webnovel

bab 2

Siang itu setelah tiba di Raha, Sinta dan Aini segera beristirahat. Ruhi dan Mila segera bermain bersama.

"Syukurlah, kau mau ikut kemari, Aini! Kamu bisa menjaga anak-anak saat kami berdua sedang bekerja." ucap Rehan bahagia.

"Sungguhkah aku tak merepotkan kalian, Kak!" tanya Aini meyakinkan keberadaannya.

Sepasang suami istri itu tersenyum.

"Kau adik kami jadi tak ada yang direpotkan, Aini!" tandas Rehan.

"Terima kasih, Kak!" kata Aini sambil tersenyum bahagia.

Iapun segera merapikan segalanya dan siap untuk memasak makan malam mereka.

"Ibu, apa aku juga akan bersekolah bersama Kakak Mila." tanya Ruhi dengan bergelayut di kaki ibunya.

"Tentu sayang, bukankah kemarin ibu sudah mengatakan padamu." jawab Aini penuh kasih sayang.

"Aku hanya sedikit tidak yakin, Ibu!" ucap Ruhi dengan cengiran yang lucu dan membuat gemas.

Aini mencubit kecil pipi Ruhi sedang gadis kecil itu mengaduh kecil.

"Aduuuh ibu ... Pipiku bukanlah sebuah manisan untuk dicubit" sungut Ruhi.

"Boleh aku bantu mencubitnya, Bibi!" celetuk Mila menimpalinya. Aini tertawa mendengarnya.

"Ckckck ... Kalian suka menggodaku!" oceh Ruhi memanyunkan bibirnya.

"Sudah ... Sudah ... Ayo kalian mandi," pinta Aini dan kedua anak tersebut segera menurutinya.

****

Keesokan paginya Aini mengantar Mila ke sekolah dan akan mendaftarkan Ruhi di sekolah tersebut.

"Sekolah Kakak bagus ya, Bu!" celetuk Ruhi.

"Iya Sayang! Kamu akan betah bila bersekolah di sini!" sahut Aini sambil mengelus rambut anaknya. Ia segera pergi ke ruangan kepala sekolah.

Setelah mendaftarkan Ruhi, seorang guru mengantar gadis cilik itu untuk ke kelas baru dan mengikuti pelajaran hari ini.

"Ibu, aku masuk dulu ya!" ucap Ruhi seraya menggengam tangan ibunya.

"Masuklah ... Jangan nakal ya sayang, turuti apa yang diucapkan oleh gurumu!" tutur Aini dan mencium kening anak semata wayangnya itu.

Ia memberikan senyuman termanisnya untuk Ruhi dan gadis kecil itu segera masuk ke ruangannya.

"Bruuuk ...." saat Aini berbalik seorang anak kecil menabraknya.

"Maaf Tante ... Aku takut terlambat!" ucap anak kecil itu terbata-bata.

"Tidak apa-apa, Sayang! Lain kali hati-hati, Ya!" sahut Aini pelan sambil berjongkok menyamai tinggi anak itu.

Anak itu mengangguk dan tersenyum. Dada Aini berdebar melihat senyum anak itu. Senyumnya mengingatkan pada seseorang yang sampai kini belum mampu di lupakannya.

"Aku pergi, Tante!" anak itu segera berlalu dan meninggalkan Aini yang termanggu.

Aini ingin mencegah kepergian anak itu tapi ia tak mampu, iapun membiarkan anak itu pergi menjauh.

"Siapa anak itu, mengapa mirip sekali dengannya!" bisik hati Aini.

Iapun tak peduli lagi dengan perasaannya dan segera kembali pulang ke rumahnya.

****

Di rumah Ahmar seorang ibu sedang duduk sambil memeriksa semua perhiasannya.

"Kamu akan pergi ke kantor, Mar!" tegurnya saat melihat anaknya telah rapi.

Ahmar hanya berdehem.

Soraya menggeleng pelan. Ia tahu semenjak kehilangan Aini hidup Ahmar tak semangat lagi, meskipun ia telah mencarikan seorang istri yang lebih segalanya dari gadis kampungan tersebut.

"Sampai kapan kau akan seperti ini pada ibumu, Ahmar! Aku adalah wanita yang melahirkanmu, hanya karena wanita kampungan itu kau tak menghormati Ibumu ini!" Soraya tak mampu lagi menahan amarahnya.

"Maaf ibu," Ahmar segera berlalu tanpa memandang wajah ibunya.

"Anak itu, sudah tua tapi masih saja keras kepala!"

Soraya tak peduli lagi, iapun segera memeriksa kembali perhiasannya.

"Aku pergi, Ibu!" seru Aliya sambil berlari menuruni tangga.

"Aliya tunggu ...." cegah Soraya

"Pergilah ke rumah Tasya katakan padanya ibu merindukan dia."

"Mengapa bukan ibu yang mengatakannya sendiri. Aku tak ada waktu untuk ke rumahnya, Ibu! Aku sibuk di kantor." tolak Aliya malas untuk bertemu mantan kakak iparnya itu.

"Kau sama saja dengan Ahmar, selalu menolak keinginanku, sebenarnya kalian ini anak kandungku atau bukan!"

"Baiklah ibu, nanti aku mencobanya!" putus Aliya dengan malas. Ia segera meninggalkan Ibunya agar tak bicara panjang lagi.

"Ibu selalu saja egois! Tak pernah tahu derita anaknya." ketus Aliya pelan.

Aliya menyayangkan sikap Ibunya yang selalu memaksakan kehendak meskipun itu sangat merugikan anaknya. Andai saja Ibu punya sedikit rasa belas kasih mungkin kehidupan Kakaknya tidak hancur seperti sekarang.

Ibunya pikir menikah dengan Tasya adalah pilihan terbaik untuk anaknya. Nyatanya itu tak pernah terjadi bahkan kini Ahmar lebih terpuruk dan menderita.