webnovel

Kacamata Untuk Emily

Julian, bocah miskin yang tinggal bersama neneknya didesa, memiliki seorang teman yang bernama Emily, gadis lugu berkacamata yang berasal dari keluarga mampu. Mereka berteman dari kecil hingga dewasa. Namun saat SMA, Emily, tiba-tiba pergi meninggalkan Julian tanpa penjelasan, membuat luka mendalam di hatinya. Bertahun-tahun kemudian, Julian bangkit dari keterpurukan. Kini, dia bukan lagi anak miskin yang diremehkan, melainkan pria sukses dengan karier gemilang dan bisnis yang berkembang pesat. Dia juga memiliki ambisi untuk mendirikan perusahaannya sendiri. Namun, ketika hidup Julian sudah berubah, Emily kembali hadir dalam kehidupannya, namun kali ini dengan nasib yang berbalik. Apa yang membuat Emily kembali datang ke kehidupan Julian? Lalu bagaimanakah kisah mereka didalam menghadapi bayang-bayang masa lalunya? Dan konflik apa saja yang akan ditemui Julian dalam menggapai cita-citanya untuk mendirikan perusahaannya sendiri? Ikuti kisah selengkapnya di dalam Novel ini. Novel Kacamata untuk Emily ini memadukan berbagai genre meliputi "Romance, Slice of Life, Remaja, Pengembangan karir, CEO dan Bisnis Fiksi." Dibalut dengan gaya penulisan menggunakan sudut pandang orang pertama dan dialog yang ekspresif serta progress cerita yang "slow pacing" membuat novel ini dapat memberikan pengalaman membaca yang lebih emosional, realistis, dan imersif. [NOTE] Tentang novel ini: Disini anda akan dibawa seolah-olah menjadi sang MC, karena novel ini ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Nikmati bagaimana tokoh tersebut menjalani kehidupannya didalam cerita dan rasakan pengalaman emosionalnya seperti saat merenung, merasakan sesuatu, dan bereaksi terhadap sebuah situasi. Bukan hanya itu, Novel ini juga menggunakan dialog sebagai pembentuk dan penggerak cerita sehingga suasana cerita terasa lebih realistis dan dinamis. Lalu, Novel ini juga memiliki set progress cerita "Slow Pacing" yang akan membuat para pembaca merasakan bagaimana hubungan tiap karakter tumbuh dan berkembang secara lebih dalam pada tiap bab. Alih-alih mengejar Plot yang cepat, Pembaca justru dapat menikmati detail setiap adegan, gerak tubuh, ekspresi wajah, bahkan keheningan di antara para tokoh secara kompleks. Biarkan cerita terungkap secara perlahan. Resolution sering akan anda temui diakhir bab sebagai kesimpulan perkembangan sang MC dalam cerita. Karena plot novel ini memang fokus kepada sang MC. Semoga ini bisa memberikan pengalaman membaca yang unik dan bermakna bagi para pembaca Novel "Kacamata Untuk Emily"

TriYulianto · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
11 Chs

BAB 9. LEMBARAN PAGI YANG BARU

CHAPTER 9. LEMBARAN PAGI YANG BARU

Pagi itu, sinar matahari lembut menyelinap melalui celah-celah tirai jendela, memaksa mataku untuk terbuka. Aku terbangun dengan sedikit rasa malas, tubuhku masih terasa berat setelah semalaman bergulat dengan pikiranku sendiri. Tapi untunglah, mimpi-mimpi tentang masa lalu itu sudah mulai memudar seiring datangnya pagi.

Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap keluar jendela dengan mata setengah terbuka. Di luar, burung-burung berkicau pelan, udara pagi yang masuk melalui ventilasi terasa sejuk menyegarkan. Dan untuk pertama kalinya juga aku merasa lega, karena hari ini, telah ada seseorang yang menemaniku disini.

Biasanya, aku memulai hari dalam kesendirian tanpa ada yang menyapa atau menyiapkan sarapan. Namun, kali ini saat aku melangkah keluar dari kamar, hidungku langsung disambut oleh aroma lezat yang berasal dari arah dapur. Bau tumisan bawang dan rempah-rempah langsung membuat perutku berbunyi.

Begitu tiba di ruang tengah, aku melihat Emily berdiri di dapur. Dia sedang sibuk menyiapkan sarapan dengan apron kecil yang dikenakannya. Aku berjalan mendekatinya.

Julian: (Sambil tersenyum), "Sepertinya, ada chef baru disini..."

Emily sedikit kaget atas kehadiranku tiba-tiba didapur dan menoleh kepadaku. Dia menyapa sambil memberikan senyum kecilnya.

Emily: "Selamat pagi, Julian. Aku sedang menyiapkan sarapan untuk mu."

Aku bersandar di ambang pintu dapur sambil mengamati gerakannya yang luwes saat memasak. Aroma masakannya begitu kuat, semakin membuatku lapar. Aku terkejut, kukira dia perlu adaptasi. Tapi, Emily mampu melakukan tugasnya di hari pertama.

Julian: "Kalau aromanya saja sudah begini enak, aku jamin rasanya pasti lezat."

Emily tersenyum tipis, kali ini terselip rasa malu.

Emily: (Sambil mengaduk masakan di wajan), "Kita lihat saja nanti. Kalau nggak enak, jangan protes, ya."

Aku hanya tertawa pelan menanggapi candaan Emily.

Sementara menunggu masakan Emily matang, aku memutuskan untuk sedikit berolahraga. Aku membuka pintu geser yang berada di sebelah dapur dan berjalan ke halaman kecil di belakang rumah. Seketika udara pagi yang sejuk langsung menyambut ku, menambah semangat untuk melakukan rutinitas sederhana ini.

Aku mulai dengan beberapa sit-up di atas tikar yang ku gelar diatas rerumputan di sana. Dengan mengangkat tubuhku ke atas dan ke bawah membantuku melepaskan sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Dari sini pun aroma masakan Emily masih samar-samar tercium, seolah terus menarik ku kembali ke dapur.

Setelah beberapa set sit-up, aku melanjutkan dengan push-up. Tangan dan tubuhku menekan tanah, merasakan setiap otot yang bekerja seiring gerakanku. Di sela-sela hitungan push-up, aku berhenti sejenak, menarik napas panjang, merasakan keringat mulai menetes di dahi. Olahraga pagi ini terasa menyegarkan.

Kemudian dari arah dapur terdengar suara emily berteriak riang.

Emily: "Julian... Makanannya sudah hampir siap!"

Aku melirik ke arah dapur sambil menyeka keringat di dahi.

Julian: "Oke, aku sebentar lagi kesana!"

Aku melakukan beberapa gerakan terakhir, menyelesaikan sesi olahraga pagi ini dengan stretch ringan. Badan ku sekarang terasa lebih kuat dengan pikiran yang lebih segar, siap menghadapi hari.

Setelah itu, aku kembali ke dalam rumah. Beranjak ke dapur untuk menemui Emily, bersiap menyantap sarapan buatan tangannya yang kutunggu-tunggu.

Aku duduk di meja makan, merasa senang karena sekarang ada seseorang yang menyiapkan sarapan untukku, dan itu adalah Emily. Rasanya seperti sebuah mimpi yang akhirnya jadi kenyataan. Dibanding sebelum ini, dimana aku harus mengurus semuanya sendiri.

Emily sibuk menata masakannya di meja makan. Aku memperhatikan gerakannya yang telaten. Di hadapanku kini tersaji sepiring nasi goreng yang terlihat begitu menggoda, ditambah dengan telur mata sapi yang sempurna, dan beberapa irisan buah segar di sampingnya juga segelas susu.

Emily: "Silakan, dicoba dulu."

Dia tersenyum kecil, duduk di depanku dengan penuh harapan.

Aku mengambil sendok, mencicipi suapan pertama nasi goreng buatan Emily.

Emily: "Bagaimana? Apa kau suka nasi goreng buatan ku?"

Saat aku mengunyah masakannya, rasanya... luar biasa. Aku memejamkan mata sejenak, menikmati tiap bumbu yang terasa pas di lidah.

Julian: (Tersenyum puas), "Ini enak sekali, Emily. Serius, ini lebih enak dari nasi goreng mana pun yang pernah aku makan."

Emily tersipu, pipinya sedikit memerah mendengar pujianku.

Emily: "Ah, kamu terlalu memuji. Ini cuma nasi goreng biasa, kok."

Aku melanjutkan menyendok beberapa suap nasi goreng buatannya untuk ku masukan ke mulut.

Julian: (Sambil mengunyah), "Biasa? Kalau semua sarapan 'biasa' seenak ini, aku mungkin bisa bertambah gemuk dalam waktu singkat."

Emily: "Benarkah? Tapi, tenang saja... Bukankah wanita jaman sekarang suka pria yang gendut?"

Dia terkikik kecil, matanya berbinar penuh keusilan.

Emily: "Karena itu, jangan ragu untuk makan sekenyang mu, tuan Julian."

Sejenak aku berhenti menguyah dan meneguk sedikit susu yang disiapkan sebelum membalas lelucon Emily.

Julian: (Melirik ke Emily), "Jadi... Kau suka dengan pria gemuk juga?"

Emily: (Gugup), "Ah... Itu... Ya... Gimana aku mengatakannya, ya? Tapi kalau kau yang gendut, Aku..."

Emily terdiam sejenak menunduk malu.

Emily: "Mungkin kau bisa jadi... Bantal berjalan yang lucu."

Julian: (Menggeleng sambil tersenyum), "Yah... Setidaknya itu lebih baik daripada jadi rumus berjalan, hahaha..."

Emily: (Cemberut), "Mulai lagi deh... "

Julian: "Hei... Kau yang memulainya dulu, kan?"

Emily: "Tapi syukurlah, jika kau suka dengan masakanku. Aku juga akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan asupan gizi mu."

Julian: "Terima kasih, Emily. Aku hargai perhatianmu."

Emily: (Tersenyum), "Tentu saja, karena aku tak mau pangeran penyelamatku jatuh sakit."

Julian: (Tertawa kecil), "Oh, jadi sekarang aku seorang pangeran, ya? Lalu, kalau begitu, siapa tuan putrinya? Kau?"

Emily menanggapi gurauan ku dengan berpura-pura menjadi tuan putri.

Emily: (Menyipitkan mata), "Ya, tentu saja. Dan pangeran harus selalu siap melayani tuan putri, kan?"

Julian: (Membungkuk pura-pura hormat), "Dengan senang hati, tuan putri. Apa yang bisa pangeran lakukan untukmu kali ini?"

Emily: (Tersenyum lebar), "Hmm, mungkin kau bisa membantu putri mu ini mencuci piring setelah kita selesai sarapan?"

Julian: (Tertawa), "Sepertinya pangeran yang satu ini ditakdirkan jadi pelayan kerajaan!"

Emily tertawa lepas membalas candaan dariku. Tapi dengan ini aku tahu bahwa moodnya berangsur membaik.

Julian: (Melihat Emily yang hanya diam tersenyum memandangi ku makan), "Jadi, kenapa tuan putri tak ikut makan?"

Emily: "Aku... Nanti saja. Yang penting pangeran dulu."

Julian: (Berpura-pura tegas), "Tidak boleh. Kalau begitu, aku tambahkan aturan didalam kerajaan ini. Kau wajib ikut makan saat kita bersama, putri Emily."

Emily: "Baiklah-baiklah... Titah pangeran akan ku turuti."

Emily kemudian mengambil piringnya untuk memulai sarapan bersama. Suara piring dan sendok mengisi ruangan, dan sesekali kami berbincang ringan, dalam suasana yang nyaman.

Julian: "Apa tidurmu nyenyak tadi malam?"

Emily: "Tidurku sungguh nyenyak. Terima kasih atas kasur lipat yang kau belikan kemarin, Julian. Itu benar-benar nyaman. Terlebih aku senang sekarang bisa punya tempat untuk istirahat dibandingkan sebelum ini."

Julian: (Mengangguk), "Aku senang mendengarnya. Semoga kau merasa betah tinggal di sini."

Emily: "Aku merasa lebih baik sekarang. Terima kasih sudah memberiku kesempatan ini, walaupun sebenarnya aku agak sedikit gugup..."

Julian: "Gugup? Kenapa?"

Emily: (Menunduk, sedikit tersipu), "Karena...  Ini baru pertama kalinya aku tinggal di rumah seorang pria... Apalagi hanya berdua saja..."

Julian: (Tertawa kecil), "Tenang saja, Emily. Di sini, kau akan aman, kok."

Emily: "Aku tahu... Tapi bukan itu maksudku."

Julian: "Lalu?"

Emily menundukkan pandangannya sejenak, dan melirikku dengan wajah yang memerah.

Emily: "K-kau..."

Julian: "A-aku? Ada apa dengan diriku?"

Emily: (Masih malu), "K-kau pria dewasa yang normal, kan?"

Sekejap aku tahu apa yang dikhawatirkan Emily.

Julian: (Memasang ekspresi canggung), "M-memangnya a-ada apa dengan menjadi n-normal?"

Emily: (Menunduk dan melemparkan pandangannya), "Y-yah... Kau tahu... Apa yang ku maksud kan?"

Julian: (Tertawa kecil, mencoba mengusir kecanggungan), "T-tenang saja... Hahaha.. Aku berjanji tak akan berbuat macam-macam, kok. Lagipula aku malah takut jika kau tak merasa betah disini."

Emily: "B-baiklah, kuharap aku tak terlalu memikirkannya."

Julian: "Ya, kau bisa rileks. Dan mulai sekarang anggap saja ini rumah mu sendiri."

Emily: (Merasa tenang), "Terima kasih, Julian. Kau benar-benar baik. Kuharap aku tak terlalu merepotkan mu dikemudian hari."

Aku hanya tersenyum sebagai balasan. Obrolan kami terus berlanjut saat sedang menyantap sarapan. Meski terdengar seperti candaan ringan, aku bisa merasakan bahwa aku dan Emily mulai merasa lebih nyaman satu sama lain.

Setelah sarapan selesai, aku merapikan peralatan makan ku di meja makan dan bangkit dari kursi.

Julian: "Aku harus mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ada jadwal meeting dikantor pagi ini. Maaf tak bisa membantumu didapur."

Emily: (mengangguk), "Baik, jangan khawatir, serahkan sisanya padaku. Aku juga sudah menyiapkan handuk di kamar mandi, kok."

Julian: "Terima kasih, Emily. Aku benar-benar merasa terbantu."

Emily: "Tidak masalah... Aku... Asisten mu, kan?"

Aku segera menuju ke kamar mandi, membersihkan diri dan bersiap-siap untuk hari kerjaku. Aku masih tidak percaya, Emily dan aku tinggal bersama. Kehadiran nya di rumahku tidak hanya mengubah rutinitas ku, tapi juga membawa perasaan nyaman yang sudah lama hilang dari hidupku. Seolah seperti pengantin baru.

Setelah mandi, aku mengenakan setelan pakaian kerjaku dan siap berangkat. Ketika keluar dari kamar, Emily masih di dapur, membereskan piring dan menyeka meja makan. Aku melirik jam, menyadari bahwa waktuku sudah cukup mepet.

Julian: "Emily. Aku berangkat dulu, ya!"

Aku mulai mengambil tas kerja dan kunci mobilku.

Emily: "Hati-hati di jalan, Julian."

Julian: "Kamu juga. Jaga rumah baik-baik ya?"

Emily: (Menatap Julian sambil tersenyum), "Tentu..."

Aku melangkah keluar dari rumah dan menuju mobilku. Hari ini, aku pergi bekerja dengan perasaan yang berbeda, merasakan ada sesuatu yang baru dalam hidupku. Kehidupan ku yang selama ini terasa sepi dan monoton, kini mulai menemukan warnanya kembali.

-----

[Bersambung ke BAB 10]