webnovel

Menjemput Istri Di Kampung Cemburu

Sepekan yang lalu ketika Marwa, Meera, Siska, Ratna, Retno dan Gunawan di rumahnya Najwa Detektif, satu pesan masuk via WhatsApp ke handphone Marwa. Pesan itu singkat.

"Pulanglah. Elangmu sudah di rumah!" serta sebuah foto. Supir Marwa dengan sigap mengambil foto tanpa ada yang tahu. Kalau saja Pak Rektor apalagi bapaknya Marwa tahu foto perkumpulan besar atas kedatangan Firman itu diambil, maka bisa jadi ia cuti sebulan. Mendapat pesan gambar yang masuk dari supirnya itu, Marwa segera pamit duluan ke teman-temannya. Ia berkata kepada Meera, Siska, Ratna, Retno dan Gunawan bahwa ia ingin segera pulang.

"Penting!" katanya terakhir kali pada teman-teman. Mereka pun mengizinkan. Marwa segera masuk ke dalam mobil ayahnya yang ia pinjam. Tak lama Marwa pun meninggalkan rumah Najwa Detektif dan pergi entah kemana ia harus pergi ia sendiri tidak tahu jalan mana lagi yang harus ia telusuri. Yang pasti ia tidak ingin kembali. Marwa malu pada dirinya, pada keterangannya bahwa ia tidak perawan lagi. Marwa merasa ia tidak pantas untuk suaminya. Ia ingin pergi jauh sejauhnya.

Dua jam perjalanan, Marwa sampai di sebuah kampung yang unik. Kampung itu tidak terlalu luas dan besar namun di dalamnya terdapat dua kampung bahkan gerbang masuknya saja dua pintu gerbang. Marwa memilih masuk pintu gerbang yang pertama. Di sana tertulis angka satu pada gerbang pertama dan angka dua pada gerbang kedua dan di atas angka itu tulisan memanjang yang dapat membonceng kedua angka tersebut: Kampung Cemburu.

Marwa masuk lewat pintu gerbang Kampung Cemburu Satu. Ketika ia dimintai kartu tanda pengenal, Marwa menunjukkan kartu pelajarnya waktu jadi mahasiswa di Awamaalia University. Lalu penjaga gerbang mengujinya untuk membacakan surah-surah pendek sebanyak lima surah. Ratna membacakan juz keempat surah An-Nisaa. Marwa membacakan dari ayat pertama tanpa gagap dan ia tidak berhenti sebelum disuruh berhenti.

Sudah dua halaman ia baca lalu penjaga gerbang mengisyaratkannya untuk berhenti lalu mereka pun membukakan pintu gerbang dengan baik dan santun. Mereka mengarahkan mobil Marwa hingga sampai di depan rumah Pak Lurah Kampung Cemburu Satu. Pak Lurah pun segera menyuruh seorang ibu-ibu untuk mengarahkan Marwa ke tempat penginapan khusus tamu perempuan.

Sudah malam, orang-orang sedang menunggu kedatangan Marwa. Ayah dan ibu Firman juga menunggu kedatangan Marwa.

"Menantuku mana, Firman?" Sesekali ayah Firman bertanya demikian. Firman belum bisa menjelaskan dan sangat dilarang ibu Firman untuk dijelaskan kepada ayahnya. Pak Rektor, Tauke dan para anak buahnya, ayah dan ibunya Marwa juga teman-temannya Marwa, Meera, Siska, Ratna, Retno dan Gunawan sedang menunggu kedatangannya. Malah teman-temannya yang duluan sampai di rumahnya. Ketika Pak Rektor bertanya pada teman-temannya Marwa, mereka pun menjawab dengan serentak.

"Marwa pamit pulang katanya Pak." Lalu pak Rektor pun diam dan menatap wajah Firman yang matanya tidak pernah kering sedari tadi. Ditelepon tidak pernah aktif. Lalu ibunya Marwa mencoba menelepon lewat telepon rumah yang ada di dalam kamar Marwa, ibunya menelepon ke kartu Marwa yang satunya lagi, handphone kecil Marwa yang pakai senter itu. Nun di seberang sana, Marwa mengangkat telepon. Ibu Marwa sedang di dalam kamar lantai dua, sedangkan tamu-tamunya masih ramai di lantai satu ruang tamu.

"Aku malu ibu," Marwa menangis sendu.

"Malu kenapa anakku?"

"Aku malu pada suamiku. Aku sudah tidak perawan lagi. Suamiku pasti tidak mau lagi denganku. Aku tidak mau pulang. Aku malu." Marwa tidak berhenti menangis. Ibunya juga ikut sedih mendengar alasan anaknya. Ternyata anaknya belum siap dengan keadaannya. Berkali-kali dibujuk oleh ibunya, tidak pernah mempan. Di akhir pembicaraan Marwa hanya punya dua pesan: Tolong rahasiakan tempatku berada. Dan kalau suamiku masih sayang padaku, suruh ia menjemputku di Kampung Cemburu Satu. Ibu Marwa berjanji untuk anaknya.

Selesai menelepon dengan Marwa, ibunya kembali kepada Firman dan memanggil Firman untuk naik ke lantai dua lalu masuk ke dalam kamar Marwa. Ibunya Firman mengatakan pesan yang tadi disampaikan Marwa.

***

Hari ini genap delapan hari Marwa sudah tidak ada di rumah. Ayah dan Ibu Firman sudah seminggu tidur di rumah Marwa, menunggu kedatangan Marwa yang tidak mau pulang. Karena yang lama bukanlah menunggu orang yang sedang menuju pulang, tapi yang lama itu ialah orang yang ditunggu tidak mau pulang padahal ia sudah tahu bahwa suatu waku nanti jua ia akan pulang. Ayah Firman selalu tidur sendiri di kamar kosong di samping kamar ayahnya Marwa sementara ibu Firman tidur dengan Firman di kamar Marwa. Ibunya benar-benar rindu pada anaknya.

Pagi ini selesai mandi dan sarapan, Firman pamit pada ayah ibunya. Firman berkata ia ada sedikit keperluan yang harus ia selesaikan. Ia tidak langsung mengatakan bahwa urusannya adalah untuk menjemput Marwa sebab ini hanyalah rahasia antara Marwa, ibu Marwa dan suami Marwa. Ketika Firman pamit pada bapak Marwa, bapak Marwa hendak bertanya tapi duluan dipotong oleh ibu Marwa.

"Ya, pergilah, Nak. Hati-hati di jalan dan cepat kembali dengan selamat."

"Amin. Baiklah, Buk. Mohon doanya."

Tak lama Firman pun mulai menghidupkan mesin mobilnya yang masih mengkilat dengan warna hitamnya. Seminggu ini ia sudah berlatih kembali mengemudi tapi tidak dibolehkan kedua ibunya jauh-jauh. Namun hari ini Firman memberanikan pergi jauh-jauh dan ia sendiri tidak tahu sejauh apa hanya untuk menjemput sang istri tercinta.

Alamat yang diberikan mertuanya kepadanya seminggu yang lalu, yang ia catat dalam selembar kertas kecil warna hijau itu sudah ada di kantong kemeja merahnya. Sesekali Firman menghentikan mobilnya di pinggir jalan lalu turun kemudian bertanya pada orang yang rumahnya di pinggir jalan raya.

Orang itu mengatakan perjalanan Firman adalah satu jam setengah lagi kedepan dan lurus lalu silakan tanya lagi nanti pada orang lain jika sudah satu jam perjalanan. Firman mengerti lalu ia mengemudi dengan kecepatan yang tidak pernah sampai ke angka seratus. Firman tidak bernai mengebut. Ia masih trauma dengan kecelakaan yang tujuh bulan lalu yang membuat rencana bulan madunya gagal total.

Firman mengemudi dengan perasaan rindu yang mencekam. Tapi apa boleh buat, orang yang dirindu sedang tidak sudi dirindu, orang yang dirindu hanya perlu jemputan kepastian dan kesetiaan dari kekasih halalnya. Firman ditemani mp3 Al-Quran surah Al-Anfal dengan suara rekaman syaikh Misyari Rasyid.

Tak lama mengemudi, sudah satu jam perjalanan setelah satu jam yang lalu ia bertanya. Firman pun berhenti lagi dan kembali menanyakan alamat yang ia tuju. Orang itu mengatakan setengah jam lagi kedepan lalu belok kanan. Setelah mengucapak terima kasih Firman pun segera beranjak pergi.

Firman terus menelusuri jalan yang luas itu tapi tidak dapat memuat dua mobil jika berpas-pasan kecuali pada titik-titik tertentu. Kiri kanan banyak pohon jeruk dan tanaman semangka yang sedang menumbuhkan buah yang besar. Tidak lama ia sampai di sebuah kampung terpencil dan terpojok jauh dari kota. Kampung itu kecil tapi punya dua pintu gerbang masuk. Firman bingung masuk lewat pintu yang mana. Kemudian ia tunjukkan alamat yang ia tulis.

Penjaga gerbang Kampung Cemburu Dua menyuruhnya masuk lewat Kampung Cemburu Satu karena alamat yang tertulis memang itu. Firman ditagih penjaga gerbang Kampung Cemburu Satu tanda pengenal. Ia mengeluarkan kartu mahasiswanya dulu di Awamaalia Univesity. Penjaga gerbang itu memasang muka cemberut dan mengeryitkan dahi. Ia mencoba mencocokkan Firman dengan foto yang tertera di kartu tersebut.

Tidak dapat ia percaya orang yang ganteng di kartu mahasiswa itu bisa mirip dengan Firman kalau dilihat dari wajahnya saja. Tapi ketika rambut kepala dan wajah disingkronkan, jauh, jauh sekali. Firman yang ada di dalam mobil jelek, rambutnya tidak sampai tiga senti, kepalanya juga terlihat lebih besar.

"Benarkah kartu ini milik, Tuan?" tanya penjaga gerbang Kampung Cemburu Satu, penasaran.

"Astaghfirullah, ini benaran milik saya." Firman membela diri. Mendengar Firman beristighfar, penjaga gerbang langsung luluh lalu menanyakan ke syarat selanjutnya.

"Silakan baca tujuh surah pendek dari juz tiga puluh Tuan." Dengan segera Firman menarik napas panjang dan melantunkan surah An-Nisa dari ayat satu dengan suaranya yang merdu. Hanya sampai pada ayat enam, mereka menyuruh Firman berhenti.

"Boleh kami rekam sampai akhir surah, Tuan?"

"Maaf, tidak boleh sekarang. Saya ada perlu menjumpai istri saya!"

"Baiklah, Tuan. Kalau begitu minta nomor telepon Tuan saja." Firman pun menuliskannya dalam kertas kecil lalu memberikannya kepada penjaga. Firman disambut hangat dan diarahkan ke rumah Pak Lurah.

Sampai di depan rumah Pak Lurah Firman menyampaikan maksudnya dan menyebutkan nama orang yang ingin dijemputnya. Pak Lurah menyuruh salah seorang ibu-ibu memanggil Marwa. Sambilan menunggu Marwa, Pak Lurah menawarkan untuk menunggu di teras depan rumah tapi Firman tidak mau. Ia memilih menunggu berdiri di depan mobil.

Firman pun mengeluarkan sekuntum bunga mawar yang sempat ia beli di kota. Bunga itu masih segar dan harum. Ia keluarkan bunga mawar yang merah ranum tersebut sambil berdiri dan sedikit bersandar di kepala mobil hitamnya. Kalau dilihat dari jauh Firman mirip seperti mafia yang mau menikah dengan pakaian rapi memakai jas warna hitam, kemeja merah, dasi merah, celana hitam dan sepatu hitam.

Seragam itu baru ia kenakan ketika ia sudah hampir sampai di Kampung Cemburu Satu. Firman sempat singgah di WC umum. Kalau dilihat dari dekat, Firman tak ubahnya seperti orang yang baru sembuh dari sebuah kecelakaan. Firman berdiri tegak menatap ke arah yang nanti dari arah itu Marwa akan muncul.

Lima menit kemudian, seorang bidadari muncul di kejauhan. Firman hanya diam menunggu, ia ingin bidadari itu mendekat. Ia siap siaga, siap menerima pelukan rindu dari sang bidadari yang baru muncul itu. Tapi kini langkah bidadari itu terhenti. Ia lama menatap Firman dari kejauhan. Ia Mencoba mengenali dan memastikan orang tersebut. Apakah benar orang yang sedang menjemputnya adalah sang elang yang telah lama menghilang? Marwa melangkah melambat.

Langkahnya setengah pasti. Begitu sampai di depan Firman, Marwa kaku tak bergerak seakan kakinya telah dipaku oleh bumi. Jarak setengah meter ia berdiri di depan Firman, menatap Firman tak berkedip. Firman mengulurkan sekuntum mawar merah untuk bidadarinya, purnama rindunya, kekasih halalnya yang telah lama tak bertemu. Marwa menerima bunga itu dengan kaku dan masih membisu menatap tajam wajah Firman.

"Peluk atau pulang?" tanya Firman menggoda.

Marwa bergegas masuk ke dalam mobil. Marwa tidak ingin memeluk suaminya. Masyarakat Kampung Cemburu Satu sedang ramai menyaksikan mereka. Baru kali ini mereka menyaksikan adegan pertemuan sang kekasih dan mereka yang laki-laki ingin meniru gaya Firman, sedangkan yang perempuan ingin menjadi Marwa. Setelah melambaikan tangan kepada khalayak ramai, Firman pun masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mobilnya.

"Mobilmu siapa yang bawa?" tanya Firman pada Marwa. Marwa masih diam, menunduk, menangis bahagia. Marwa tidak mampu menjawab apalagi banyak berkata-kata. Firman segera memeriksa isi tas Marwa dan ia menemukan kunci mobil. Firman turun lagi dari dalam mobilnya dan pergi ke Pak Lurah. Firman meminta tolong pada Pak Lurah untuk disuruh seseorang yang membawa mobil ayah Marwa yang terparkir di depan rumah Pak Lurah. Sore itu juga Firman dan Marwa menempuh jalan pulang dan diikuti sebuah mobil di belakang mereka.

"Kisah kita masih panjang. Cerita cinta yang telah kita goreskan belum sampai pertengahan." begitu Firman berkata kepada Istrinya, Marwa yang masih menangis haru. Ia berharap Firman tidak menutup buku nikah.

***