"Ririn?" Panggil Sila.
Krieett....
"Ya? Duchess."
"Kemarilah." Ujar Sila.
Ririn mengangguk, ia pun segera masuk dan berjalan mendekat ke arah Sila.
"Duduklah Ririn."
"Baik." Ujar Ririn.
"Aku ingin bertanya."
"Silahkan Duchess."
"Menurut mu, seperti apa aku dulu?" Tanya Sila.
"Mengapa anda bertanya seperti itu?"
"Jawab saja!"
"B-baiklah." Ujar Ririn. "Sejak pertama kali anda masuk ke mansion ini, anda selalu menundukkan kepala anda. Dan tepat di pagi hari, di hari ke dua pernikahan anda, anda menangis di balik semak-semak di taman. Saya melihatnya..." Ujar Ririn.
"Itu pasti karna obat yang ia berikan pada Avel sehingga Avel membencinya." -batin Sila.
"Lalu, semenjak itu anda selalu menundukkan kepala anda, semakin hari pun seperti itu. Kami tidak pernah melihat anda berbincang dengan Duke, anda berdua mungkin sepasang suami istri, namun anda berdua tidak seperti suami istri pada umumnya."
"Lalu?"
"Anda selalu menunduk dan meminta maaf, para pelayan itu semakin berani, karna mereka pikir dengan menjadikan anda bahan candaan penindasan, maka tidak akan terjadi apa pun karna Duke tidak memedulikan anda. Lalu..,"
".....?"
"Tiba-tiba Duke datang membawa wanita baru, yaitu Nyonya Sona. Di sanalah anda semakin menjadi pendiam dan selalu menyembunyikan diri anda di kamar, bahkan saat melahirkan, anda tidak pernah merawat tuan muda, tuan muda di asuh oleh para pelayan."
"Duchess Sila, kau bodoh! Kau membiarkan jalang merah itu menindas mu?" -batin Sila.
"Cukup Ririn, kau boleh pergi." Sila.
Ririn mengangguk dan segera pergi dari kamar.
"Pria sial itu sama sekali tidak tahu, karna dia selalu menutup telinga. Lagi pula untuk apa dia menikah lagi jika tidak ingin memberikan gelar Duchess pada wanita itu? Bukankah itu aneh..." -batin Sila.
*****
Di ruangan yang begitu besar dan indah, terdapat seorang wanita cantik berambut perak yang tengah terdiam sambil menatap kosong ke depan. Siapa lagi jika bukan Sila?
Sedari tadi wanita itu tak henti-hentinya berpikir. Sudah beberapa jam berlalu sejak Duke Avel pergi dari kamarnya.
Terlihat Sila terus mendesah pasrah, sekuat apa pun dia berpikir, ia sama sekali tidak bisa mendapatkan jawaban atas semuanya. Semuanya terlalu rumit.
Tiba-tiba saja angin berembus masuk melewati jendela dan menerbangkan rambut perak Sila, langsung saja Sila menengok ke arah jendela di mana hari sudah sangat siang, di tambah lagi cuacanya begitu bagus hingga akan pas jika mengadakan pesta Teh di taman.
Perlahan Sila mulai bangkit dari posisinya dan berjalan ke arah jendela. Ia membiarkan angin sejuk menerpanya kulitnya, begitu segar hingga membuat beban pikiran Sila terasa hilang sejenak.
"Sepertinya aku memang harus mencari tahu akan sesuatu..." batin Sila. "Jika yang ku pikirkan benar., Apakah wanita yang menyuruh Noel untuk melompat itu adalah Sona? Apakah mimpi itu adalah ingatan Sila yang hilang?"
Sila menghela nafasnya panjang. "Jika itu memang benar ingatan, apakah wanita yang meminta izin pada Ayahnya itu adalah aku juga?" Gumam Sila. "Mengapa Duchess Sila begitu bodoh? Apa dia begitu menginginkan kasih sayang?"
Tiba-tiba pikiran Sila ter buyarkan kala tak sengaja melihat Noel yang sedang belajar sendiri di bawah pohon rindang yang ada di taman. Hatinya menghangat ketika melihat wajah tampan itu tersenyum.
"Haah.., benar! Apa pun yang terjadi, aku hanya perlu membahagiakan Putra ku, Noel." Gumam Sila sembari tersenyum.
Tok tok tok.
Suara ketukan berhasil membuyarkan lamunan Sila, langsung saja Sila berbalik menatap ke arah pintu.
"Masuklah." Ujar Sila.
"Duchess?"
"Ririn?"
"Duchess.., itu..."
"Apa?" Tanya Sila.
"Duke..."
"Ada apa dengan dia?" Tanya Sila malas.
"Duke Avel memecat semua pelayan!"
Wuushhh....
Tiba-tiba saja angin kembali berembus dan menerbangkan rambut perak Sila, sementara Sila masih terdiam di tempat sambil menatap tak percaya ke arah Ririn. Apa ia salah dengar?
"A-Apa?" Tanya Sila.
"Duke memecat semua pelayan, dia marah besar!" Ujar Ririn.
"Dia memecat semua pelayan?" batin Sila. "Tapi mengapa? Apa karna aku?"
"Lalu..."
"Apa?"
"D-Duke menampar nyonya Sona dan menghukumnya, sekarang nyonya Sona harus tinggal di mansion utara selama dua pekan."
Lagi-lagi Sila di buat terdiam.
"Memecat pelayan dan menghukum Sona.., mungkin dia benar-benar tidak tahu apa yang di alami oleh Duchess Sila yang asli." -batin Sila.
"Setahu ku mansion Utara itu..."
"Ya! Duchess, Duke benar-benar mengirim nyonya Sona ke sana."
"Mansion Utara, sedari dulu dari generasi ke generasi, Duke Nixton terus menjadikan mansion Utara tempat untuk merenungkan kesalahan bagi anggota keluarga. Dan di sana begitu sedikit pelayan, makanan juga tidak seenak mansion utama. Orang itu membiarkan Sona tinggal di sana...?" -Batin Sila.
Semakin di pikirkan, kepala Sila malah semakin sakit. Dan hal itu tak luput dari perhatian Ririn.
"Duchess? Anda tidak apa-apa?" Tanya Ririn khawatir.
"Ya.., aku baik." Ujar Sila.
Ririn membantu Sila agar Sila mendudukkan dirinya di atas kasur.
"Anda benar-benar baik-baik saja?"
"Yaa., Di Banding itu.., kau pergilah. Aku ingin beristirahat."
"Ah., B-Baiklah..."
Ririn pun segera keluar dari ruangan meninggalkan Sila yang terduduk sendiri di sana.
"Di ingatan Duchess Sila usia Noel sudah memasuki tahun ke 6, itu berarti pernikahannya dengan Avel sudah memasuki tahun ke 7. Dan Sona datang saat usia Noel memasuki usia 3 tahun, itu artinya 3 tahun lalu." Gumam Sila. "Haah., Dia mengendalikan kediaman dalam waktu 3 tahun, dia benar-benar tidak bisa di remehkan. Tapi.., itu jika tandingannya adalah Duchess Sila yang dulu, tidak denganku."
Krieett.....
Tiba-tiba saja pintu terbuka, langsung saja Sila menengok ke arah pintu. Saat itu pula ia di suguhkan pemandangan Avel di sana. Pria itu tengah menatapnya dalam diam.
"Dia benar-benar datang..." -batin Sila.
Avel mulai berjalan mendekati Sila dengan membawa segelas air serta obat di tangannya, setelah sampai, langsung saja ia mendudukkan dirinya tepat di pinggir ranjang Sila.
"Minumlah." Ujar Avel sembari memberikan obat dan air pada Sila.
"Huh? Siapa tahu itu racun?" Tanya Sila dengan nada tak bersahabat.
Avel cukup di buat kesal karenanya, namun ia tetap bersabar dan berusaha bersikap baik pada Sila.
"Aku hanya perlu bersabar., Itulah yang di katakan mereka dalam menjaga orang sakit." -batin Avel.
Meskipun begitu, Sila tetapi mengambil obat dan air itu dari Avel lalu meminumnya.
"Aku tidak seperti dirimu yang memberikan obat perangsang tanpa rasa takut di malam pertama." Celetuk Avel.
Mendengar itu, Sila langsung di buat terkejut dan langsung menyemburkan air di mulutnya ke arah Avel. Ia sungguh tidak menyangka Avel akan mengungkitnya.
"D-Dasar Gila!" -batin Sila.
Avel di buat terdiam dengan wajah dan baju yang basah akibat semburan Sila tadi.
"Sepertinya kau memang membenci aku ya?" Tanya Avel sambil mengelap wajahnya dengan sapu tangan.
"I-Itu karna kau!" Kesal Sila.
"Aku? Jelas-jelas kau yang menuduhku memberikan racun." Ujar Avel.
"Tidak! Semua salah mu! Wanita selalu benar! Wanita tidak pernah salah! Dan itu adalah kenyataan dalam dunia!" Ujar Sila.
"Sekarang aku tahu mengapa mereka menganggap wanita itu adalah makhluk yang egois." Ujar Avel.
"K-Kau!"
"Sudahlah! Aku tidak ingin berdebat dengan kera sepertinya!" -batin Sila.
Tanpa Sila sadari, ternyata Avel sedikit terkekeh di sana kala melihat Sila mengembangkan pipinya bak roti serta memajukan bibirnya seperti ikan. Benar-benar seperti anak kecil, hal yang baru pertama kali Avel lihat dari sosok Sila.
"Aku tidak tahu dia bisa mengeluarkan raut wajah seperti itu, jika di pikir-pikir usianya sudah 24 tahun bukan? Apakah di usia itu orang masih bisa menjadi sedikit kekanakan?" -Batin Avel.
"Sudahlah., Lupakan itu.." ujar Avel. "Bagaimana keadaan mu? Apa kau bisa ceritakan semuanya?" Tanya Avel mulai serius.
Sila terdiam sambil menatap Avel. "Saat itu.., para pelayan menyuruh ku pindah atas perintah mu!"
"Aku tidak pernah memerintahkan itu, justru Sona yang datang padaku menangis dan meminta maaf atas dirimu!"
"Apa?"
"Ya, dia meminta maaf karna tidak bisa menghentikan mu pergi ke loteng, kau lah yang menginginkan tinggal di sana."
"Sona Sialan! Seharusnya aku bunuh saja kau kemarin." -batin Sila.
"Tidak, aku tidak sebodoh itu untuk membunuh diriku sendiri." Ujar Sila malas.
"Yahhh., Aku sudah menghukumnya." Ujar Avel.
"Kau menghukumnya? Mengapa?"
"Tentu saja, karna dia salah."
"Bukankah kau mencintainya?" Tanya Sila.
"Aku tidak akan pernah mencintai seseorang." Ujar Avel datar, aura di sekitarnya mulai terasa dingin.
"Apa? Apa ini? Aku merasa auranya berbeda." -batin Sila.
BeAvel mulai berjalan mendekati Sila dengan membawa segelas air serta obat di tangannya, setelah sampai, langsung saja ia mendudukkan dirinya tepat di pinggir ranjang Sila.
"Minumlah." Ujar Avel sembari memberikan obat dan air pada Sila.
"Huh? Siapa tahu itu racun?" Tanya Sila dengan nada tak bersahabat.
Avel cukup di buat kesal karenanya, namun ia tetap bersabar dan berusaha bersikap baik pada Sila.
"Aku hanya perlu bersabar., Itulah yang di katakan mereka dalam menjaga orang sakit." -batin Avel.
Meskipun begitu, Sila tetapi mengambil obat dan air itu dari Avel lalu meminumnya.
"Aku tidak seperti dirimu yang memberikan obat perangsang tanpa rasa takut di malam pertama." Celetuk Avel.
Mendengar itu, Sila langsung di buat terkejut dan langsung menyemburkan air di mulutnya ke arah Avel. Ia sungguh tidak menyangka Avel akan mengungkitnya.
"D-Dasar Gila!" -batin Sila.
Avel di buat terdiam dengan wajah dan baju yang basah akibat semburan Sila tadi.
"Sepertinya kau memang membenci aku ya?" Tanya Avel sambil mengelap wajahnya dengan sapu tangan.
"I-Itu karna kau!" Kesal Sila.
"Aku? Jelas-jelas kau yang menuduhku memberikan racun." Ujar Avel.
"Tidak! Semua salah mu! Wanita selalu benar! Wanita tidak pernah salah! Dan itu adalah kenyataan dalam dunia!" Ujar Sila.
"Sekarang aku tahu mengapa mereka menganggap wanita itu adalah makhluk yang egois." Ujar Avel.
"K-Kau!"
"Sudahlah! Aku tidak ingin berdebat dengan kera sepertinya!" -batin Sila.
Tanpa Sila sadari, ternyata Avel sedikit terkekeh di sana kala melihat Sila mengembangkan pipinya bak roti serta memajukan bibirnya seperti ikan. Benar-benar seperti anak kecil, hal yang baru pertama kali Avel lihat dari sosok Sila.
"Aku tidak tahu dia bisa mengeluarkan raut wajah seperti itu, jika di pikir-pikir usianya sudah 24 tahun bukan? Apakah di usia itu orang masih bisa menjadi sedikit kekanakan?" -Batin Avel.
"Sudahlah., Lupakan itu.." ujar Avel. "Bagaimana keadaan mu? Apa kau bisa ceritakan semuanya?" Tanya Avel mulai serius.
Sila terdiam sambil menatap Avel. "Saat itu.., para pelayan menyuruh ku pindah atas perintah mu!"
"Aku tidak pernah memerintahkan itu, justru Sona yang datang padaku menangis dan meminta maaf atas dirimu!"
"Apa?"
"Ya, dia meminta maaf karna tidak bisa menghentikan mu pergi ke loteng, kau lah yang menginginkan tinggal di sana."
"Sona Sialan! Seharusnya aku bunuh saja kau kemarin." -batin Sila.
"Tidak, aku tidak sebodoh itu untuk membunuh diriku sendiri." Ujar Sila malas.
"Yahhh., Aku sudah menghukumnya." Ujar Avel.
"Kau menghukumnya? Mengapa?"
"Tentu saja, karna dia salah."
"Bukankah kau mencintainya?" Tanya Sila.
"Aku tidak akan pernah mencintai seseorang." Ujar Avel datar, aura di sekitarnya mulai terasa dingin.
"Apa? Apa ini? Aku merasa auranya berbeda." -batin Sila.
BerAvel mulai berjalan mendekati Sila dengan membawa segelas air serta obat di tangannya, setelah sampai, langsung saja ia mendudukkan dirinya tepat di pinggir ranjang Sila.
"Minumlah." Ujar Avel sembari memberikan obat dan air pada Sila.
"Huh? Siapa tahu itu racun?" Tanya Sila dengan nada tak bersahabat.
Avel cukup di buat kesal karenanya, namun ia tetap bersabar dan berusaha bersikap baik pada Sila.
"Aku hanya perlu bersabar., Itulah yang di katakan mereka dalam menjaga orang sakit." -batin Avel.
Meskipun begitu, Sila tetapi mengambil obat dan air itu dari Avel lalu meminumnya.
"Aku tidak seperti dirimu yang memberikan obat perangsang tanpa rasa takut di malam pertama." Celetuk Avel.
Mendengar itu, Sila langsung di buat terkejut dan langsung menyemburkan air di mulutnya ke arah Avel. Ia sungguh tidak menyangka Avel akan mengungkitnya.
"D-Dasar Gila!" -batin Sila.
Avel di buat terdiam dengan wajah dan baju yang basah akibat semburan Sila tadi.
"Sepertinya kau memang membenci aku ya?" Tanya Avel sambil mengelap wajahnya dengan sapu tangan.
"I-Itu karna kau!" Kesal Sila.
"Aku? Jelas-jelas kau yang menuduhku memberikan racun." Ujar Avel.
"Tidak! Semua salah mu! Wanita selalu benar! Wanita tidak pernah salah! Dan itu adalah kenyataan dalam dunia!" Ujar Sila.
"Sekarang aku tahu mengapa mereka menganggap wanita itu adalah makhluk yang egois." Ujar Avel.
"K-Kau!"
"Sudahlah! Aku tidak ingin berdebat dengan kera sepertinya!" -batin Sila.
Tanpa Sila sadari, ternyata Avel sedikit terkekeh di sana kala melihat Sila mengembangkan pipinya bak roti serta memajukan bibirnya seperti ikan. Benar-benar seperti anak kecil, hal yang baru pertama kali Avel lihat dari sosok Sila.
"Aku tidak tahu dia bisa mengeluarkan raut wajah seperti itu, jika di pikir-pikir usianya sudah 24 tahun bukan? Apakah di usia itu orang masih bisa menjadi sedikit kekanakan?" -Batin Avel.
"Sudahlah., Lupakan itu.." ujar Avel. "Bagaimana keadaan mu? Apa kau bisa ceritakan semuanya?" Tanya Avel mulai serius.
Sila terdiam sambil menatap Avel. "Saat itu.., para pelayan menyuruh ku pindah atas perintah mu!"
"Aku tidak pernah memerintahkan itu, justru Sona yang datang padaku menangis dan meminta maaf atas dirimu!"
"Apa?"
"Ya, dia meminta maaf karna tidak bisa menghentikan mu pergi ke loteng, kau lah yang menginginkan tinggal di sana."
"Sona Sialan! Seharusnya aku bunuh saja kau kemarin." -batin Sila.
"Tidak, aku tidak sebodoh itu untuk membunuh diriku sendiri." Ujar Sila malas.
"Yahhh., Aku sudah menghukumnya." Ujar Avel.
"Kau menghukumnya? Mengapa?"
"Tentu saja, karna dia salah."
"Bukankah kau mencintainya?" Tanya Sila.
"Aku tidak akan pernah mencintai seseorang." Ujar Avel datar, aura di sekitarnya mulai terasa dingin.
"Apa? Apa ini? Aku merasa auranya berbeda." -batin Sila.
BerdAvel mulai berjalan mendekati Sila dengan membawa segelas air serta obat di tangannya, setelah sampai, langsung saja ia mendudukkan dirinya tepat di pinggir ranjang Sila.
"Minumlah." Ujar Avel sembari memberikan obat dan air pada Sila.
"Huh? Siapa tahu itu racun?" Tanya Sila dengan nada tak bersahabat.
Avel cukup di buat kesal karenanya, namun ia tetap bersabar dan berusaha bersikap baik pada Sila.
"Aku hanya perlu bersabar., Itulah yang di katakan mereka dalam menjaga orang sakit." -batin Avel.
Meskipun begitu, Sila tetapi mengambil obat dan air itu dari Avel lalu meminumnya.
"Aku tidak seperti dirimu yang memberikan obat perangsang tanpa rasa takut di malam pertama." Celetuk Avel.
Mendengar itu, Sila langsung di buat terkejut dan langsung menyemburkan air di mulutnya ke arah Avel. Ia sungguh tidak menyangka Avel akan mengungkitnya.
"D-Dasar Gila!" -batin Sila.
Avel di buat terdiam dengan wajah dan baju yang basah akibat semburan Sila tadi.
"Sepertinya kau memang membenci aku ya?" Tanya Avel sambil mengelap wajahnya dengan sapu tangan.
"I-Itu karna kau!" Kesal Sila.
"Aku? Jelas-jelas kau yang menuduhku memberikan racun." Ujar Avel.
"Tidak! Semua salah mu! Wanita selalu benar! Wanita tidak pernah salah! Dan itu adalah kenyataan dalam dunia!" Ujar Sila.
"Sekarang aku tahu mengapa mereka menganggap wanita itu adalah makhluk yang egois." Ujar Avel.
"K-Kau!"
"Sudahlah! Aku tidak ingin berdebat dengan kera sepertinya!" -batin Sila.
Tanpa Sila sadari, ternyata Avel sedikit terkekeh di sana kala melihat Sila mengembangkan pipinya bak roti serta memajukan bibirnya seperti ikan. Benar-benar seperti anak kecil, hal yang baru pertama kali Avel lihat dari sosok Sila.
"Aku tidak tahu dia bisa mengeluarkan raut wajah seperti itu, jika di pikir-pikir usianya sudah 24 tahun bukan? Apakah di usia itu orang masih bisa menjadi sedikit kekanakan?" -Batin Avel.
"Sudahlah., Lupakan itu.." ujar Avel. "Bagaimana keadaan mu? Apa kau bisa ceritakan semuanya?" Tanya Avel mulai serius.
Sila terdiam sambil menatap Avel. "Saat itu.., para pelayan menyuruh ku pindah atas perintah mu!"
"Aku tidak pernah memerintahkan itu, justru Sona yang datang padaku menangis dan meminta maaf atas dirimu!"
"Apa?"
"Ya, dia meminta maaf karna tidak bisa menghentikan mu pergi ke loteng, kau lah yang menginginkan tinggal di sana."
"Sona Sialan! Seharusnya aku bunuh saja kau kemarin." -batin Sila.
"Tidak, aku tidak sebodoh itu untuk membunuh diriku sendiri." Ujar Sila malas.
"Yahhh., Aku sudah menghukumnya." Ujar Avel.
"Kau menghukumnya? Mengapa?"
"Tentu saja, karna dia salah."
"Bukankah kau mencintainya?" Tanya Sila.
"Aku tidak akan pernah mencintai seseorang." Ujar Avel datar, aura di sekitarnya mulai terasa dingin.
"Apa? Apa ini? Aku merasa auranya berbeda." -batin Sila.
Bersambung.....