"H-haah., Apa boleh buat karna kau memaksa, Baiklah aku si- ughhh!"
Tepat saat itu, Sila meremas kejantanan Avel kuat, ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuat benda itu merasakan sakit dan akhirnya tertidur kembali.
"Bagaimana rasanya?" Tanya Sila dengan senyuman di wajahnya.
"K-kau?! Ahhh! Lepaskan itu! Arkgghh apa yang kau lakukan?! Cepat lepaskan!" Ujar Avel kesakitan.
Senyum di wajah Sila kian memudar dan tergantikan dengan raut wajah datar sambil terus meremas kuat kejantanan Avel.
Sila mulai mendekatkan bibirnya kembali ke telinga Avel. "Ku bilang berikan aku kamar yang besar, akan ku jamin kau tidak akan merasakan hal ini lagi di masa depan." Bisik Sila.
"L-lepaskan dulu!" Ujar Avel.
Sila pun menurut dan langsung melepaskan kejantanan Avel dengan santai lalu menepuk-nepuk tangannya seolah ada debu yang menempel di sana. Hal itu membuat Avel terdiam dengan tatapan tak habis pikir. Apakah Sila benar-benar seorang wanita?
"Aku tidak mencium bau alkohol di mulutnya, apa dia benar-benar sudah gila?" -batin Avel.
"Aku tidak gila, aku juga tidak mabuk! Kita percepat saja. Kau muak melihat wajah ku bukan? Kalau begitu aku juga. Aku muak melihat wajahmu! Jadi berikan saja aku kamar atau bangunan terpisah!" Ujar Sila.
"Dia bisa membaca pikiranku?" -batin Avel.
"Tidak! Aku tidak bisa membaca pikiran! Itu semua terlihat jelas di wajah mu!" Ujar Sila.
DEG.
Avel menghela nafasnya pelan. "Haah., Akan ku pikirkan. Kau kembali lah." Ujar Avel sambil memijat kepalanya.
Sila kembali mendekatkan tubuhnya ke tubuh Avel sambil menatap tajam ke arahnya. Sementara Avel lagi-lagi di buat menegang di tempat ketika tubuh Sila mendekatinya.
"Tidak! Tidak perlu berpikir! Aku hanya perlu kamar untukku dan Anakku! Dan setelah itu aku tidak akan muncul di hadapan kalian. Aku akan benar-benar diam seperti orang mati!" Ujar Sila.
"D-dia..." -batin Avel.
"Kalau begitu aku menunggu kabar baik dari mu." Ujar Sila lalu berbalik dan kembali ke kamarnya meninggalkan Avel yang masih terdiam di tempat.
Avel terus menatap kepergian Sila dengan hati bertanya-tanya. Jika Sila yang biasanya selalu menunduk malu serta takut pada Avel. Namun kini berbeda. Sebenarnya ada apa dengan Sila?
Terlihat Sila tengah mengelus rambut Noel Lembut dengan Noel yang tertidur pulas di kasur dengan ekspresi bahagia yang terpasang jelas di wajahnya.
"Walaupun Noel adalah anak Duchess Sila yang asli, tapi entah mengapa aku sangat menyayanginya seperti anakku sendiri. Apakah ini bawaan dari tubuh ini?" -Batin Sila.
"Mulai besok, aku berjanji akan memberimu masa kecil yang menyenangkan Noel., Karna kau berhak untuk itu semua. Waktu ku adalah milik mu." Ujar Sila pelan sambil terus mengelus pucuk kepala Noel.
"Kalau di ingat-ingat, buku bergambar itu tidak menceritakan dengan jelas kapan semua kejadian yang di alami Duchess Sila. Semua bercerita tentang Duchess Sila sang tokoh utama yang menyedihkan. Lalu apa akhir dari Duchess Sila? Dan akhir dari buku itu?" -batin Sila.
"Apa aku harus membawa mu pergi dari sini? Noel..." Gumam Sila murung. "Kalau begitu aku harus memiliki banyak uang agar aku bisa menghidupi mu."
Sila menunduk berusaha mengecup kening Noel, setelah itu ia pun mulai berbaring di samping Noel dengan memeluknya agar Noel tidak merasa dingin, mengingat kamar Sila adalah loteng, tentu saja itu akan sangat dingin.
Tanpa Sila sadari, Noel mendengar semuanya. Noel bahkan di buat menangis karna kata-kata Sila. Ini lah kasih sayang yang Noel selalu harapkan dan dambakan. Sesuatu yang Noel kira tidak akan pernah ia dapatkan. Namun kali ini Noel mendapatkan hal itu.
*****
Pagi pun tiba, kini Sila sudah siap dengan gaunnya. Sementara Noel masih terlelap dalam tidurnya di sana. Sila yang melihat itu tersenyum menatap Noel.
Ia mulai berjalan mendekat ke arah Noel, setelah sampai di sana, langsung saja Sila duduk di kasur, tepat di sebelah Noel.
Tangannya mulai terulur menyentuh pucuk kepala Noel. "Noel?" Panggilnya.
Kemudian tangan Sila beralih mengelus pipi Noel Lembut.
"Noel? Bangunlah sayang. Sudah waktunya bangun." Ujar Sila Lembut.
"Nghhhh..." Lenguh Noel.
"Noel? Kita harus sarapan, kita akan meminta Ayah memberikan kamar untuk di tempati kita berdua. Apa Noel tidak mau?"
Mendengar itu, Noel yang tadinya tertidur kini langsung terbangun dan terduduk tepat di hadapan Sila dengan senyum yang merekah di wajah tampannya
"Benarkah Ibu?! Noel akan tinggal di kamar yang sama dengan Ibu?" Tanya Noel semringah.
Sila terkekeh. "Tentu saja." Jawabnya sambil mengelus pucuk kepala Noel.
"Kalau begitu, ayo bangun. Ibu akan membantu memandikan Noel dan mengobati luka Noel lagi." Ujar Sila.
Noel mengangguk patuh. "Baik Ibu!" Ujar Noel.
Noel mulai berdiri tepat di depan Sila sambil merentangkan tangannya bersiap untuk Sila melepaskan bajunya. Sila tersenyum, ia pun mulai melepaskan baju yang Noel pakai dengan telaten.
Setelah selesai, Sila menggandeng lengan Noel ke arah bathtub yang berisi air. Namun seketika langkah Sila terhenti kala mereka sudah sampai di sana.
"Ibu? Ada apa?" Tanya Noel.
"Apa sebaiknya kita lewati mandi mu?" Tanya Sila.
"Mengapa?"
"Ibu khawatir luka Noel terasa perih jika terkena air."
"Tidak apa Ibu! Noel sudah biasa menahannya saat para pelayan memandikan Noel." Ujar Noel.
Sila tersentak. "Apa? Sudah terbiasa?! Apa yang pelayan-pelayan itu lakukan pada putra ku?! Berani-beraninya mereka." -batin Sila.
"Apa mereka membantu menggosok punggung mu?" Tanya Sila.
"Tentu saja, Ibu..." Jawab Noel.
"Pelayan Sialan! Kau bahkan menggosok lukanya, itu pasti akan sangat menyakitkan!" -batin Sila geram.
"Mereka sudah bekerja keras, Noel harus memberi tahu Ibu siapa pelayan-pelayan itu ya? Ibu akan memberikan hadiah padanya." Ujar Sila berusaha tersenyum manis pada Noel.
"Baiklah Ibu!"
"Kalau begitu Noel tunggulah di sini, Ibu akan mengambilkan kain untuk mengelap tubuh Noel. Hari ini Noel tidak perlu mandi karna luka-luka Noel belum sembuh." Ujar Sila yang di balas anggukan oleh Noel.
Sila pun bangkit dan pergi mengambil kain yang bertekstur lembut, setelah beberapa saat akhirnya ia pun kembali dengan kain di tangannya. Setelah itu ia mulai mengelap perlahan tubuh Noel, begitu lembut hingga Noel bahkan tidak merasakan rasa sakit sedikit pun.
"Apa sakit?" Tanya Sila lembut.
Noel menggeleng. "Tidak Ibu, Ibu sangat lembut." Jawab Noel.
"Haah, aku ingin menangis rasanya. Anakku pasti selama ini begitu menderita. Aku memang harus membawanya pergi dari rumah sial ini." -batin Sila.
Sila melanjutkan pekerjaannya, dan memakaikan pakaian pada Noel, sebelum itu Sila menyempatkan diri mengobati luka-luka di tubuh Noel agar luka itu akan cepat sembuh dan Noel tidak lagi merasakan sakit di tubuhnya.
"Sudah., Lihat anak Ibu begitu tampan!" Ujar Sila.
"Ibu juga sangat cantik! Noel tidak pernah melihat Ibu secantik ini!" Ujar Noel tulus.
"Ohoo tentu saja, aku memang sangat cantik. Dan aku sudah mencuri bedak terbaik wanita sial itu." -batin Sila bangga.
"Baiklah-baiklah cukup memujinya, sekarang mari kita ke ruang makan untuk meminta kamar pada Ayah mu." Ujar Sila.
"Baik Ibu."
Sila pun menggandeng lengan Noel dan berjalan menuju meja makan di mana Avel dan Sona sudah berada di sana sekarang.
Bersambung......