webnovel

-14- You Don’t Have to Go

Elsa berusaha untuk bersikap baik-baik saja sepanjang makan malam. Namun, ia sadar, sedari tadi ia tak berani menatap wajah Alfon. Meski begitu, Elsa bersyukur karena Alfon tak membahas masalah itu.

Malah, ketika Elsa membereskan piring makan malamnya usai makan, Alfon menanyakan hal lain.

“Kamu perlu asisten rumah tangga?”

Elsa tentu tak menduga pertanyaan itu. Elsa menatap meja makan. Tidak banyak piring kotor. Toh selama ini ia juga tinggal sendiri.

“Nggak perlu. Lagian, nggak ada banyak kerjaan di sini. Kalau kita pesan makanan, kita cuma perlu balikin piringnya ke restoran. Cucian juga kamu pasti pakai jasa laundry di sini, kan? Buat bersih-bersih …” Elsa menatap sekeliling, lalu menunjuk robot vacuum cleaner di pojok ruangan. “Atau kita bisa manggil staf kebersihan buat bersih-bersih. Aku biasanya gitu.”

Alfon mengangguk, tapi ia tak mengatakan apa pun lagi. Elsa mengangkat alis. Apa ada yang salah?

“Kenapa? Kamu butuh asisten rumah tangga?” Elsa balik bertanya.

Alfon menggeleng. “Tapi, aku mungkin pengen masak.”

“Kamu bisa masak?” Elsa tanpa sadar sudah bertanya.

“Sedikit,” jawab Alfon.

Wow. Elsa tak menyangka seorang playboy bisa memasak.

“Masak apa, misalnya?” Elsa menguji pria itu.

Alfon meminggirkan piring dan meletakkan siku di meja, lalu kedua tangan menyangga dagunya.

“Kamu pengen dimasakin apa?”

Elsa mengerjap. Lagi-lagi ia tak menduga akan sikap Alfon yang seperti ini. Elsa berdehem.

“Aku nggak pengen apa-apa,” jawab Elsa.

Alfon menurunkan tangannya dan dengan santai mengangguk. Pria itu lalu membereskan piring bekas makannya juga. Mendadak, suasana menjadi canggung. Elsa pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Namun, ketika melihat laptopnya di atas tempat tidur, Elsa merasa … ini tidak benar. Rasanya seperti pengecut jika ia hanya diam seperti ini. Setelah beberapa saat, Elsa akhirnya memutuskan.

***

Alfon baru saja naik ke tempat tidur ketika pintu kamarnya diketuk. Detik berikutnya, pintu itu terbuka perlahan. Kehadiran Elsa di balik pintu itu sama sekali tak diduga Alfon. Alfon seketika turun dari tempat tidur dan menghampiri Elsa.

“Apa? Ada masalah? Kamu butuh sesuatu?” tanya Alfon cepat.

Elsa menggeleng.

Alfon mengerutkan kening heran. “Ada yang mau kamu omongin?”

Elsa berdehem, mengangguk pelan. Alfon menunggu.

“Mulai malam ini, aku akan tidur di kamar ini,” ucap Elsa.

Alfon berpikir sejenak. “Kamu mau tukar kamar?”

Elsa menggeleng cepat. Wanita itu menggigit bibir, tampak ragu beberapa saat, tapi kemudian berkata lagi, “Semalam bukan kamu yang salah, aku baru sadar. Jadi, aku nggak berhak buat satu permintaan itu. Malah kamu yang berhak minta satu hal ke aku.”

Elsa tidak sedang mengigau, kan? Memang benar, semalam Elsa yang menggenggam tangan Alfon lebih dulu. Namun, Alfon yang memutuskan untuk membiarkan wanita itu menggenggam tangannya sepanjang malam. Karena itu jugalah, Alfon tidak protes tadi pagi. Terlebih, sepertinya Elsa melakukan itu karena bermimpi buruk.

“Kalau kamu nggak mau, nggak pa-pa. Aku bisa balik ke kamarku,” ucap Elsa tiba-tiba.

Wanita itu sudah berbalik, tapi Alfon menangkap lengannya. Elsa menoleh kaget.

“Kamu nggak harus pergi,” Alfon berkata. “Ini juga rumahmu sekarang. Kamu bebas ngelakuin apa pun di sini. Kamu mau tidur di kamar ini, di kamar tamu, di kamar mana pun, terserah kamu. Kamu bisa lakuin apa pun yang bikin kamu nyaman di sini.” Alfon melepaskan pegangan di lengan Elsa.

Elsa tampak terkejut. Wanita itu perlahan kembali menghadap Alfon. “Aku … itu … kamar tamunya boleh aku desain jadi ruang kerja?” tanya Elsa kemudian.

Alfon mendengus pelan, mengangguk. “Kamu mau desain dapur jadi kolam renang juga nggak akan aku larang.”

Elsa lagi-lagi tampak terkejut. “Kamu … kenapa jadi seperhatian ini sama aku?”

Alfon terdiam. Tentu saja. Alfon menunjukkannya sejelas ini, tidak mungkin Elsa tidak menyadari perasaan Alfon.

“Kamu ngerasa kasihan sama aku?”

Tebakan Elsa itu membuat Alfon mengernyit bingung. Apa? Kasihan apa? Kasihan dari mananya ketika orang yang ditolak di sini Alfon? Jika ada orang yang patut dikasihani, Alfonlah orangnya. Aira dan yang lain pasti akan langsung membenarkan itu.

“Kalau kamu ngerasa kasihan sama aku …”

“Kenapa aku harus ngerasa kasihan sama kamu?” potong Alfon gusar.

Elsa mengedik. “Kamu lihat sendiri gimana papaku.”

“Trus?”

“Kamu tahu kan, papaku ngeremehin aku?”

“Dan kamu tahu gimana papaku suka ngelakuin semua sesukanya tanpa minta pendapatku,” balas Alfon.

“Ah, maksudmu, kamu terpaksa setuju sama perjodohan ini?” Suara Elsa terdengar sinis.

Apa lagi ini?

“Bukan gitu, aku cuma mau bilang, papaku juga …”

“Aku nggak peduli,” potong Elsa. “Aku nggak peduli meski kamu nggak setuju sama perjodohan dan pernikahan ini. Yang terpenting, kamu udah tanda tangan kontrak kesepakatan kita dan sekarang kita udah nikah. Jadi …”

Masa bodoh dengan semua itu!

Alfon meraup pinggang Elsa dan menarik wanita itu mendekat. Alfon sempat melihat keterkejutan Elsa sebelum ia mencium bibir Elsa di sana. Alfon menarik Elsa semakin dekat ketika wanita itu berpegangan di lengan Alfon, lalu membalas ciumannya.

Gawat. Alfon punya masalah baru sekarang. Saat ini, kenapa ia tak juga merasa cukup dengan ciuman ini? Ia ingin terus mencium dan memeluk Elsa. Dan ini gila.

Di akhir ciuman mereka, Alfon menyandarkan kening di kening Elsa.

“Malam ini, tidur sama aku, El. Di sampingku.” Suara Alfon bahkan terdengar berat di telinganya sendiri.

Namun, balasan Elsa kemudian menarik Alfon pada kenyataan.

“Ya, aku akan tidur di sampingmu. Tapi, aturannya tetap sama. Jangan macam-macam.”

Wanita itu menarik diri. Lalu, dengan langkah tegas, Elsa melewati Alfon, lalu naik ke tempat tidur. Elsa benar-benar tak mengizinkan Alfon larut dalam mimpinya barang sekejap saja.

***

Elsa terbangun tengah malam itu dan mendapati dirinya kembali menggenggam tangan Alfon. Elsa menghela napas dan dengan hati-hati menarik tangannya. Pria itu berbaring miring menghadapnya, matanya terpejam rapat.

Elsa turun dari tempat tidur, pergi ke dapur untuk mengambil minum. Setelahnya, ia tak langsung kembali ke kamar. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di pintu kamar Alfon tadi.

Setelah ciuman mereka tadi, Alfon meminta Elsa tidur dengannya. Pria itu tidak mungkin berpikir untuk tidur layaknya pasangan suami-istri normal, kan? Tidak mungkin. Pria itu pasti sudah gila jika memang ia menawarkan itu. Elsa tak berniat menjadi satu dari sekian jalang yang menghangatkan ranjang pria itu. Tidur di atas tempat tidur yang sama, hanya tidur, itu sudah lebih dari cukup, menurut Elsa.

Hal terjauh yang bisa Elsa berikan pada Alfon adalah ciuman. Namun, di atas itu, tentu Elsa akan menolak. Sesuai kesepakatan mereka. Yang mengherankan Elsa, kenapa pria itu belum juga pergi untuk mencari jalangnya? Mungkin semalam ia juga lelah setelah pesta. Namun, malam ini juga Alfon tidur di kamar.

Jangan-jangan, pria itu berpikir untuk meminta ‘itu’ pada Elsa. Selama sepuluh menit berikutnya, Elsa sibuk mencari alasan untuk menolak itu. Untuk sementara, ia bisa beralasan ia berhalangan. Pikiran itu membuat Elsa lebih tenang.

Elsa kembali ke kamar dengan segelas air minum. Setelah meletakkan gelas di meja samping tempat tidur, Elsa naik ke tempat tidur dengan hati-hati. Elsa menyelipkan tubuh di balik selimut dan menyadari selimut Alfon turun hingga hanya menutup setengah tubuhnya.

Elsa sudah akan mengabaikan itu dan berbaring, tapi kemudian ia kembali duduk dan menarik selimutnya hingga menutupi tubuh Alfon. Ia membiarkan tangan Alfon tetap di balik selimut sementara tangannya sendiri berada di atas selimut. Dengan begini, ia tidak perlu khawatir akan terbangun dengan tangannya menggenggam tangan pria itu lagi.

Malam itu, Elsa melanjutkan tidurnya dengan lebih tenang.

***