webnovel

Kepingan Sayap Memori Penuh Dendam

Mitos mengatakan angka 7 merupakan sebuah angka keberuntungan. Bagi Dina, angka 7 merupakan kesempatan dari Tuhan! Dulunya, Renata yang merupakan sahabat terbaiknya memanipulasi Dina hanya demi seorang pria, Teddy. Tidak berhenti disitu, Renata menjebak Dina dan menjebloskannya ke dalam penjara, lalu menyuruh seseorang untuk membunuh Dina didalam sel yang suram itu. Dina berpikir dia hanya akan berakhir di Neraka dengan beribu penyesalan. Tapi nyatanya Ia terbangun kembali ke 7 tahun lalu, sebelum semua masalah hidupnya dimulai. Kini Dina tidak boleh jatuh kedalam lubang yang sama, Ia harus menyiapkan rencana serangan balik sebelum semuanya terlambat!

Pena_Fiona · วัยรุ่น
Not enough ratings
424 Chs

Sekarang bukan waktunya

"Benar-benar tidak tahu malu. Sudah jelas-jelas curang masih tidak mau mengaku. Apakah tidak punya rasa malu?"

"Dia masih memiliki keberanian untuk menulis makalah di depan umum. Aku benar-benar tidak tahu dari mana dia mendapatkan percaya diri."

"Ada apa dengan isi otaknya sebenarnya?"

"Fakultas ekonomi ternyata memiliki mahasiswa seperti ini!"

...

Komentar di artikel itu menjadi semakin negatif dan negatif saat Dina Baskoro membacanya.

Dina Baskoro lalu buru-buru membuka artikel dengan gambar sebuah kertas yang baru saja dipasang. Dina Baskoro melihat lebih dekat ke dan memperhatikan dengan lebih seksama lalu wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.

"Bagaimana ini terjadi!" Hati Dina Baskoro bergetar karena menahan emosi, tesis yang ada di foto itu tidak ditulis olehnya sore itu.

Makalah itu jelas-jelas sudah diganti dengan yang lain.

Renata Sanjaya di satu sisi melihat reaksi Dina Baskoro, tersenyum penuh kemenangan.

Namun, Renata masih berkata dengan nada munafik, "Dina Baskoro, jangan bersedih. Kamu sudah melakukan yang terbaik dengan tesis itu. Cobalah bekerja lebih keras lagi, dan kerjakan lagi tesis itu nanti."

"Bekerja keras? Apa yang dibicarakan orang ini? Ini jelas ulah seseorang yang cemburu padanya, jadi dia dengan sengaja mengganti kertas tesis ini" Dina Baskoro tiba-tiba menoleh dan menatap Renata Sanjaya dengan tatapan matanya yang sangat tajam.

Tak perlu diragukan lagi pasti dia yang melakukan hal ini. Renata Sanjaya, perempuan jalang ini, tidak bisa melihat dirinya sedikit lebih baik.

Renata Sanjaya tercengang dengan tatapan mata tajam dari Dina Baskoro dan tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Dina Baskoro, ada apa denganmu? Mengapa kamu menatapku seperti itu?"

"Bukankah semua ini perbuatanmu? Melakukan hal seperti ini di belakangku!" Dina Baskoro menatap Renata Sanjaya dengan ganas, rasanya ingin segera merobek wajah munafiknya.

"Jelas dia adalah seorang penjahat yang hina dan dia masih berpura-pura terlihat seperti malaikat penolong sepanjang waktu, benar-benar menjijikkan!" Dina Baskoro benar-benar sudah tidak tahan dengan perlakuan Renata Sanjaya yang semakin menjadi-jadi. Tapi sayangnya, sekarang bukan waktunya untuk menyerang balik.

Jadi pada akhirnya Dina Baskoro hanya menghela nafas, lalu berkata dengan cuek, "Tidak apa-apa, aku hanya merasa sedikit pusing."

Dina Baskoro lalu menutup artikel di forum, meletakkan telepon genggamnya dan menarik napas dalam-dalam. Mencoba memaksa dirinya untuk menahan emosi dan akhirnya tersenyum lembut.

"Renata, terima kasih telah datang menjengukku langsung dan memberitahuku tentang hal ini. Jika bukan karena kamu, aku tidak akan tahu tentang hal ini."

Renata Sanjaya hanya bisa mengejek dalam hatinya saat melihat Dina Baskoro berterima kasih padanya, "Wanita ini sungguh bodoh!"

Tapi Renata Sanjaya juga tersenyum, "Jangan terlalu memikirkannya, Dina Baskoro. Kamu kan teman baik ku, tentu saja aku harus membantumu."

Dina Baskoro mengangguk.

Kemudian, Dina berpura-pura lemah dan memegang dahinya, "Oh, kepalaku pusing sekali. Renata, aku mungkin harus istirahat sebentar dan kurasa kamu harus cepat kembali ke kampus sekarang, bukankah akan ada kelas sebentar lagi?"

Renata Sanjaya setuju, lalu pamit dan pergi dengan senyum licik.

Setelah Renata Sanjaya benar-benar sudah pergi, Dina Baskoro kemudian bangun lagi dan berkata, "Renata Sanjaya, kamu benar-benar wanita jahat!"

Kemudian Dina Baskoro mulai memikirkan tentang bagaimana menyelesaikan situasi yang terjadi saat ini.

Jelas, kertas tesis itu telah diganti. Dan untuk menghancurkan barang bukti, tesis yang lama harus dihancurkan. Dan selama mengerjakan tesis itu, Dina Baskoro sudah berjaga-jagai dan membuat satu salinan tesis lagi.

Tapi sekarang hasil tes telah diumumkan, bahkan jika salinan itu dikeluarkannya, semua orang pasti tidak akan percaya.

Bahkan semua orang akan berpikir bahwa salinannya juga ditulis oleh orang lain.

Memikirkan hal itu membuat Dina Baskoro menyempitkan matanya dan berpikir dengan keras dan menahan emosi, "Tangan Renata Sanjaya benar-benar jahil dan kejam. mungkin, dia berpikir bahwa dengan kejadian ini, dia bisa menekanku dan mencegahku untuk menyerang balik?"

"Oh tidak sesederhana itu."

Dina Baskoro mencibir dalam hatinya. Dia tidak akan pernah membiarkan Renata Sanjaya melakukan semaunya, sama sekali tidak!

...

Terlepas dari fisiknya yang lemah, Dina Baskoro memaksa pergi ke kampus. Dan begitu memasuki gerbang kampus, orang-orang mulai memperhatikan dengan tatapan mata yang tidak enak.

Orang-orang memandangnya dengan jijik, seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang hina dan berdosa. Dan mereka mulai mengejek dan menghina Dina Baskoro.

Dina Baskoro tahu masalah ini sudah menjadi besar sekarang dan sekarang semua dosen dan mahasiswa di kampus pasti sudah mengenalnya.

Tepatnya, mereka mengenalnya karena sudah berbuat curang, dan sebagainya.

Dan sebenarnya Dina Baskoro juga merasa tidak nyaman karena nama baiknya sudah rusak saat ini, tetapi untuk sekarang Dina hanya bisa berpura-pura tidak mendengarkan perkataan orang-orang.

Dina Baskoro berjalan lurus dengan menutup telinga sepanjang jalan dan langsung pergi ke kantor Widodo.

Widodo yang hari itu mengenakan pakaian santai berwarna putih, duduk di kursinya sedang mengerjakan pekerjaannya, terlihat tenang dan santai. Dan terdengar seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Begitu dia mendongak, Widodo melihat Dina Baskoro berdiri di luar pintu dengan mata merah.

Dalam sekejap, Widodo buru-buru bangkit dari tempat duduknya dan berjalan untuk membuka pintu dan melihat Dina Baskoro yang sedang sedih, "Dina? Kenapa kamu menangis?"

Dina Baskoro dengan mata bengkak dan berair berkata dengan lemah, "kak Widodo, kertas hasil tesis yang ada di papan buletin sama sekali bukan milikku."

Setelah berbicara, Dina Baskoro mengeluarkan salinan tesis cadangan dari sakunya.

"Setelah aku mengerjakan tesis saat itu, aku menyalinnya lagi sendiri. Ini adalah kertas ku sendiri. Kertas yang ada di papan buletin telah diganti oleh orang lain."

Dina Baskoro mengatakan itu dengan mencoba meyakinkan Widodo hasil tesis yang dipajang bukan miliknya, "Kakak Widodo, maukah kamu percaya padaku?"

Tumbuh bersama saat masih kecil, Widodo paling tahu tentang Dina Baskoro. Widodo tahu betul bahwa meskipun Dina Baskoro nakal, dia tidak pernah berbohong.

Jadi Widodo mengangguk, "Dina Baskoro, jangan khawatir, aku percaya padamu."

"Terima kasih, kak."

Akhirnya dalam situasi seperti itu ada seseorang yang mau percaya pada dirinya, Dina Baskoro langsung merasa sangat tenang di hatinya.

Sambil menggosok rambut Dina, Widodo tersenyum lalu melihat kertas di tangannya.

"Coba tunjukkan kertasmu." Dina Baskoro mengangguk dan memberikan kertas itu langsung kepada Widodo.

Widodo lalu dengan cermat membaca esai Dina Baskoro dari awal hingga akhir.

Setelah membacanya tesis itu, kening Widodo berkerut.

Makalah Dina Baskoro dan kertas di papan buletin sepenuhnya berada di level yang berbeda.

Ini menunjukkan bahwa kertas yang ada di papan buletin pasti diganti oleh seseorang.

Memikirkan hal itu, ekspresi kemarahan muncul di wajah Widodo, "Dina Baskoro, kertasmu memang sudah diganti oleh seseorang."

Saat Widodo mengatakan itu, dia menyalahkan dirinya sendiri, "Kurasa aku juga salah tidak melihat hasil tesismu dulu setelah kamu mengerjakannya saat itu. Seharusnya aku bisa cek dulu saat itu. Aku minta maaf, urusan ini menjadi seperti ini sekarang."

Dina Baskoro menggelengkan kepalanya, "Kak Widodo, kamu tidak perlu mengatakan itu, aku tidak menyalahkanmu untuk masalah ini. Aku hanya berpikir bahwa jika aku bisa menemukan bukti bahwa tesis ku sebelumnya telah ditukar, aku dapat membuktikan bahwa aku tidak bersalah."

"Hanya saja ..." Setelah berbicara, Dina Baskoro berhenti sebentar lalu melanjutkan, "Aku mungkin membutuhkan bantuanmu dalam masalah ini."