webnovel

"Hatiku sakit."

Satu jam yang lalu, saat waktunya makan siang tiba.

Seli merapikan meja kerjanya sebelum berhambur menuju kantin bersama Tari rekan kerjanya.

Gadis berpenampilan modis itu menyambar tas juga plastik berukuran sedang yang berisi bekal makan siangnya. Ia segera menghampiri Tari, menuju kantin.

"Selamat makan!" seru gadis bersurai sepinggang itu.

"Kamu mau pesen apa, Sel? Biar aku pesankan sekalian," tawar Tari pada gadis di sampingnya.

"Orange jus aja."

"Ok. Aku ke sana sebentar, ya?" pamit Tari.

"Sip." jawab Seli seraya memasukkan udang goreng ke mulutnya.

Saat tengah asik mengunyah, Seli dikagetkan dengan suara ponselnya.

"Hallo!" Suara Jono menggema dalam ponselnya. Membuat gadis itu sedikit berjingkat.

"Iya, ada apa, Sayang?" Seli mencoba meguasai emosinya yang hampir membuncah.

"Setahumu. Biasanya orang kalau mau merit itu apa yang musti dilakuin?" Pertanyaan Jono membuat Seli tersenyum girang.

'Apa ini artinya Jono mau melamarku? Secepat inikah? Oh ... Jono, engkau selalu penuh kejutan,' batin Seli gembira.

"Kalau aku sih, belanja, perawatan juga lihat film ono-ono biar bisa memuaskan suami." Seli menjawab dengan sangat jujur.

"Gak ada yang lain tah?"

"Ada."

"Apa? Buruan," desak Jono tidak sabar.

"Suntik Tetanus, atau sering juga disebut Imunisasi TT," jawab Seli dengan senyum lebarnya.

Aku tau, kamu pasti sudah tidak tahan dengan pesonaku, Jono sayang. Siapa yang bisa menolak pesona seorang Seli. Batinnya.

"Ini sungguh kejutan yang luar biasa , Jon." Gadis itu terlihat menunggu jawaban dari kekasihnya, tapi senyap.

"Jon ... Jono!" panggilnya lagi, masih tanpa jawaban.

Dilihatnya tampilan pada layar ponselnya, gelap.

"Ish, gak sopan banget sih, pulang pergi tanpa permisi. Dasar pria segleng," umpat Seli tanpa henti.

"Kamu kenapa, Sel? Kok ngomel sendiri," tanya Tari seraya meletakkan pesanan di atas meja.

"Jono itu loh, bikin napsu makanku hilang."

"Bukannya dia lagi ngikutin Jeny, ya?" Tari mengernyitkan dahinya, penasaran.

"Iya." Seli menjawab lesu, hanya sesekali tangannya membolak balikàn makanan di depannya.

"Emang mereka pergi ke mana?" Seli menaikkan bahunya, tidak tau.

****

Tedy menunggu di dalam mobil dengan perasaan gelisah.

Hatinya terasa perih menanggung rindu akan diri Jeny yang dulu selalu menghabiskan waktu bersamanya.

"Kenapa mereka lama sekali, apa yang mereka lakukan di dalam sana?" Jono mengacak rambutnya asal. Lelaki itu sungguh masih mengharapkan gadis bersurai sebahu itu.

"Sampai kapan aku harus seperti ini, tersiksa karna ulah mereka berdua. Dasar pengkhianat," umpat Jono sambil memukul kemudinya.

Tangan kekarnya meraih benda pipih yang terletak pada dasbor.

Membuka kuncinya, dan menatap lekat pada foto yang memperlihatkan kemesraan keduanya.

"Jeny, andai waktu itu aku tidak memutuskan dirimu. Mungkin saat ini kita masih bersama hingga ...," ucapan Jono terhenti kala ia melihat Jeny dan Tedy keluar dari gedung rumah sakit.

"Ayo, Jen! Tetap semangat. Aku akan selalu ada di sampingmu." Tedy menggenggam tangan gadis di depannya dengan tatapan penuh cinta.

"Thank's, TB," jawab Jeny. Tedy langsung melotot mendengar jawaban gadis itu.

"TB? Apa itu TB, sayang?"

"Tedy Bear," jawab Jeny terkekeh.

"What?" Tedy mengacak rambut gadis itu lalu merengkuh tubuhnya dalam pelukan.

Jono yang melihat adegan itu dari kejauhan langsung mengepalkan tangannya erat, matanya memerah, hingga rahang lelaki itu mengeluarkan suara gemerutuk.

"Dasar pengkhianat. Sia-sia selama ini aku menyimpan cinta ini untukmu," keluh Jono dengan tatapan penuh amarah.

Lelaki itu tidak lagi mengharapkan Jeny, itu katanya, entah dalam hatinya.

Dengan perasaan yang tidak menentu Jono memutar mobilnya lalu melesat meninggalkan area parkir.

"Aku mencintaimu, Jen. Kumohon jangan abaikan perasaanku." Tedy mecium kening gadis itu.

"Tapi aku tidak bisa menerimamu, Ted."

"Kenapa?" Tedy merenggangkan pelukannya. Menatap gadis itu lekat.

"Kamu pasti sudah tau jawabannya." Jeny menunduk lemah. Mengingat akan kondisi dirinya saat ini.

"Aku akan menunggu hingga kamu mampu untuk menerima cintaku."

Tedy lalu menggandeng tangan gadis itu lembut, menuntunnya masuk dalam mobil.

Sementara itu, Jono masih memilah sebentuk cincin indah di salah satu toko perhiasan yang terletak di pusat perbelanjaan.

"Ini pasti cocok untuk wanita itu. Tolong bungkus yang ini"

Jono menyerahkan cincin yang dipegangnya pada pemilik toko.

"Ok. Ada lagi?"

"Sudah cukup itu saja," jawab Jono sambil mengeluarkan uang ratusan beberapa lembar.

Usai menyelesaikan pembayaran lelaki itu kembali melajukan mobil BMW merahnya. Pikiran Jono kacau setelah melihat Jeny dan Tedy kembali berpelukan.

"Jeny. Will you marry me?" Jono berucap seraya berjongkok di samping gadis bersurai sepinggang. Menunjukkan kotak kecil berwarna merah yang terdapat sebuah cincin di sana.

"Maksudmu apa? Aku Seli, Jon. Bukan Jeny," sentak Seli geram. Gadis itu bangkit dengan wajahnya yang merah padam. Seli malu pada semua teman-teman yang berada di situ karena Jono salah menyebut namanya.

Jono bangkit, lelaki itu bingung dengan sikap Seli yang uring-uringan. Bukannya menerima lamaran Jono. Gadis itu malah marah-marah gak jelas.

"Salah aku apa, Sel?"

"Kamu masih tanya salah kamu apa?"

Jono mengangguk pelan, lelaki itu masih belum sadar dengan kesalahannya.

"Kamu menyebut nama gadis itu," jawab Seli ketus.

"Benarkah?" Seli mengangguk.

Jono yang seperti disadarkan dari kesalahannya langsung mencium kening gadis itu. memeluk tubuh mungil itu erat, tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang melihatnya dengan tatapan geli. "Maafkan aku, Sayang," bisiknya mesra seraya mempererat pelukannya.

Suara tepuk tangan yang riuh memenuhi ruangan, menggema hingga membuat Jeny dan Tedy yang baru datang terpanggil, mendekat penasaran.

"Hatiku sakit." Jeny menyentuh dadanya yang terasa nyeri. Ada rasa yang membuncah hebat di sana. Rasa sakit yang tercipta atas kebohongannya sendiri.

Tedy yang melihat berubahan di wajah Jeny langsung menggenggam tangan gadis itu, menguatkan.

"Ayo kita pergi dari sini!" Tedy menarik tangan gadis itu keluar dari kantin.

"Kita ke sana," ajak Tedy yang terus menarik tangan Jeny. Gadis itu pasrah akan jalan cintanya yang semakin menjauh.

"Menangislah!" Tedy memeluk gadis itu erat. Membenamkan wajah Jeny dalam dada bidangnya. Saat mereka sampai di belakang kantin.

Sebentar lagi kamu akan menjadi milikku seutuhnya, Jeny. Batin Tedy tersenyum sumbang.

Kenyataan pahit kini terpampang jelas di depannya. Jono dan Seli kini telah menjalin hubungan yang lebih serius. Hubungan yang sedari dulu ia idamkan.

Cinta memang tidak bisa selalu searah dengan yang kita inginkan. Banyak pengorbanan di dalamnya.

Cinta bilang, kita pasti akan bahagia bila melihat orang yang kita cintai bahagia.

Bohong ...! aku tidak percaya akan hal itu.

Rasa sakit itu pasti ada di balik senyuman yang coba kita kembangkan.

Senyum kesedihan.

Tedy semakin mempererat pelukannya, merasakan hangatnya tubuh gadis itu yang melekat tanpa sekat. Tangan kekar Tedy mulai menelusup masuk ke dalam kemeja putih Jeny. Membuat gadis itu kaget dan mendongakkan wajah sembabnya.