Dengan raut wajahnya yang terlihat murka, Jefri tampak keluar dari kendaraan roda empatnya yang sudah terparkir. Ia berjalan masuk dan akan mencari keberadaan Wili yang ia sangka tengah bersama Jeni saat ini.
Jefri tampak mengedarkan pandangannya ke sembarang tempat. Ia mencari keberadaan Wili di setiap sudut di restaurant tersebut.
"Mana Wili?" ucapnya bertanya pada diri sendiri dengan pasang manik yang tampak jeli mencari ke setiap sudut.
Sebelumnya, Jefri memang sudah menaruh rasa curiga pada Wili saat melihat ponselnya adiknya itu berdering dengan nama 'pacar' sementara photo yang ditampilkan adalah wajah Jeni, sang mantan istrinya. Jefri yang saat itu menjawab panggilan masuk dari nomor Jeni saat Karin melaporkan keadaan Jeni yang tak sadarkan diri, dia langsung menemui Jeni saat itu di rumahnya dan benar saja dugaannya jika itu adalah Jeni mantan istrinya.
Jefri yang belum mendapatkan kejelasan hubungan mereka sampai saat ini, hari ini bermaksud ingin menemui Jeni dan mempertanyakan perihal itu pada, Jeni. Tentu Jefri ingin mengetahui dengan jelas apa hubungan mantan istrinya itu dengan adik kandungnya.
"Sialan! Dimana, Wili?" geram Jefri setelah ia mengelilingi restaurant namun tak juga mendapatkan hasilnya.
Ia berjalan keluar restaurant dengan perasaan geram dan kecewa karena tidak menemukan,Wili.
'Bisa jadi, Wili memang tidak bersama, Jeni.' Jefri tampak bergumam dalam hatinya.
Namun, sesampainya ia di tempat parkiran, mobil yang disinyalir milik Wili sudah tak nampak di depan matanya. Mobil mewah berwarna hitam itu sudah tak terlihat dan sepertinya memang sudah pergi.
"Sialan! Sejak kapan Wili pergi?" geram Jefri dengan bibir yang terlihat mengerut menagan emosi. Hari ini dadanya cukup panas karena seseorang yang hendak ia temui menjadi terasa sulit. Ia pun memutuskan pergi dari restaurant amerika itu dan melajukan kendaraan roda empatnya menuju kampus, Jeni. Jefri tetap bersi kukuh ingin menemui Jeni dan menanyakan dengan jelas apa hubungan Jeni dan Wili.
Sementara keberadaan Jeni saat ini sudah menuju perjalanan pulang bersama Wili dengan kendaraan roda empat milik Wili. Jeni tampak menghela nafas leganya saat ia telah berhasil kabur dari kejaran Wili lewat pintu belakang.
Beruntung sekali Jeni berada pada posisi dekat kaca sehingga membuatnya bisa melihat dengan jelas ke arah luar. Betapa terkejutnya ia saat meluhat Jefri keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam restaurant. Dengan cepat Jeni segera menarik tangan Wili dan mengajaknya pulang melalui pintu belakang karena makanan yang mereka pesan memang sudah dibayar saat memesan makanan tersebut. Wili yang tampak merasa heran bertanya-tanya dengan penasaran namun Jeni meminta waktu untuk menjelaskannya nanti saat mereka sudah pergi dari restaurant itu. Tanpa bisa menolak, Wili mengikuti maunya Jeni karena ia sangat mencintai wanita berbulu mata lentik dengan wajah oriental itu.
"Kamu belum menjelaskannya sama aku, apa yang terjadi di dalam restaurant tadi? Kenapa kita harus terburu-buru pulang?" tanya Wili sambil terus menyetir mobilnya dengan fokus. Rupanya ia masih penasaran dengan sikap Jeni yang sempat membuatnya curiga.
Jeni tampak tersenyum hambar karena senyumannya kali ini terlalu dibuat-buat.
"Tadi aku melihat seseorang yang membuatku ketakutan. Makanya aku tak bisa berpikir panjang lagi dan ingin segera pergi guna menghindari kejaran orang itu," jawab Jeni terdengar jujur dengan penjelasannya.
Wili tampak menyernyitkan dahi karena terkejut. "Kejaran orang? Memangnya kamu punya masalah apa dengan orang itu?" Wili kembali bertanya. Ia semakin penasaran.
'Aduh, aku harus jawab apa ini? Aku tidak mungkin menjawab jika yang mengejar aku tadi adalah kakaknya, Wili. Ya Tuhan aku belum siap kehilangan, Wili. Aku pun tidak ingin kembali pada Jefri,' resah Jeni dalam hatinya. Ia tampak kebingungan dan membisu dalam beberapa detik.
"Hei! Kenapa diam!" Wili membangun Jeni dari lamunannya.
"Sorry!" sahut Jeni saat ia sadar dari lamunan pendeknya.
Wili kemudian menepikan mobilnya sebelum sampai di rumah Jeni. Ia merasa harus bicara serius terlebih dahulu.
"Ada masalah apa, Jen? Tolong jangan sembunyikan masalah kamu. Siapa yang mengejar kamu tadi? Masalah itu harus di selelesaikan, Jen. Bukan disembunyikan atau malah lari," ucap Wili kembali bertanya sambil memberikan sarannya pada Jeni.
Sungguh membuat hati terenyuh saat mendengarnya. Wili tampak ingin membantu menyelesaikan masalah yang tengah Jeni hadapi saat ini, akan tetapi bagi Jeni posisinya sungguh tidak tepat jika Wili mengetahui masalah yang tengah Jeni hadapi saat ini.
"Maaf, Wil. Aku belum berani menemui orang itu," jawab Jeni beralasan. Ia memang belum memiliki keberanian untuk menghadapi Jefri.
"Siapa orang itu? Ada masalah apa?" Wili kembali bertanya dengan melayangkam tatapan nanarnya penuh selidik.
Jeni mendengus resah. Tentu ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya untuk saat ini.
"Masalah hutang," jawab Jeni suara yang berat. Ia bingung mencari alasan yang tepat dan tiba-tiba saja muncul ideu itu secara tidak sengaja.
"Hutang? Jadi kamu dikejar-kejar penagih hutang?" Wili memastikan.
Jeni hanya mengangguk penuh rasa ragu. Entah kebohongan apa lagi yang harus ia ucapkan nantinya demi menutupi sebuah kebenaran yang terlalu menyakitkan baginya.
"Kalau masalahnya adalah hutang, kenapa harus lari, Jen! Aku bisa membantu kamu agar hidup kamu tenang!" tegas Wili. Sang pewaris kedua itu tentunya memiliki banyak uang untuk sekedar membayar hutang Jeni yang ia kita tak akan banyak.
"Tidak, Wil. Aku bisa menyelesaikannya sendiri kok. Percayalah!" Jeni berusaha meyakinkan kekasihnya.
Wili tampak memiringkan posisi duduknya menghadap ke arah Jeni kemudian kembali bertanya. "Berapa hutang kamu?" Wili bertanya dengan raut wajahnya yang serius tidak main-main.
Jeni menggelengkan kepala. "Cukup besar, Wil. Dan aku akan menyelesaikannya sendiri," jawabnya.
"Dengan berlari seperti tadi? Lari bukanlah cara menyelesaikan masalah," tegas Wili.
"Sekali lagi aku tanya, berapa hutang kamu?" sambungnya.
Jenu hanya terdiam dan membisu. Ia bingung sendiri harus menjawab apa lagi.
"Jawab, Jen! Aku mohon!" tekan Wili.
"Lima ratus juta," jawab Jeni dengan berat hati. Ia terpaksa menutupi satu kebohongan dengan kebohongan yang lainnya.
Wili tampak terkejut mendengar jawaban kekasihnya itu. "Apa!"
Tak pernah ia duga jika sang kekasih telah memiliki hutang yang cukup besar.
"Hutang sebesar itu bekas apa, Jen?" Wili kembali mencari kejelasan.
Sebenarnya Jeni sengaja memberikan jumlah sebesar itu agar Wili tak bisa membayarkan hutang yang jumlahnya cukup besar bagi Jeni.
"Papahku pergi meninggalkan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Sementara kuliahku tetap harus berjalan karena Mamah menginginkan aku menjadi sarjana. Aku kelabakan dan menempuh cara instan dengan meminjam uang." Jeni menjelaskan dengan raut wajahnya yang sedu. Kali ini dia bersedih bukan karena masalah hidupnya, akan tetapi karena harus kembali membohongi lelaki yang baik dan tulus seperti Wili.