webnovel

Gara-gara Film Horor

Setelah melewati drama yang lumayan panjang, akhirnya Alvia, Alva, dan Rania bisa juga masuk ke dalam bioskop dan membaur bersama orang-orang lainnya.

Awalnya Alva memang kembali membuat kehebohan dengan ingin memesan semua tiket untuk mereka bertiga saja agar tidak ada orang lain di dalam bioskop itu saat mereka sedang menonton.

Namun, berkat keras kepala Via dan juga bujukan dari Rania, akhirnya laki-laki itu luluh dan mau mengalah. Hanya saja, tiga baris kursi tetap dikosongkan demi menuruti keinginan si bos yang juga keras kepala dengan keinginannya.

Tapi itu lebih baik dari pada Alva yang ingin membooking full satu bioskop. Setidaknya, ada lembaran rupiah yang berhasil kedua wanita itu selamatkan dari kantong Alva dan tidak terbuang percuma.

Kadang kerempongan Alva ini membuat Alvia tak nyaman bahkan sering dijauhi teman-temannya. Tapi sekali lagi Alva adalah kakaknya dan setiap yang dilakukan lelaki itu selalu ada alasannya.

"Via, kenapa popcorn nya malah di buang?" tanya Rania heran melihat Alvia yang melamun hingga popcorn di tangannya tumpah.

"Astaga, maaf, Kak. Aku enggak fokus," sahut Alvia nyengir memamerkan gigi putihnya.

"Kamu kenapa melamun? Enggak suka sama filmnya atau kamu lagi mikirin gebetan kamu?" tanya Alva terdengar begitu galak.

"Astaga, Kak. Enggaklah. Aku hanya kurang fokus saja. Kakak ini posesif banget," ketus Alvia dengan bibir yang mengerucut.

Namun Alva seakan tidak peduli. Lelaki itu kembali fokus pada film horor di depannya. Ya, Alvia memang memilih film horor yang sedang booming-boomingnya untuk ditonton oleh mereka bertiga. Gadis itu seakan amnesia jika Alva tidak menyukai film horor bahkan tidak akan bisa tidur setelah melihat hantu dalam film seperti itu.

Begitupun saat ini. Alva mati-matian menjaga imagenya di depan Rania dengan menahan ekspresi dan juga teriakan yang mungkin akan lolos dari bibirnya.

Meskipun keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, tapi sebisa mungkin Alva tetap mempertahankan ekspresi nya agar tetap lempeng dan tak menunjukan ketakutan sedikitpun.

Kalau tak ingat ada Rania di sana, mungkin Alva sudah berteriak atau bahkan bersembunyi bak anak kecil. Sayangnya itu tak bisa Alva lakukan. Imagenya sebagai bos perusahaan besar akan langsung ambyar seketika. Bisa-bisa nanti Rania tak akan menghormatinya lagi kalau tahu kelakuan Alva yang memalukan. Tentu saja Alva tak ingin kalau sampai itu terjadi.

Jika Alva sedang menahan rasa takutnya sendirian. Berbeda dengan Rania dan Alvia yang tampak berpelukan saat sosok hantu di layar besar itu muncul. Mereka bebas menjerit tanpa harus menjaga image seperti yang dilakukan Alva.

Curang, memang! Tapi bukan salah kedua wanita itu jika Alva menahan diri. Salahkan saja gengsinya yang terlalu tinggi untuk mengakui kalau laki-laki sekalipun bisa takluk saat melihat film horor.

Adegan demi adegan yang diputar di layar besar itu, membuat semua orang begitu antusias. Antara rasa takut sekaligus penasaran, membaur menjadi satu.

Hingga akhirnya film pun berakhir, membuat semua orang tersenyum puas dengan keapikan sutradara dalam menyajikan film yang benar-benar memukau. Hingga senyum penuh kepuasan tampak terlihat dari wajah setiap penikmatnya.

Namun kepuasan itu jelas tak dirasakan Alva. Laki-laki itu justru keluar dari bioskop dengan wajah pucatnya. Jangankan untuk bersuara, melangkah saja rasanya benar-benar sulit kalau tidak Alva paksakan.

"Kakak, cepat! Katanya tadi enggak boleh lelet," teriak Alvia yang sudah menjauh beberapa langkah dari kakaknya. Bocah itu asik menggandeng Rania dan mengabaikan Alva, yang notabennya adalah kakaknya sendiri.

"Sa-sabar, Via," sahut Alva tergagap.

Rania yang melihat perubahan wajah Alva langsung mengernyit. Jelas sekali lelaki itu sangat pucat dengan keringat yang tampak membasahi pelipisnya.

"Tuan Alva sakit?" tanya Rania memastikan.

Alvia yang mendengar pertanyaan Rania, langsung menoleh ke arah kakaknya. Begitu melihat keadaan sang Kakak, Alvia langsung menepuk kening seolah baru menyadari sesuatu.

"Astaga! Kak Rania aku lupa kalau Kak Alva itu sebenarnya …."

"Aku sedang tidak enak badan. Jadi ayo kita pulang!" potong Alva tak ingin sang adik membocorkan aibnya.

Alvia pun mengerti jika kakaknya tak ingin dia mengatakan tentang Alva yang takut menonton film horor. Jadi, Alvia memilih diam karena tak ingin membuat sang kakak marah padanya.

Sedangkan Rania yang mendengar perkataan Alva, langsung manggut-manggut mengerti. Mereka pun segera berjalan beriringan tanpa ada yang mempertanyakan tentang perubahan Alva saat ini.

"Kak, Kakak akan pulang ke rumah atau ke apartemen?" tanya Alvia bagitu sampai di parkiran.

"Apartemen," jawab Alva singkat.

"Tapi, Kak. Nanti Kakak tidak bisa tidur karena …."

"Ada Rania yang akan membantu Kakak. Kamu pulang saja bersama Mamang. Ingat, jangan bandel dan mampir ke sana sini dulu!" ucap Alva penuh peringatan.

"Baik, Kak," sahut Alvia mengangguk mengerti. "Kak Rania, tolong jaga Kak Alva. Kak Alva suka sulit tidur kalau sedang sakit," pinta Alvia dengan mimik wajah yang dipenuhi rasa khawatir.

Rania refleks menganggukan kepala. Sebenarnya, otak gadis itu belum bisa mencerna dengan baik tentang perkataan sepasang Kakak beradik itu.

"Terimakasih ya, kak. Aku pulang dulu. Kapan-kapan aku ajak Kakak main ke rumah biar ketemu sama Bunda," ucap Alvia dengan senyum yang tampak mengembang.

"Tentu, Via. Terimakasih atas undangannya," sahut Rania balas tersenyum pada Alvia.

Setelah mobil Alvia meluncur meninggalkan mall, barulah Alva dan Rania masuk ke dalam mobil. Laki-laki itu tampak masih sangat tegang seolah masih dikuasai rasa takut.

"Tuan, kalau Anda sangat pusing biar saya saja yang menyetir," tawar Rania takut kalau mereka akan kecelakaan jika Alva tidak fokus karena sakit.

"Aku masih kuat," jawab Alva singkat.

"Anda yakin?" tanya Rania ragu-ragu.

Alva langsung menoleh dengan tatapan yang begitu tajam. Seolah lelaki itu siap menelan Rania bulat-bulat karena terlalu banyak berbicara.

"Maaf, Tuan. Saya hanya takut kalau Tuan tidak fokus karena sakit," ucap Rania gugup ditatap seperti itu oleh Alva.

"Aku tidak akan membawa anak orang kecelakaan," ujar Alva kembali fokus dengan jalanan di depannya.

Rania hanya manggut-manggut mengerti mendengar perkataan Alva. Tak ingin membantah atau pun berdebat dengan Alva lagi. Yang penting, dia sampai dengan selamat ke rumahnya.

"Malam ini kamu tidur di apartemenku," ucap Alva membuat Rania langsung berbalik dengan ekspresi wajah kagetnya.

"Ti-dur di apartemen Tuan?" tanya Rania tergagap.

"Iya, memang kenapa? Apa kamu takut aku menodai kamu kalau kita tidur dalam satu tempat, Hem? Kamu pikir aku berminat pada tubuhmu, begitu? Jangan harap!" ketus Alva yang sepertinya tersinggung dengan kelakuan Rania.

"Bu-bukan seperti itu, Tuan. Saya hanya …."

"Hanya apa?"

"Emm … itu … anu …."