webnovel

ISYARAT MATA

Jeny terdiam, gadis itu menatap foto yang terletak di atas nakas.

Foto dirinya saat tengah liburan bersama Jono di Candi Borobudur tahun lalu. Masih segar dalam ingatannya betapa liburan itu sangat romantis.

Namun, siapa sangka semua itu kini tinggal kenangan saja.

"Maafkan aku Jon." Jeny menyambar tasnya, beranjak pergi berkerja.

Sementara di luar Tedy telah menunggunya. Yah. Semenjak kondisi Jeny yang selalu berubah, membuat Tedy khawatir dan tidak membiarkan gadis itu mengemudikan kendaraannya sendirian.

"Sudah siap, Tuan Putri?" goda Tedy sembari membukakan pintu mobil untuk Jeny, saat gadis itu keluar dari rumahnya. Yang langsung dibalas dengan senyuman manja Jeny.

"Apaan sih, norak tau," jawab Jeny saat hendak masuk dalam mobil.

Usai menutup mobil, Tedy menuju kemudinya dan melajukannya perlahan.

"Kamu sudah siap, Jen?" tanya Tedy saat mereka sudah berada dalam mobil. Mencoba membuyarkan kebisuan yang ada di antara mereka.

"Tentu saja, aku sudah mantap setelah memikirkan semuanya dengan matang." Jeny tidak menolak lagi untuk melakukan oprasi pengangkatan tumor yang diidapnya.

"Gitu dong," jawab Tedy semangat. Lelaki itu selalu mengsuport gadis di sampingnya.

"Nanti aku segera uruskan BPJS-nya. Kalok semua sudah selesai Samuel tinggal atur jadwalnya."

"Samuel? Siapa dia, Ted?" tanya Jeny penasaran.

"Dia sahabatku, dokter spesialis penyakit dalam. Seperti hati kamu yang sulit untuk aku taklukkan." Tedy terkekeh melihat ekspresi wajah gadis itu.

"Apaan, sih?" Jeny tersenyum malu.

Meladeni godaan dari Tedy.

Sepanjang perjalanan menuju kantor. Jeny dan Tedy melakukan obrolan ringan, membuat Jeny melupakan tentang penyakit yang dideritanya saat ini.

"Jen!" panggil Tedy saat mobil memasuki halaman kantor, dagunya terangkat menunjuk ke arah Jono.

Jeny mengikuti arah yang Tedy tunjukkan padanya. Dari jauh nampak Jono tengah duduk santai di halaman kantor dengan Seli, kekasih barunya.

"Biarlah, Ted. Aku lebih suka dia seperti itu, dari pada harus melihatnya bersedih karna diriku," ujar Jeny sambil beranjak dari dalam mobil.

"Meski hatimu sakit," celetuk Tedy. Membuat gadis itu berbalik dan menatapnya penuh harap.

Jeny mengangguk lalu berkata, "Meski sakit."

"Kamu memang gadis yang istimewa, Jen. Tidak salah aku memperjuangkanmu selama ini." Tedy bergumam lirih lalu mengikuti langkah Jeny yang mendahuluinya.

***

Jono memperlihatkan ekspresi tidak sukanya melihat Jeny dan Tedy mulai melewati jalan di depannya.

"Lihat, Sayang! Kedua pengkhianat itu sudah datang," ucap Jono seraya melirik ke arah Jeny dan Tedy yang jalan beriringan.

"Ya. Sepasang pengkhianat yang menyedihkan," ejek Seli dengan senyuman sinisnya.

Jeny rasanya ingin membalas perbuatan mereka, tapi dengan cepat Tedy meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat, menguatkan. Membuat Jono semakin meradang melihat keromantisan yang Tedy lakukan pada Jeny.

"Rasakan kamu, Jon. Aku tau amarahmu siap meledak," batin Tedy dengan senyuman yang tak kalah sinisnya.

"Sebenarnya ini apa? Cinta atau hanya pelarian semata?" gerutu Seli saat melihat mimik wajah tegang Jono yang terbakar api cemburu.

Sebenarnya Seli tau tentang semua kekesalan Jono yang terpicu karena cemburu, tapi gadis itu tidak mempermasalahkannya. Yang terpenting Seli sekarang adalah Jono mau menikahinya. Karena dari pertama kali melihat Jono, gadis itu telah jatuh hati pada Jono yang enam tahun lebih tua darinya.

"Rasa cinta akan hadir dengan sendirinya, meski lambat. Namun, aku yakin itu semua akan terjadi bersama berjalannya waktu." batin Seli lagi.

Gadis itu sudah memantapkan hatinya untuk memilih Jono sebagai tambatan hatinya yang terakhir. Meski harus mengorbankan perasaannya.

Waktu pun berlalu. Saat jam makan siang hampir tiba, jam 11 lebih 25 menit. Jeny mendekati Tari sambil membawa map berwarna coklat.

"Tari, tolong handle pekerjaanku, ya? Aku ada perlu sebentar," pinta Jeny pada rekan kerjanya.

Tari mengangguk lalu mengamati berkas yang Jeny berikan padanya.

"Jangan lupa oleh-olehnya."

"Sip." Jeny menyambar tasnya lalu beranjak pergi. Disusul Tedy di belakangnya.

Sementara itu Jono pura-pura sibuk dengan pekerjaannya, lelaki itu hanya melirik saat Jeny keluar melewati meja kerjanya.

Dia sengaja melakukan itu agar Jeny tidak mengetahui tentang perasaannya yang masih sama, mencintai gadis itu.

Saat Tedy dan Jeny sudah menjauh, Jono langsung mendekati Tari lalu berbisik, "Mereka mau ke mana?"

"Aku tidak tau, Bang Jono," jawab Tari seraya melirik ke arah Seli yang tersenyum kecut di seberangnya.

Jono berpikir sesaat sebelum pada akhirnya lelaki itu keluar mengikuti jejak gadis yang dicintainya.

"Mau kemana mereka sebenarnya?" Jono bergumam lirih. Lelaki itu melangkah cepat tidak ingin kehilangan jejak keduanya.

Perlahan Jono menghentikan langkahnya saat dia melihat Jeny tidak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis itu terlihat manis dengan rambut yang tergerai indah, sesekali tangannya menyelipkan rambut yang bergerak liar karena tertiup angin.

"Tuhan ... perasaan apa ini? Kenapa aku masih saja tidak rela melepasnya. Aku semakin menyayanginya." Jono terbuai dengan perasaannya yang galau.

Jeny tiba-tiba mengembangkan senyumnya ke arah Jono. Membuat lelaki itu kelabakan lalu merapikan penampilannya cepat. Jono sangat bersemangat kali ini, senyumnya ikut mengembang seketika kala Jeny melambaikan tangannya.

"Aku tau. Kamu tidak akan bisa berlama-lama jauh dariku, Jeny sayang," ucap Jono percaya diri.

Namun, semua hanya khayalan belaka. Tanpa Jono duga, dari arah yang sama Tedy muncul dan menghampiri gadis itu.

"Sialan! Ternyata senyuman itu bukan untukku," umpat Jono geram. Lelaki itu melayangkan tinjunya ke dinding, merasa kecewa karena dia salah menduga.

Jono menarik tangannya, meninggalkan noda merah pada dinding putih itu. Ya, Jono membuat tangannya terluka.

Melihat mobil Tedy meninggalkan area parkir. Jono langsung menuju mobil BMW merahnya dan mengikuti mobil Avanza putih itu perlahan. Agar tidak ketahuan.

Diliriknya jam di tangan, pukul setengah satu siang. Waktunya istirahat, batin Jono.

Mobil itu terus pun melaju dan berhenti di samping gerbang rumah sakit.

"Kenapa mereka datang ke rumah sakit? Apa yang mereka lakukan di sana?" Jono masih di sisi jalan, enggan masuk. Lelaki itu lantas meraih ponselnya yang terletak di dasbor lalu menghubungi seseorang.

"Hallo!" Tedy mulai menyapa seseorang yang dihubunginya.

("Iya, ada apa, Sayang?")

Sahutan lembut itu tidak jua menggetarkan hati Jono.

"Setahumu. Biasanya orang kalau mau merit itu apa yang musti dilakuin?"

("Kalau aku sih, belanja, perawatan juga lihat film ono-ono biar bisa memuaskan suami") Seli menjawab dengan sangat jujur.

"Gak ada yang lain tah?"

("Apa maksudmu?")

"Ya, memasang alat KB atau sejenisnya."

("Ada.")

"Apa? Buruan," desak Jono tidak sabar.

("Suntik Tetanus, atau sering juga disebut Imunisasi TT.")

Mendengar penuturan Seli, Jono terdiam sejenak. Mematikan ponselnya lalu menyalakan mobil menuju parkiran rumah sakit.

"Aku harus cepat," ujar Jono yang langsung turun dari mobilnya, menuju lobi rumah sakit.

Sementara itu Jeny dan Tedy sudah berada di dalam ruang kerja Dokter Samuel, mereka sudah membuat janji terlebih dulu.

"Siapa ini yang sakit?" tanya dokter tampan yang saat ini masih setia dengan status singlenya.

"Ini temanku Jeny."

"O. Ini bukannya gadis yang kau bawa ke sini beberapa bulan yang lalu?" tanya Dr. Samuel.

"Yep. Dan aku ingin kau memeriksanya lagi, Sam!" Tedy melirik ke arah Samuel.

Samuel mengangguk mendengar permintaan sahabatnya itu. Lalu ia bangkit dan bersiap memeriksa Jeny di ruangannya.

Usai memeriksa Jeny dan Samuel kembali ke tempat duduk masing-masing.

"Apakah Mbak Jeny sudah siap untuk melakukan oprasinya?" tanya Samuel kemudian.

"Saya sudah siap, Dok." Jeny mengangguk pelan, tersirat kesedihan di balik sorot mata indahnya.

Samuel merasa iba melihat gadis di depannya, namun ia pun harus profesional dengan perjanjian itu.

Perjanjian apa? Dan siapa yang membuat janji.

"Sam. Bagaimana keadaannya sekarang," tanya Tedy khawatir. Namun, masih dengan isyarat mata yang tidak disadari gadis itu.

"Kankernya sudah mulai menyebar, dan harus segera diberikan penanganan. Namun, dalam kasus kanker jenis ini, untuk bertahan hidup mungkin sekitar 15-25%. Walaupun sudah menjalani oprasi serta pengobatan lainnya," jelas Samuel seraya membenarkan duduknya.

"Kamu serius, Sam?" Dokter muda itu mengangguk mengiyakan. Tedy mendengarkan dengan seksama, lalu kembali menggerakkan bibirnya. "Separah itukah?"

"Meskipun begitu Mbak Jeny jangan putus asa, tetap semangat. Karena kematian seseorang itu adalah rahasia Tuhan." Samuel menyemangati Jeny yang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Apakah kamu sudah menyiapkan apa yang aku minta kemarin, Tedy Bear?" tanya Samuel membuat Jeny tersenyum geli.

"Dari dulu kamu selalu memanggilku seperti itu, aku malu tauk," protes Tedy sambil melirik ke arah Jeny.

"Santai, Bro," goda Samuel lagi.

"Aku tau kamu tidak ada waktu untuk membuatnya" Samuel menerima berkas yang Tedy berikan padanya seraya menyindir pria di depannya.

"Tolong diusahakan secepatnya, Sam," pinta Tedy sambil meremas jemari gadis di sampingnya. Membuat Jeny menoleh, mendongak ke arahnya.

Sementara Jono di luar merasa putus asa, lelaki itu kehilangan jejak kedua insan yang membuatnya hampir gila. Mondar-mandir tanpa tujuan, gak jelas.

"Ke mana mereka sebenarnya?" Jono sudah bertanya di bagian resepsionis, tapi tidak ada datanya.

"Arrgg! Lebih baik aku tunggu mereka di mobil saja."