webnovel

SALAH DUGA

"Apa liat-liat? Elo pikir elo siapa? Cuma, MANTAN. Hahaha ...," ejek wanita yang bermanja dalam pelukan Jono.

Jono tersenyum miring sambil menatap Jeny tak peduli, berlalu tanpa kata. Sementara Jeny hanya terdiam mematung, menatap punggung Jono serta wanitanya hingga tak terlihat lagi, melesat bersama mobil BMW merahnya.

Tuhan ... ujian apa lagi yang Kau berikan padaku.

Jeny menghampiri montir yang sedari tadi turut menyaksikan kejadian itu. Ia tak menyangka akan sesakit ini hidup tanpa senyum sang pujaan hati.

"Sabar, ya, Mbak!" ucap montir itu kemudian sambil menyerahkan kunci motor.

"Terima kasih, Mas." Jeny mengangguk lalu menstater motornya setelah membayar biaya perbaikan.

Gadis itu mendengus kesal, menyayangkan keputusan yang Jono ambil sore tadi.

Bagaimanapun Jono adalah sosok lelaki yang spesial untuknya.

Dia masih berharap Jono akan kembali padanya. Meski hanya sesaat menemani sisa waktunya.

Malam ini Jeny tidak bisa tidur.

Gadis itu menatap album foto kebersamaannya bersama Jono.

Tiga tahun itu bukanlah waktu yang sebentar, banyak kenangan yang terukir indah di antara mereka.

Tiba-tiba saja ponsel Jeny berbunyi. Saat pikiran gadis itu tengah berkelana, mengenang masa-masa indah bersama Jono.

"Jen, belum tidur?" Satu pesan dari Tedy masuk.

"Belum. Napa emang?" balas Jeny cuek. Dia tau Tedy dari dulu selalu perhatian dengannya. Lelaki itu memang sudah lama menyukainya sejak pertama kali Jeny melamar kerja di kantor bidang hukum itu.

Namun, Jeny terus mengabaikan perasaan Tedy, karena hatinya sudah terpaut pada sosok Jono.

"Jangan lupa minum obat!"

"Em." jawab Jeny asal.

"Loh, kok cuma "Emh" jawabnya," protes Tedy.

"Iya, Tedy bear."

"Panggil "Sayang" dong! Biar aku tambah semangat deketin kamu." Ups ... Tedy keceplosan.

"Maksudnya?"

"Bukan apa-apa kok, Sayang. Eh, maksudku'Jeny'." Tedy gugup dan langsung memutuskan sambungan ponselnya.

Idih, sok perhatian banget sih.

Jeny membatin. Gadis itu sedikit berfikir, balasan apa yang pas untuk Tedy, tapi mengingat perhatian lelaki itu yang tak pernah berubah dari dulu membuatnya iba.

'Tidak. Aku tidak boleh memikirkan dia. Aku harus mengingat kondisiku saat ini, tidak ada yang bisa diharapkan lagi atas diriku.' Jeny menggeleng lemah, menutup album foto lalu menyimpannya dalam laci.

"Jeny Selamet" nama yang disematkan oleh kedua orang tuanya untuk gadis berusia

27 tahun itu.

Bukan sekedar nama.

Dahulu gadis itu memiliki nama panjang Jeny Rahayu Damitri.

Namun, karena Jeny kecil yang selalu sakit-sakitan, membuat kedua orang tuanya mengganti namanya dengan Jeny Selamet.

Tapi nama hanyalah nama.

Sang Pemilik Hidup tetaplah penentu segalanya. Termasuk nasib, jodoh, umur juga rejeki seseorang.

Hari ini Jeny terasa malas untuk berangkat berkerja. Dia teringat akan ucapan Jono yang sangat menyakitkan baginya.

"Apa aku bisa tenang bila berhadapan dengan Jono." Jeny terus bicara sendiri sembari mempersiapkan berkas yang musti dibawanya. Tanpa ia sadari ada seseorang yang memperhatikannya sedari tadi.

"Aaa ...!" teriak Jeny, gadis itu kaget karena Tedy sudah berada di depannya saat ia membalikkan badan. Sontak Tedy menutup mulut gadis itu dengan tangannya.

Jarak yang teramat dekat membuat keduanya terpaku. Mereka terdiam, membisu. Mencari jawaban atas pertanyaan yang tidak pernah ada.

Manik mata mereka saling terkunci. Napas yang mulai tidak teratur disertai desiran hati yang sulit untuk diartikan.

Cinta? Tidak mungkin, mengingat Jeny yang selalu menutup hatinya untuk orang lain.

Perlahan Tedy memiringkan kepalanya, mendekatkan wajahnya pada gadis itu.

Membuat Jeny menatap Tedy tajam, pipinya mulai memerah menghiasi wajah tirusnya.

Tedy menarik tangannya dari mulut Jeny, sambil mendekatkan bibirnya kala gadis itu secara perlahan memejamkan mata lentiknya.

Debar di hati mereka kian menjadi, saat tubuh keduanya tiada berjarak lagi. Tangan kekar Tedy mulai melingkar di pinggang ramping gadis di depannya. Menariknya pelan, menekan masuk dalam pelukan hangatnya.

"Aku sungguh menyayangimu, Jen. Kamu telah membuatku gelisah semalaman," Tedy berbisik pelan.

Jeny perlahan membuka mata, pipinya kian memerah karena salah duganya. Tangan gadis itu menekan tubuh kekar Tedy, berharap lelaki itu segera melepasnya.

Namun, tidak. Tedy kian mengeratkan pelukannya, enggan untuk melepaskan gadis itu secepatnya.

"Biarkan aku merasakannya sebentar saja," pinta Tedy dengan suara yang bergetar.

Jeny terdiam. Gadis itu mulai merasakan rasa yang berbeda. Damai tenggelam dalam dada bidang Tedy.

Cukup lama mereka tenggelam dalam rasa yang sama.

Hingga suara klakson menyadarkan keduanya.

Tin!

Tin!

Tin!

"Woiii ... enak ya, pagi-pagi sudah pelukan," teriak Jono dari seberang jalan.

Jeny seketika mendorong tubuh Tedy hingga lelaki itu terhuyung ke belakang.

Jeny terdiam, menatap Jono berlalu bersama BMW merahnya.

"Ini gara-gara kamu," marah Jeny pada Tedy yang berusaha memegang tangan gadis itu lagi.

"Aku tidak tau kalau Jono akan melalui jalan ini," ucap Tedy menjelaskan.

Jeny segera menyambar tasnya, menutup pintu lalu mencoba menstater motornya.

"Aku ke sini untuk menjemputmu." Tedy mencegah Jeny melajukan motornya.

"Tidak. Aku tidak butuh tumpangan darimu!" sentak Jeny geram.

"Kumohon! Berhentilah berdebat denganku," pinta Tedy dengan tangan terus memegang jok motor gadis itu.

"Aku bisa sendiri," jelas Jeny menatap Tedy tajam. Namun, lelaki itu tidak mengidahkannya.

Tedy dengan cepat menarik kontak dari soketnya, membopong tubuh ramping Jeny lalu memasukkan gadis itu dalam mobilnya.

"Hentikan! Aku mau turun," pinta Jeny saat mobil mulai melaju.

"Apa kamu mau aku melakukan sesuatu lagi padamu?" goda Tedy dengan lirikan mata genitnya.

Jeny tercekat, diam. Gadis itu tidak ingin Tedy melakukan hal yang bodoh lagi terhadap dirinya.

"Dasar pria mesum." Jeny mendengus kesal. Sementara Tedy asik senyum-senyum sendiri melihat tingkah gadis di sampingnya.

Tedy meraih ponselnya, menyalakan bluetooth dan memutar lagu milik Dadali, Di Saat Aku Mencintaimu.

Tedy tau, itu adalah lagu faforit Jeny. Ya, tanpa seijin Jeny, lelaki itu telah mengumpulkan informasi tentang gadis itu. Dari lagu faforit, makanan yang ia gemari sampai ukuran BH-nya pun dia tahu.

Huff ... dasar lalaki.

Saking asiknya Jeny menikmati lagu itu, dia tidak menyadari bahwa saat ini tangan kekar Tedy telah menggenggam tangan kanannya.

Dilihatnya sesaat gadis di sampingnya, terpejam.

Tidurkah Jeny?

Atau dia tengah meresapi sentuhan hangat di kulitnya? Entahlah.

Sementara itu seorang lelaki mengendarai mobil BMW merahnya dengan sangat kencang.

Dia kembali merasa hidupnya semakin hancur karena seorang wanita.

Beberapa kali lelaki itu hampir menyerempet pengendara lain.

Yang berujung pertengkaran hebat.

"Kenapa aku bisa segila ini tanpamu Jen." Jono merasa frustasi dengan keadaannya saat ini.

"Sial! Kenapa harus dia Jen. Sahabat karibku," Jono memukul kemudinya berulang, melampiaskan kekesalan dalam hatinya.

Jono memang telah memutuskan Jeny, tapi di dalam hatinya masih menyimpan cinta dan sayang terhadap gadis itu.

Hanya saja ia terlalu gengsi untuk mengakuinya.