webnovel

People Who Don't Know How To Profit

Aku lantas mengangguk, ini tidak apa-apa, aku masih bisa berlari kencang. Jay mengedarkan pandangan, sebelum tiba-tiba membanting pelan tubuhku di antara tembok besar. Membekap mulutku dan kita bersembunyi secepat kilat di sini. Aku mulai tidak fokus.

Tidak bisa berfikir jernih. Apalagi ketika sebidang dada milik Jay ini mulai mendesak tubuh, menjadi lebih dekat. Memamerkan leher berlapis peluh juga nafas yang sama tidak teraturnya. Hingga beberapa puluh detik berselang, para preman itu kembali melintas. Tepat di jalan di hadapan kami.

Jay melepaskan bekapan sambil menyeka keringat yang ada di pelipisku, dengan punggung tangannya. Kemudian berintruksi dengan menatuh telunjuk di depan bibir. "Ssutt!" Jangan berisik dulu artinya. Aku semakin melemas tolong! Apalagi ketika Jay terus menekan tubuhku tanpa ia sadari.

Terlebih saat preman tersebut masih berkeliling. Belum sepenuhnya pergi, wajahku bisa merasakan panas dari tubuhnya sekarang. Nafas Jay berhembus teratur di atas pucuk kepala, selama lima menit kami begitu. Gila, gigih sekali para preman tersebut dalam mencari.

Setelah merasa mereka pergi, Jay bergegas mengintip sendirian. Kepalanya bergerak lucu dengan senyum yang mengembang, hingga tidak lama kemudian terciptalah acungan ibu jari ke udara. Tidak ada angin maupun badut, kami saling melempar tawa kecil yang entah karena apa.

Sensasinya sama seperti bermain kejar-kejaran di sebuah labirin menurutku, mendebarkan disertai takut-takut karena tidak dapat menemukan jalan keluar. "Ayo kita pergi!" Putus Jay pada akhirnya. Spontan melihat matanya, hingga Jay langsung menyunggingkan senyum.

Meski sekarang luka di lutut terasa amat berdenyut, perih dan sedikit ngilu. Aku tidak mungkin meminta dia untuk menggendong tubuhku. Jangankan berhenti dulu sebentar, sekedar menarik saliva guna meredam lelah ini saja—aku tidak berani.

Yang ada, aku malah menyandang predikat sebagai manusia yang tidak tahu diuntung, dari pria tinggi nan 'rupawan' yang akrab disapa Jay ini. Kepalaku berputar pelan, setelah melamat-lamat apa yang terangkum oleh bentangan kesadaran. "Seingatku, halte-nya tidak sekauh ini?" ungkapku dengan penasaran.

Pribadi berpunggung lebar ini lantas menegok sekilas. Langkahnya terus di pacu dengan ia yang memimpin. "Sesudah ini yah!" jawabnya dengan setengah berlari. Memasuki sebuah gedung berwarna putih, yang setelah kubaca di bagian atasnya tertera nama sebuah apotek.

"Obati luka mu..." kata Jay beberapa menit kemudian, menghampiriku yang sedang terduduk di bangku aluminium panjang—tidak jauh dari toko obat itu. Aku lekas menatap tangannya, yang sedang menenteng plastik putih berlogo 'plus' khas tersebut.

Ternyata punggung tangan pria itu juga terluka, mungkin tergores oleh sesuatu karena perkelahian tadi. Darahnya bahkan membentuk aliran baru sekarang, melewati sela jemari hingga mengotori sudut kuku, mengering di area sana.

"Ambil cepat! Kau mau aku yang mengurusnya?" sergah Jay dengan nada menyebalkan. Membuatku segera menyambar tanpa basi-basi. Sementara ia memposisikan duduk dengan tenang, menyandarkan punggung dan menghela nafas berat, dia menunggu aku menyelesaikan urusan dengan penampilan berantakan ini.

Aku meraih satu lembar tissue basah beraroma tea tree oil, yang bisa konon berfungsi menjadi pembersih sekaligus antiseptik.

Batin ini tidak berhenti bergemuruh penuh antisipasi, sebelum akhirnya berkata logis pada si Jayden ini, "Satu hal tanpa mengurangi rasa terima kasih, aku mengingatkan lagi! Tetap tidak mau tidur denganmu, meskipun kamu telah menolongku..."

Kesibukan ini telah berpindah fokusnya, pada sebotol Betadine sebagai tindakan pencegahan akan infeksi ringan. Jay malah tertawa singkat setelah berdecak tidak percaya, "Keberanian mu mulai kembali lagi, lantas mengapa memintaku untuk membantu tadi?" sindirnya puas.

Aku menaruh kapas bekas pakai dengan cepat. Menjebloskan larutan antiseptik, beserta teman-temannya ke dalam plastik seperti semula. Menengok pribadi yang barusan berbicara, tengah bertopang dagu pada sandaran kursi. "Kalau itu kan bed—"

Jay memotong cepat dengan tegas, "Jangan menggigit bibirmu!" larangan anehnya tersebut, membuatku merotasikan bola mata singkat. Cemberut sejadi-jadinya, karena nada tinggi yang membentak itu, membuatku ingin menggunduli ayam betina yang baru saja lewat..

Main bentak seenak jidat, mengajak tidur perempuan pun sudah seperti membeli gorengan—gampang sekali. Aku merenung sejenak, pohon palem didepan sana seperti mengisyaratkan kalau ada yang lebih tidak beres dengan semua ini. Patut curiga.

"Apa jangan-jangan kau adalah dalangnya? Karena disaat semua orang bersikap acuh, kenapa hanya kamu yang bersedia membantuku?" Aku langsung bercelatuk, ketika kami berhadap-hadapan. Woah! Akal busuk tersebut itu terlambat kusadari, lewat tatapannya yang semakin sangsi.

Mulut pria berambut hitam ini, seketika terbuka tipis. Baru terkatup kembali, saat daun kering jatuh menepi di atas paha atasnya. Wajah yang mendekat itu, membuat kepalaku memundurkan diri secara signifikan. Apa yang akan ia lakukan? Plak! Sedetik kemudian jitakan mendarat tepat di dahiku.

"Aw sakit tahu!" keluhku sebelum membombardir nya dengan realitas yang ada. "Mereka semua memiliki tato—sama kayak kamu lho! Terusan kamu itu tiba-tiba muncul entah dari mana, ketika hidupku udah di ujung tanduk. Segitunya mau meniduri, dengan membuntutiku lebih dulu? Astaga..."

Jay mulai berdesis miris akan semua prasangka yang terbersit di dalam pikiranku. "Otakmu pintar sekali. Ya aku salah satu dari mereka, memangnya kenapa? Apa yang akan kau lakukan?" kini nada bicara Jay lebih sewot, terkesan lebih menantang dari sebelumnya.

Dia juga membelai sekilas puncak kepalaku, hingga ke belakang telinga. "Kau takut?" tanyanya takjub, setelah tahu aku bungkam, karena tidak langsung menjawab apa yang ia ajukan. Entahlah, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa, selain langsung mengambil tangannya dari puncak kepalaku.

"Mau kuobati saja?" tukasku tepat pada binaran matanya. Jay tampak terkejut, dia sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menolak. Karena menurutnya, luka di tangannya nanti juga akan sembuh dengan sendirinya.

"Iya, tapi itu akan lama. Bisa jadi sampai kelak bumi di huni alien lho..." candaku terkesan kering dan tandus karena Jay agak lama untuk meresponnya. Eksentrik sekali, Laura biasanya tertawa, jika aku melontarkan hal receh semacam itu. Pria ini hanya ekspresinya datar-datar saja—seperti tembok.

Jay baru bersedia, mengulurkan punggung tangan cedera tersebut, ketika aku sudah pegal menjulurkan lengan. Dengan berhati-hati ku seka darah disana dengan tissue basah. Tidak ada luka dalam, namun lebam yang disebabkan oleh benda tumpul, dan sedikit goresan seperti memperparah luka tersebut.

Pergerakan kecil akibat hantaran denyut berupa rasa perih dan panas sekaligus, membuatnya meringis dalam diam saat aku menuangkan beberapa tetes obat. "Wuusshh..." Aku merendahkan wajah, guna meniup-niup lengannya tersebut beberapa kali.

Namun mata elangnyanya seakan langsung menikam kuat pergerakanku, hingga membeku. Serius, ini bukan ajang cari perhatian dan sebagainya. Aku murni berterima kasih pada Jay karena telah menolongku, sambil menjauhkan diri saat semuanya terselimuti hening.

Tidak berselang lama setelah itu, tiba-tiba saja si Jay ini bangkit dari duduk jadi berdiri. "Aku antar sampai halte!" katanya sambil kembali berjalan di depan. Waktu terkuras sepuluh menit untuk sampai kesana via berjalan santai. "Terima kasih..." tandasku dengan tulus.

"Ya!" singkatnya kemudian berbalik badan, mungkin beranjak pergi. Akan tetapi, hujan gerimis turun lebih cepat di bandingkan langkah panjang yang sudah di buat si Jay ini. Mau tidak mau memaksa, pribadi tinggi tersebut mundur dan berteduh bersamaku di bawah naungan halte, yang didominasi warna biru muda.

"Kutemani sampai busnya datang..." Jay melirih dengan tangan yang terlipat silang di depan dada. Rintik hujan menyerbu jalanan yang semula kering, suara yang konon dapat merilekskan pikiran ini bersahut-sahutan satu sama lain dengan teratur.

Tidak ada guntur maupun kilat pengirim tegang, mendadak membuatku menarik senyum tipis lalu memecahkan hening hingga membuatnya melihatku lebih dalam sekarang. "Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Heranku ketika tanpa sengaja memergokinya menatapku.

"Kau mengganggu pikiranku," balasnya dengan intonasi sedatar papan. Aku? Setelah ditelisik lebih lanjut ternyata Jay ini menyesalkan, kejadian di kedai beberapa waktu lalu.

Intinya dia meminta maaf untuk itu, semua yang kutuntut habis-habisan tempo lalu—lunas pada hari ini. Ternyata para preman tadi merupakan penguasa daerah sini, meskipun yang aktif bukan hanya empat orang. Tapi sejauh ini, belum pernah ada yang berani melawan atau melakukan pemberontakan pada kelompok itu.

"Lantas kenapa kamu mau menolongku?" Mendadak hatiku seakan melambung tinggi, dengan bentangan sayap yang nyaris menabrak langit. Namun setelahnya langsung terperosok cepat hingga inti bumi, Jay ternyata di tekan untuk menolongku, oleh neneknya yang samar melihatku diseret.

"Ia juga yang memaksaku untuk membantumu. Tas nya akan ku kembalikan nanti, sepertinya nenek membawanya pulang," ujaran beberapa kalimat terakhirnya membuatku sadar, bahwa aku meninggalkan kopiku sejak tadi. Pantas tadi aku sempat merasa ada yang hilang, namun entah apa.

Aku sedang membuang pandangan, jauh pada jalanan yang begitu panjang di depan sana. Kakiku bergerak-gerak antusias, karena hujan ini adalah pertama kalinya di bulan September. Hingga tiba-tiba saja Jay bercelatuk, "Aku ingin memulainya dari awal..."

"Maksudmu?" Dahiku mengernyit tidak paham, mencari tahu bahwa pendengaran ini tidak tersumbat oleh daun pisang atau semacamnya, dengan langsung menengok ke samping. Tepat di mana pribadi itu jiga sedang menatapku tidak kalah serius.

Jay lantas mengayunkan lengannya dengan bangga sebelum akhirnya berkata, "Semacam membuka lembaran baru, dengan perkenalan yang lebih manusiawi mungkin?" koreksinya hati-hati, diiringi senyum simpul yang tidak berlebihan.

Mataku membola dalam keteduhan, menjabat tangannya dengan ukiran senyum yang sama hangatnya. Jay terasa mengelus sedikit sela jemariku dengan ibu jari hangat tersebut, "Aku Jayden!" balasnya bersemangat, sebelum mulai bercerita bahwa sebenarnya ia tadi takut sekali dengan laba-laba.

Woah! Sejak saat itu tawa kami pecah begitu saja, sebelum dering telepon menyahut di tengah hujan yang semakin deras. Aku menaikan sebelah alis dengan tajam karena Jayden menyunggingkan senyum sambil merogoh sakunya. "Hari ini Aku benar-benar sibuk." jawabnya.

Memutuskan panggilan sepihak tanpa untaian kata untuk berpamitan, Jayden memasukan kembali benda pipih itu tenggelam di saku celana olahraga. Dia memutar-mutar lengan kirinya yang sudah terbungkus oleh kain kasa, lantas merotasikan bola matanya kearahku—tanpa bicara.

Satu jam berselang begitu saja, hanya itu yang kami lakukan karena bus yang tidak kunjung datang dan jatuhan hujan dari langit belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Jayden terus menatapku lekat, kemudian memecahkan keheningan ketika mulutnya berkata,

"Kurasa kau bisa menghangatkanku Kamila..."