webnovel

Think Hard To Find Another Route

Cemberut di wajahku semakin tercetak jelas. Angan-angan untuk dapat terbebas dan pulang dengan kondisi nyawa masih menyatu dalam tubuh pun, terkikis habis. Aku jadi frustasi sendiri saat para preman ini menyeretku menjauhi jalan raya yang sempat ada di depan mata. "Lepaskan! Lepaskan aku brengsek!" hardikku sekuat tenaga.

"Woo woo tenang nona manis, kita akan bersenang-senang nanti," ujar salah seorang dari mereka.

Sulit tertebak mereka akan membawaku kemana, yang jelas ini masih termasuk area pasar. Karena pemberontakan yang kerap kulakukan, akhirnya si preman kurus yang sebelumnya,kini ikut mencengkram tanganku dengan kuat.

"Ayah tolong Aku..." gumamku demgan manik memejam. Mereka membuatku putus asa sekarang, Sepertinya raga ini serius akan membusuk diantara semak belukar. Selain menahan isakan dan tetap melakukan pemberontakan kecil, aku sungguh menyesal.

Tidak pernah mempelajari taekwondo, serta tidak bisa berkendara dengan benar meski sudah beberapa kali mengikuti kursus mengemudi. Jiwaku lebih heran menyadari langkah para sampah masyarakat ini yang mendadak terhenti.

Kubuka mata perlahan. Kemudian tergemap, dengan adanya sesosok manusia dalam bungkusan oblong putih oversize dan celana training abu-abu yang menghadang langkah kami seadanya. Intinya, seperti tidak menaruh minat sama sekali.

"Woi jangan menghalangi jalan!" teriak si preman bertubuh gempal.

Lelaki itu menunduk sambil menendang batu kerikil di atas tanah kering. Berjalan kaki tanpa beban dan malas, hingga mendekat kemudian menyusupkan pergelangan tangan tegasnya pada kedua sisi saku celana yang ia kenakan.

Sedikit demi sedikit pribadi dengan rambut hitam kelimis itu mendongak. Mataku yang berkedip teratur tiba-tiba membulat sempurna. "Lho! K—kau?" Demi bulan purnama berubah jadi dua, aku tidak percaya astaga! Bagaimana bisa aku melupakan paras itu?

Meskipun situasinya berbeda, bentangan saraf kewarasanku masih sanggup mengingatnya. Untaian makian dari bibir tipis namun tebal di bagian bawahnya itu masih terekam jelas, apa dia kesini untuk menyakitiku juga? Sontak saja salah satu preman dibelakangku ikut berteriak.

"Kau berani menghadang kami semua?" Dih! gendang telinga ku mau pecah rasanya. Ditambah lagi deru nafas yang seperti septictank menggelitik rongga hidung, sepertinya orang ini habis makan siang dengan sepaket bangkai kadal saus asam manis, ditambah dengan segelas air comberan, bau sekali.

Pria yang kuingat bernama Jay ini mengabaikan perkataan para sampah dunia, ia justru berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepala, melihatku. Berkata, "Kau menolak tidur bersamaku, tapi sekarang?" jedanya sebelum menaikan sebelah alis, "Malah mengajak empat pria sekaligus?" Catat! dia terkekeh geli saat mengatakan kalimat terakhir nya padaku. Coba jelaskan bagian mananya yang lucu Jay angin yang menggerakkan layangan diatas langit bersih tanpa awan saja, sampai terkejut dan berputar arah–mendengar celetukannya.

Rugi besar jika aku menaruh harap pada pria sedingin gagang pintu itu. Preman kurus yang menahanku berkata, "Woy. Menyingkir loe!" Jiwaku teraduk sempurna dengan kekecewaan dunia. Sebab beberapa detik sesudahnya, Jay berjalan melewati tubuhku begitu saja.

Tanpa bermaksud menyeret atau menarik lenganku sebagai tindakan penyelamatan atau sejenisnya. "Aku pergi..." lapornya dengan wajah datar. Ada yang retak tapi bukan kaca! Lantas bagaimana sekarang? Kenapa Aku berfikir bahwa Jay itu lebih baik ketimbang para preman ini.

Maka dengan segenap tenaga yang tersisa, kutepis cengkraman tangan yang mengekangku dan menyusul Jay dengan segera. "T—tunggu!" kataku.

"Percuma saja kau minta bantuan padanya, dia tidak akan menolongmu," Kini giliran preman berkepala plontos yang memprovokasi. Ketika aku sudah berhasil di hadapan si Jay, dia satu-satunya harapan dari sekian ratus manusia di dalam pasar yang hanya melihatku tadi.

Ini upaya terakhirku meskipun... sebenarnya merunduk seperti toge layu bukanlah gayaku, lidah kelu, tenggorokan ku sakit oleh tinggi hati yang sedari tadi kubangun kuat-kuat. Namun disisi lain, dia seperti oasis di tengah gurun pasir—harapan satu-satunya.

Terlebih, aku tidak mengenal siapapun di sini. Selain pria yang kini dengan tenangnya, tengah menghirup aroma shampo strawberry milikku di sana. Terlihat dari sebidang dadanya yang bergerak, seolah menyerupai kegiatan mengendus yang tidak kentara.

Setidaknya, aku pernah berpapasan dengannya meski tidak berjalan mulus, aku kenal dia dengan modal sepotong namanya, jadi... baiklah, aku harus meruntuhkan ego lebih dulu, kutarik sedikit tepian kaos di perpotongan pinggangnya, seraya berkata "Tolong aku..."

Tiga detik berlalu, tidak ada jawaban. Aku semakin meremat pakaiannya, karena salah satu preman tersebut ada yang mendekat. Tidak bisa dipungkiri, ini akan sia-sia, karena Jay tidak memberikan jawaban atau harapan apapun.

Kedua lenganku telah melepas kaosnya, berganti merapat pada sisi tubuh. Semuanya berakhir memilukan, apalagi ketika menuduk terlihat. Jika heels boots yang di pakai lusuh dan teramat kotor. Hingga tibalah pada kerjapan mata berikutnya, daguku digapai perlahan guna mendongak melihatnya.

"Aku bantu kau bebas dari mereka. Tapi sebagai gantinya, tidur denganku bagaimana?" dia berbisik sambil menyentuh bibir bawah, sebab sedari tadi kugigit karena gugup. Jay kemudian menarik dirinya menjauh, setelah menyeringai tipis. Tipis sekali.

"Lagi pada bikin drama ya? Kesabaran gue udah habis Dim, bawa cewek itu!" perintah preman berbaju denim robek tersebut. Aku menyerah, sebab dengan entengnya setelah itu sebelah lenganku kembali ditarik preman. Terseret dengan menyedihkan di tajamnya bebatuan.

Dengan kaki yang terseok-seok, tubuhku nyaris saja di gusur paksa untuk melewati gang sempit. Jika Jay tidak cergas menahan tangan si sampah masyarakat ini. Dia memandangku dengan gelisah. "Kaki mu baik-baik saja?" tanyanya tiba-tiba.

Tanpa menunggu responku lagi, dia langsung memelintir lengan preman tersebut ke belakang, hingga cengkraman nya terlepas. Sempat kudengar suara patahan, semoga itu bukan tulang mereka. Ngilu sekali. Jay maju dua langkah untuk menghalangi tubuhku dengan bahu lebarnya.

Melihat para preman itu mulai mendesis seperti ular, geram karena pria berkaus putih ini telah menendang kawannya yang bernama Bim itu, hingga tersungkur beradu mesra karena dengan tanah. "KURANG AJAR KAU!" murka salah satu dari mereka.

Sampai-sampai preman dengan kepala plontos tersebut, meloloskan pukulan, aku gemas! Jay menangkis nya. Kemudian preman berambut reggae, menargetkan punggung Jay dan bugh! Ia memukul bahu Jay hingga membuatnya tertoleh kaget.

Sebelum meluncurkan pukulan bertubi-tubi yang bahkan belum berhasil menumbangkannya juga, sejauh ini. Jay tertawa singkat, kemudian menangkup wajahku untuk sejajar dengan miliknya. Deg! Perasaan versi apa ini?

Jay seakan menghentikan duniaku lewat monolit coklat bulatnya. Seolah-olah telah menularkan banyak kekuatan. "Kau bisa! Dalam hitungan ketiga kita lari okey?" Sensasi hangat saat jemari besar itu menyatu di antara sela jemari, membuatku kesulitan memproses apa yang ia katakan. Iyakan?

"Sialan!" umpat preman gempal di sisi lain.

Selain mengangguk. Tau-tau saat hitungan "dua" sebelum tiga terlontar, kita telah berlari seperti orang kesetanan, meskipun sebenarnya yang mengejar kita masihlah manusia. Aku merasakan rambutku tersapu angin, kulihat sejemang wajah pria disampingku yang memeta jalan dengan cekatan.

Kami berlari ditengah teriknya matahari, kakiku mendadak terasa membara apalagi dengan Jay yang memegang tanganku, sepertinya hatiku juga ikut memanas. Mereka masih mengikuti. "Woi berhenti!" teriak mereka lagi dari belakang sana.

Jay menengok singkat, lalu melempar senyum tidak terartikan saat kita telah melewati beberapa blok perumahan. Suasana cukup lenggang karena katanya, semua yang menghuni daerah ini di dominasi buruh lepas di salah satu perusahaan konveksi milik orang luar.

Beberapa gang berliku, serta dua komplek tanpa pos penjagaan maupun gerbang telah kita lewati. Anehnya, tubuhku jadi lebih bersemangat sekarang. Ini gila dan menyenangkan saat dilakukan, apalagi ancaman yang nyata mengikuti benar-benar membuat adrenalin ku naik.

Mereka masih membuntuti.

Beberapa jalur yang kita ambil, tidak jarang adalah jalan buntu. Hingga Jay berfikir keras mencari rute lain, yang mengharuskan kita berputar arah. Mataku sedikit memicing, dan kakiku sudah gemetaran sekarang. Jantungku terasa diremas dengan kuat.

"Hei! Are you okay?" dia spontan bertanya saat memandangku.