webnovel

Tidak Perawan Lagi

Setelah pulang dari desa Lima Menit. Najwa Detektif melarang Retno memarkirkan mobilnya.

"Kita harus ketemu dengan sepupu Ratna sekarang juga. Sepuluh menit yang lalu Rektor Awamaalia mengirim pesan ke aku lewat whatsapp. Ayah Marwa jatuh sakit karena anaknya hilang, ibu Marwa sering termenung karena Firman dan Marwa belum diketahui wujudnya di mana. Kuharap kalian mengerti juga dengan keadaan mereka. Maka dari itu kita tidak boleh berhenti sebelum Marwa ditemukan. Aku menambahi target waktu yang tadi aku janjikan menjadi satu hari. Karena empat jam sudah berakhir. Sekarang jam dua belas malam dan kembali ke jam dua belas malam lagi maka Marwa akan kita temukan."

"Aduh, Najwa, aku belum tidur loh. Kalian kan sudah tidur semua." Retno mengeluh kelelahan karena menyetir.

"Sekarang suruh Ratna yang nyetir. Ratna kau jangan manja. Kita harus ketemu dengan sepupumu itu." sahut Najwa Detektif dengan tegas. Ratna sudah tak tenang dengan ancaman Najwa. Ratna hanya diam dan menurut. Tidak mau membantah lagi, ia takut Najwa semakin curiga kepadanya. Di tengah jalan Ratna sempat mengirim pesan pada sepupunya lewat WhatsApp.

"Jangan libatkan aku di depan suamiku, aku khawatir ia menjauh dariku."

Tak lama Ratna pun memutar stir ke kanan, mobil itu masuk ke dalam halaman sebuah rumah lalu diparkirkan.

"Siapa namanya Ratna?" tanya Najwa Detektif.

"Syilla, namanya." Kemudian mereka pun turun dan mengetuk pintu, hanya Retno yang tidak turun. Ia sudah tidur nyenyak di kursi belakang. Tak lama pintu itu dibukakan oleh Tantenya Ratna. Melihat Ratna yang datang, sang Tante segera mempersilakan Ratna untuk masuk ke dalam.

"Syilla sudah tidur, Tante?"

"Belum, baru saja ia masuk kamar. Habis nonton tv. Silakan duduk dulu, saya buatkan teh hangat, ya."

"Makasih, Tante." sahut mereka serentak. Najwa Detektif dan Siska duduk sedangkan Ratna masuk ke kamarnya Syilla untuk membangunkannya.

"Ini adalah perintah mendadak Syilla." Ratna menjelaskan. Tak lama ibu Syilla keluar dari dapur dan menghidangkan tiga cagkir teh hangat. Mereka pun menyeruput teh hangat dengan segera karena mengejar waktu yang telah ditetapkan oleh Najwa Detektif. Syilla pura-pura tidak tahu, ia menunjukkan ekspresi yang santai. Adem-adem wae.

"Maaf, Tante. Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kami kemari mau minjam Syilla sebentar, ada kepentingan mendesak yang harus kami kejar. Kalau Tante mengizinkan kami akan membawa Syilla, hanya sebentar saja." Najwa Detektif meminta izin pada ibunya Syilla.

"Loh, kok malam-malam begini? Ada perlu apa?"

"Jangan heran dan panik begitu, Tante. Ini hanyalah masalah sepele. Teman kami Marwa merindukan Syilla dan ingin berjumpa dengannya. Tidak lebih, Tante."

"Owh begitu. Ya tak mengapa, silakan. Tapi ingat, Syilla, besok sore sudah balik."

"Ya Mamaku." sahut Syilla.

"Kalau begitu kami pamit dulu, Tante. Terima kasih atas teh hangatnya."

"Ya, hati-hati di jalan ya anak-anak, Tante."

"Ya, Tante. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Retno masih tertidur di bangku paling belakang. Syilla duduk di samping kiri Ratna. Najwa Detektif dan Siska duduk di bangku tengah.

"Syilla, sebelum kita berangkat. Kau harus jawab pertanyaanku dan jangan berbelit-belit. Kalau kau tidak jujur, maka besok kau tidur di penjara!" ancam Najwa Detektif. Syilla selaku perempuan, ia pun ciut dan bergetar atas ancaman Najwa Detektif, apalagi mendengar kata penjara. Bisa-bisa ibunya gila kalau sampai ia masuk penjara.

"Sebutkan Syilla, ke mana alamat yang bisa kita tuju untuk menemukan Marwa?" Najwa Detektif sudah tak sabar menunggu jawaban dari Syilla.

"Kekucakeme!" sahut Syilla to the point.

"Kau tahu jalan ke sana Ratna?" tanya Najwa Detektif pada Ratna.

"Ya aku tahulah. Aku kan bulan madunya di sana sama kekasihku Retno."

"Jangan turun dari kecepatan seratus dua puluh, Ratna!" kata Siska.

"Aku hanya berani sampai seratus saja."

"Kalau begitu sini aku saja yang bawa!" Siska menawarkan diri. Ratna dan Siska pun turun dan tukaran tempat duduk. Kini Siska membawa mobil merah Retno itu dengan kecepatan tinggi.

Di persimpangan dua itu Siska tidak tahu mau belok kanan atau ke kiri. Siska memperlambat dengan kecepatan tiga puluh.

"Kenapa Siska?" tanya Najwa Detektif.

"Aku tidak tahu belok mana ini?"

"Syilla, kita belok mana?"

"Aku juga tidak tahu."

"Ratna kita belok mana? Katamu kau pernah ke sana?"

"Maaf, aku lupa Najwa."

"Humm, mulai bertingkah kau Ratna. Apa perlu kutunjukkan video betapa sengsaranya orang-orang yang masuk penjara padamu Ratna?" ancam Najwa Detektif.

"Yaya, belok kanan."

Siska segera memutar stir ke kanan dan tancap gas.

***

Dua hari belakangan ini ayah Firman tak merasakan manisnya gula, tak merasakan asinnya garam dikarenakan ibunya Firman juga merasakan yang demikian. Bukan hanya karena kehilangan Firman penyebab ayah dan ibunya Firman merasa hambar di lidah dalam dua hari ini, tapi karena sejak dari mereka resmi berstatuskan halal dulu, sejak itulah mereka mulai menyatukan hatinya.

Maka sudah tak heran jika ibunya Firman sakit ayahnya juga ikut sakit. Sudah dua bulan lebih Firman tak pulang dari bulan madu. Ayahnya geleng-geleng ketika menatap foto Firman di dalam album yang terletak di atas meja ruang tamu itu.

"Berapa lama lagi kau berbulan madu di sana duhai Firman anakku? Tak tahukah kau ayah dan ibumu merindukanmu? Berapa lama lagi menantu kami kau bawa jalan-jalan? Masih kurangkah duhai anakku? Lupakah kau alamat rumahmu ketika bersama istrimu di Kampung Firdaus itu? Pulanglah anakku, ayah dan ibumu merindukanmu, menantimu di depan pintu. Saat ini madu, susu dan tebu terasa empedu karena kau duhai Firman yang kami rindu, pulanglah dan ketuklah pintu.

Ayah dan ibu akan kembali merasakan madu yang benar-benar madu dan bukan madu yang rasanya empedu. Pulanglah duhai Firman dan Marwaku." Ayah Firman berbicara pada album pernikahan Firman dan Marwa. Sedangkan ibunya Firman berbaring di atas sofa.

Barusan sudah disuapi ayahnya Firman, barulah ibunya mau makan. Itu juga hanya sedikit saja. Tatkala malam tiba ayah Firman yang makan tak enak sehingga ibu Firman lah yang menyuapinya. Dan ketika di siang hari ibunya Firman yang tak mau makan lalu ayah Firman pun menyuapinya.

Ketika Firman tak di rumah, ayah dan ibu Firman selalu merasa muda, tak pernah mikir kalau mereka sudah berumur empat puluhan. Namun ketika Firman ada di rumah, ibu Firman hampir saja lupa kalau ia sudah punya suami. Ibunya selalu tidur dengan Firman, memanjakan Firman. Tapi sejak Firman punya istri barulah ibunya sadar kembali bahwa Firman punya seorang ayah. Firman sangat dimanjakan ibunya kalau sedang ada di rumah. Namun Firman hanya pulang setahun sekali. Karena dia masuk pesantren dan lulus dari pesantren ia masuk ke Awamaalia University yang juga jauh dari desanya.

***

Tauke sudah tiga hari mengurung diri di dalam rumah. Hanya waktu shalat saja ia keluar dan berjamaah di masjid sebagai imam. Begitu selesai shalat ia kembali lagi ke kamarnya, mulai pagi hingga pagi kembali. Untuk sementara segala keluhan para petugas anak buahnya ditangani oleh si Botak.

Sudah berkali-kali Tauke mengatur posisi tidurnya, tapi tak bisa tidur juga. Miring ke kiri salah, ke kanan apalagi, tengkurap makin tak bisa dan ketika menatap asbes maka di asbes itu terlihat bayangan Dokter Nadia tersenyum manis pada Tauke.

Sesekali ia beristighfar dan bayangan itu hilang seketika, tak lama bayangan itu muncul kembali. Segala cara sudah ia lakukan untuk menemukan alamat Dokter Nadia namun tidak ketemu. Bertanya pada Dokter Mega juga tak mungkin, karena Dokter Mega sendiri sudah tahu bahwa Firman bukanlah anak kandung Tauke. Dokter Mega memiliki data yang lengkap tentang Firman. Tauke semakin kurus karena menahan rindu pada Dokter Nadia.

***

Lima jam perjalanan mereka pun sampai di desa Kekucakeme. Siska memarkirkan mobil dan mereka pun turun. Ratna membangunkan suaminya.

"Bangun! Sayangku bangun! Kita sekarang bulan madu lagi di kampung Kekucakeme."

"Hah? Kok bisa sampai di sini?" Retno bangun dan segera keluar dari dalam mobilnya itu. Ia lihat ke sekeliling, ia perhatikan dengan saksama. Benar ini adalah tempat yang pernah ia datangi sebulan yang lalu bersama istrinya. Syilla mengajak semuanya mendekat ke pintu pemilik rumah. Lampu depan rumah itu terang. Terlihat jelas rumput halaman rumahnya. Syilla memencet bel. Semenit kemudian pintu itu dibukakan oleh seorang ibu yang gemuk.

"Assalamualaikum, Tante." sapa Syilla pada pemilik rumah. Melihat Syilla yang datang, pemilik rumah bahagia sekali bahwa yang datang adalah anak dari kakaknya.

"Waalaikum salam, wah ada Syilla. Ayo masuk." Mereka pun masuk dan Tante Syilla mempersilakan mereka duduk di ruang tamu di atas sofa. Tante Syilla bergegas ke dapur dan membuatkan teh hangat.

"Tante, aku kopi saja." pinta Retno pada Tante Syilla sebelum ditelan pintu dapur.

"Okay."

Sedang menunggu teh hangat, Syilla naik ke lantai dua.

"Assalamualaikum…" Syilla mengetuk pintuk kamar di lantai dua itu.

"Waalaikum salam, ya silakan masuk." Sahut suara di lik pintu. Lalu Syilla pun masuk. Begitu ia masuk, pemilik kamar itu bahagia bahwa yang datang adalah Syilla yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri.

"Kak, Marwa. Di bawah sana ada kak Ratna dan teman-teman kakak lainnya. Mereka Ingin berjumpa dengan kakak."

"Hah? Kok bisa?" sahut Marwa gelisah tak menentu. Akhirnya ada juga orang yang mencari dan menemukan dirinya.

"Ya kak, Marwa. Aku terpaksa menyebutkan kakak ada di desa ini. Aku tidak mau masuk penjara kak. Ayo ke bawah kak, Marwa."

"Kakak malu, Syilla. Kakak sangat malu."

"Sudahlah kakak, tidak perlu lagi malu. Terus terang saja agar kakak jangan menyembunyikan diri lagi. Kasihan ayah dan ibu kakak sakit-sakitan, pun mertua kakak."

"Ayah dan ibu kakak sakit?"

"Ya kak."

"Maafkan hambumu ya Allah."

Istri Firman yang parasnya cantik itu pun mengenakan jilbabnya. Jilbab warna biru. Ia tampak semakin anggun, tapi mengapa ia malah malu dan menyembunyikan diri di desa Kekucakeme ini? Marwa dan Syilla menuruni tangga itu dengan hati-hati.

Begitu Marwa sampai di ruang tamu. Mata Retno tak berkedip, Najwa Detektif menatap dengan saksama, Siska tak bergerak, Ratna mengalihkan pandangan ke lantai.

"Marwa binti Zamzuri kan?" Retno memastikan.

"Ya aku." jawab Marwa menunduk.

"Masih ingat dengan aku Marwa?" Siska menajamkan pandangannya.

"Masih."

"Marwa, sudah hilangkah akal sehatmu? Setega itukah dirimu bersembunyi dari kami? Ini yang kau namakan teman sejati, Marwa? Tidakkah kau berfikir betapa rindunya kedua orang tua kalian? Firman mana? Kok dia nggak turun?" Najwa Detektif marah pada Marwa.

"Nanti akan aku jelaskan kenapa aku di sini dan tak mau kembali. Dan aku tidak tahu Firman ada di mana?"

"Usah sembunyikan lagi Firman dari kami Marwa. Panggil lah dia, suruh ia turun."

"Aku benaran tidak tahu di mana suamiku."

"Kalau begitu, jelaskanlah kenapa kau ada di sini." Najwa Detektif sudah tak sabaran. Tante Syilla menghidangkan teh hangat.

"Silakan minum dulu. Maaf saya agak lama. Pembantu sedang pulang kampung. Cuma Tante dan Marwa yang di sini. Suami Tante juga sedang tidak di rumah. Dan hanya ada tiga satpam di luar rumah." Tante menjelaskan.

"Terima kasih banyak atas teh hangatnya, Tante." sahut mereka bersamaan. Tante naik ke lantai dua dan masuk kamar.

"Kalian sudah shalat subuh belum?" tanya Marwa.

"Kami sudah tadi di jalan. Kami mampir di masjid, kecuali Retno yang belum shalat." jawab Siska.

"Retno shalat dulu. Setelah itu gabung lagi dengan kami. Di sebelah kiri itu ada kamar mandi dan di sebelah kanan ada mushalla." Marwa menunjuk ruangan yang besar itu. Retno segera bergegas dan masuk ke kamar mandi. Sambil menunggu Retno Marwa pun mulai menjelaskan kenapa ia bersembunyi di desa Kekucakeme ini.

"Aku malu pada diriku sendiri, aku malu pada suamiku dan aku malu pada mertuaku, juga pada sahabatku."

"To the point saja Marwa, kau malu kenapa?"

"Aku sudah tidak perawan." jawab Marwa dengan linangan air mata.

"Kau memang sudah stress Marwa. Ya ialah kau sudah tidak perawan. Kan kau sudah menikah dengan Firman dan sudah berbulan madu ke kampung Firdaus pula." Najwa Detektif semakin geram mendengar jawaban Marwa.

"Kami belum pernah ke Kampung Firdaus dan kami belum pernah berbulan madu."

"Loh? Terus? Siapa yang melakukan?"

"Aku kecelakaan,"

"Ya siapa yang melakukannya Marwa kalau bukan suamimu?" paksa Najwa Detektif tak sabaran.

"Aku dan Firman kecelakaan. Mobil kami jatuh ke jurang. Aku pingsan hingga dua hari tak sadarkan diri. Begitu sadar aku sudah ada di dalam rumah sakit. Aku tidak tahu apakah Firman selamat atau tidak. Dia tidak ada di sampingku saat aku siuman dan sampai sekarang aku tidak tahu dia di mana.

Suami Tante lah yang menolongku. Dan dokter memeriksaku bahwa selaput daraku sudah sobek akibat benturan jatuh ke jurang itu. Tulang pinggulku juga retak. Aku masih bersyukur tidak kena bagian kepalaku. Sejak itulah aku merasa diriku sudah tidak pantas lagi untuk suamiku.

Aku sengaja memilih tinggal di sini karena menahan rasa malu pada kalian semua. Awalnya hanya Syilla, Tante dan Om yang tahu keberadaanku di sini. Dan Syilla memberitahu ke Ratna bahwa aku ada di sini. Aku bilang ke Ratna agar tidak memberitahukan keberadaanku ini ke siapa saja teman kita, pada suamiku dan termasuk orang tuaku sendiri."

Mata Siska berlinang mendengar cerita Marwa, hampir saja jatuh air matanya menahan cerita sedih yang dialami sahabatnya. Ratna mendengarnya hanya biasa saja karena ia sudah lama tahu akan itu.

"Firman juga hilang. Kami tidak tahu dia di mana?" terang Najwa Detektif. Marwa semakin menangis ketika tahu suaminya belum ditemukan. Ia suudzon kalau suaminya sudah tiada.

"Kamu dirawat di rumah sakit mana Marwa?" Najwa Detektif menyelidiki.

"Aku dirawat di desa Lima Menit dan di desa itu ada sebuah rumah sakit besar." jelas Marwa.

"Kemarin kami ke sana. Tapi kami tidak menemukanmu. Kami malah menemukan kembaran namamu. Anak Pak Lurah desa Lima Menit itu."

"Ya, aku sempat tinggal dua minggu di rumah Pak Lurah."

"Terus kau sudah tanya belum pada dokter yang di rumah sakit itu tentang Firman?"

"Sudah. Kutanya sana-sini. Kudatangi dari pintu ke pintu pasien. Tapi tak dapat kutemukan Firman." sahut Marwa menangis tersedu-sedu. Lima belas menit dalam mushalla itu, lalu Retno pun keluar dan gabung dengan yang lainnya.

"Firman kau sembunyikan di mana?" tanya Retno tanpa basa-basi. Sesegera mungkin Ratna mencubit Retno lalu Retno pun terdiam seketika, tak bicara walau satu kata. Retno menyeruput tehnya yang sudah dingin itu.

"Kemasi barangmu. Nanti siang kita pulang!"

"Aku tidak mau pulang. Aku malu ketemu mertuaku, Najwa."

"Pilih mana? Malu atau jadi anak yang durhaka? Menyiksa rindu kedua orang tua, mencemaskan mereka pula!" tegas Najwa Detektif. Marwa semakin menangis tersedu-sedu.

"Baiklah, aku ikut pulang. Aku pulang dengan pakaian yang aku kenakan sekarang ini. Tidak ada yang perlu aku kemasi. Semua pakaianku dibelikan oleh Tante dan tidak ada hakku untuk membawanya." terang Marwa.

"Baiklah kalau begitu. Kau jangan nangis lagi sahabatku. Aku akan menemukan Firman!" Najwa Detektif meyakinkan Marwa.

Siang harinya Marwa menemui Tante yang sedang berada di teras belakang.

"Tante, maafkan aku yang telah banyak merepotkan, Tante. Sudah hampir tiga bulan aku di rumah ini. Tante dan Om sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Terima kasih atas semuanya Tante. Kalau ada waktu luang kapan saja, aku membuka pintu selebarnya untuk, Tante dan Om datang ke rumahku. Sekali lagi terima kasih banyak, Tante. Aku mohon pamit. Aku harus pulang. Ayah dan ibuku merindukanku. Mereka memintaku untuk kembali."

"Tidak apa-apa, Marwa. Kamu sudah Tante anggap seperti anak Tante sendiri. Kapan ada waktumu luang datanglah kemari dan bawa suamimu yang sering kamu ceritakan pada Tante. Tante ingin mendengar suaranya yang merdu itu, Tante ingin mendegarnya mengaji. Tante kan tidak bisa punya anak, maukah kamu jadi anak angkat, Tante?"

"Dengan senang hati, Tante. Aku mau. Kalau suamiku masih hidup, pasti akan kuajak ia kemari, Tante. Mohon doanya agar suamiku dipanjangkan umurnya. Aamiin. Aku minta, Tante agar mengizinkanku membawa pakaian yang lengket di badanku ini."

"Aamiin, semoga suamimu segera ditemukan, Anakku. Jangan hanya pakaian yang kau kenankan yang kau bawa, Anakku. Bawalah semua pakaian yang telah, Tante belikan untukmu."

"Terima kasih, Tante."

"Mulai sekarnag jangan panggil Tante lagi. Panggil aku, Mama."

"Terima kasih, Mamaku yang baik."

"Hehehe, sama-sama, Anakku."

Siang itu Marwa dan teman-teman meninggalkan desa Kekucakeme.

***