gadis itu dan kembali memangut bibir Liana lagi.

Hingga tanpa keduanya sadari, ada seseorang yang tengah menatap ke arah mereka dari kejauhkan.

"Tolong bantu aku ke kamar," pinta Bara melepaskan pangutannya.

Sejenak Liana mengernyit. "Ke kamar?" jujur saja, Liana bingung kamar Bara tadi berada di mana, karena pada saat pembagian kamar pagi tadi dirinya tidak begitu menghiraukan. Yang penting dia tau letak kamarnya, tidak peduli dengan bagian yang lain.

"Yang itu saja!" ucap Bara seraya menunjuk ke arah salah satu kamar kosong yang berada tidak jauh dari tempat mereka.

Liana menoleh mengikuti di mana jari telunjuk Bara mengarah. "Oh, oke." Gadis itu mengangguk pelan lalu mulai memapah tubuh Bara dengan susah payah dan sekuat tenaga menahan berat pria itu hingga pada akhirnya mereka sampai pada kamar yang ingin mereka tuju.

"Tidurlah," ucap Liana begitu lembut seraya mengusap pelan rambut Bara, setelah berhasil membawa pria itu dan membantunya untuk berbaring pada ranjang yang telah tersedia di sana.

Liana bertindak baik kepada Bara kali ini sebenarnya bukan karena dia ingin kembali menjalankan misi setelah sebelumnya menyatakan ingin menyerah, namun Liana melakukan ini semua semata-mata karena gadis itu berpikir bahwa mungkin saja Bara tidak akan mengingat kejadian malam ini, dan pria itu akan segera melupakan kegiatan-kegiatan yang baru saja mereka lakukan saat nanti pria itu memejamkan mata, lalu terbangun di pagi harinya.

"Tunggu!" sergah Bara tiba-tiba mencekal lengan Liana ketika gadis itu memutuskan hendak kembali ke dalam kamarnya.

"Ada apa lagi?" Liana menoleh dan menatap nanar ke arah Bara. 'Aku mohon, jangan seperti ini,' rintih gadis itu dalam hati mengingat bahwa pria yang kini tengah memegangi tangannya adalah kekasih sahabatnya sendiri.

Bahkan entah mengapa tiba-tiba muncul rasa penyesalan ketika Liana mengingat apa yang telah dirinya dan Bara lakukan di sofa panjang pada ruang tengah tadi. Tidak seharusnya dia menghianati sahabatnya sendiri, kan? Entah mengapa, sejenak Liana merasa telah menjadi manusia paling jahat se-dunia.

Lalu ingatannya saat menggoda Bara dan memberi perhatian-perhatian kecil pada pria itu turut hadir menambah rasa bersalahnya, Liana memejamkan mata menetralisir rasa kecewa terhadap dirinya sendiri, lalu tanpa sadar gadis itu menghentak cekalan Bara dan berniat meneruskan kepergiaannya.

"Kau ingin ke mana?!" seru Bara yang sontak bangkit dari tidur dan kembali berusaha menggapai tangan Liana membuat gadis itu lagi-lagi terkesiap dengan perlakuan Bara.

"Kembali ke kamarku," jelas Liana.

Bara yang mendengar itu sontak menegang, lalu perasaan kecewa memenuhi raut wajahnya. "Jangan tinggalkan aku," pinta pria itu mengiba seraya terus berusaha menahan pergerakan Liana yang ingin melepas cekalannya.

Mata biru yang sangat indah. Sesaat Liana seolah hanyut dalam tatapan mata Bara yang terlihat begitu dalam dan mendamba, namun di saat bersamaan terdapat sebuah rasa takut kehilangan di sana.

Tunggu dulu, Bara takut kehilangan dirinya? Liana mengerutkan kening, sedikit bingung dengan arti dari raut wajah dan pandangan pria di depannya itu.

"Te-- tetapi ...." Liana mencoba mengumpulkan kesadarannya. Jujur saja, menatap Bara yang terkesan tidak berdaya kali ini benar-benar membuat diri Liana merasa iba. Betapa gadis itu dapat melihat ketakutan yang besar dalam mata indah dan sayu tersebut.

"Tidurlah bersamaku," pinta Bara dengan suara yang begitu lembut dan tatapan penuh mengiba.

Seketika Liana terhelak mendengar pernyataan itu. Namun dengan cepat dia menyingkirkan rasa kagetnya kemudian melayangkan senyum.

Liana kembali melangkah mendekati Bara. Membuat kedua tangan mereka yang sebelumnya menegang karena saling bertautan seketika mengendur seiring jarak di antara keduanya kian kembali dekat. "Kau sedang mabuk, Bara. Tidurlah," bisik Liana seolah memperlakukan Bara layaknya anak kecil yang tengah merengek karena takut ditinggal ibunya.

Gadis itu kembali membelai rambut kecokelatan Bara, yang entah mengapa belaian itu dapat membuat diri Bara menjadi merasa tenang, namun di sisi lain dirinya juga semakin takut kehilangan. Kehilangan gadis di depannya, dan juga kehilangan belaian tangan yang telah membuat dirinya merasa begitu nyaman.

Tidak, dia tidak ingin ditinggalkan.

"Aku mohon, jangan tinggalkan aku." Sekuat tenaga Bara menarik tubuh Liana hingga gadis yang tanpa persiapan sama sekali itu terhuyung dan berakhir jatuh tepat di atas dada bidang Bara.

Liana membelalakkan matanya, degup jantungnya bahkan semakin tidak beraturan kala mengetahui tubuhnya dan Bara kini bahkan sama sekali tidak berjarak.

Liana berusaha bangkit dari jatuhnya, namun belum sempat Liana berhasil menjauh dari dada bidang pria yang tidak sengaja dia tindih itu, Bara sudah kembali menarik tubuh Liana dan memeluk erat gadis itu untuk menahan pergerakannya.

"Aku mohon ...." Rancu Bara yang lagi-lagi memohon kepada Liana agar tidak pergi meninggalkan dirinya. Sejenak Liana memejamkan mata mendengar permohonan itu. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Liana membuka matanya, menatap lekat ke arah Bara. Lalu manik gadis itu melirik ke arah pintu kamar tempat mereka berada. 'Sedari tadi masih terbuka?' Liana kembali membelalakkan matanya. Dia tidak ingin teman-temannya ada yang terbangun dan menangkap basah kegiatan antara dirinya dan Bara sekarang.

"Bara, tolong lepaskan, pintunya masih terbuka!" pinta Liana dengan begitu panik. Bara mengarahkan pandangannya pada pintu kamar mereka, dan benar saja, pintunya memang masih terbuka. Perlahan pria itu mulai mengendurkan pelukannya dari tubuh Liana.

"Kalau begitu segera tutuplah dan kembali ke sini," ucap Bara seolah terdengar pasrah, namun juga terselip harapan besar di dalamnya.

Liana berjalan menuju pintu bercorak putih itu, sebenarnya bisa saja Liana memanfaatkan momen ini untuk berlari dan kabur meninggalkan Bara. Namun, entah mengapa tubuhnya justru bergerak lain. Liana menutup pintu itu dan menguncinya dari arah dalam, lalu gadis itu kembali melangkahkan kakinya menuju Bara.

"Ka-- kau kembali?" Bara membulatkan mata seolah tidak percaya melihat Liana kembali berdiri di sampingnya.

"Ya, tentu saja aku kembali."