Cherry masih tertunduk di sebuah kursi di salah satu tempat makan di dalam pusat perbelanjaan. Dia enggan pulang atau beranjak dari tempat itu. Kini, suasana hatinya begitu kacau. Bukan hanya perasaannya saja, tapi, kesehatannya pun benar-benar sedang tidak dalam kondisi baik. Ragu antara menghapus dendamnya atau segera membalaskannya agar segera selesai. Tanpa ia sadari meleleh darah merah kehitaman dari hidungnya. Mengucur deras. Bahkan seumur hidupnya, baru kali ini ia mengalami yang namanya hidung mimisan. Tentu saja Cherry panik setengah mati. Tak tega, Bia keluar dari biliknya bersembunyi.
"Cherr ... !" Bia segera memberikan sapu tangannya dan menyumpalkan ke hidung Cherry.
Cherry yang sedang sibuk mencari-cari tisu dari dalam tasnya merasa kaget dengan kehadiran Bia yang begitu tiba-tiba.
"Bia ... lo kok masih disini?" tanya Cherry.
"Iya, barang gue ketinggalan." Bia berdalih.
"Gue berdarah," jelas Cherry.
"Iya gue tau, ini namanya mimisan. Lo baru pertama kali mimisan ya? Baju lo deh liat!"
Cherry tambah panik, melihat bajunya yang sudah berdarah-darah.
"Yah ... gimana Bi. Masa gue pulang pakai baju begini?"
"Yaudah ... lo pake hoodie gue mau?"
Cherry mengangguk. Bia membantu Cherry memakai hoodie hitam miliknya. Senang dalam hatinya.
"Gue selalu suka dengan sikap lo yang lemah begini, Cher!" batinnya.
"Aduh!"
Cherry tidak bisa bangun. Badannya terasa sangat lemas. Bia berinisiatif menggendongnya.
"Eh ... ngapain lo?"
"Lo mau disini sampai kapan?"
"Ya ...."
"Udah buruan, lo tuh ga berdaya!"
Bia membopong Cherry di depan. Tapi, Cherry meronta, meminta turun.
"Bia! Turunin gue, malu tau!"
"Yaudah ... coba jalan!"
Cherry mencobanya, tapi gagal.
"Tuh, masih mau nolak bantuan gue?"
"Iya, tapi di belakang aja, gue malu diliatin banyak orang!"
"Iya! Cepetan!"
Cherry naik ke punggung Bia. Ah, sudah pasti romantis! Tapi, bukan keromantisan yang Cherry rasakan. Dia semakin mempunyai peluang untuk menyakiti Bia dengan caranya. Sebuah rencana balas dendamkah?
"Bia ... lo bener-bener ga mau cerein gue aja?"
"Kenapa?"
"Lo harus cerein gue, sebelum --"
"Kenapa harus? Sebelum apa?"
Cherry tidak perlu menjawab atau melanjutkan kata-katanya. Ia hanya akan melakukan apa yang ia inginkan. Sebenarnya, Cherry tidak benar-benar ingin menyakiti fisik Bia, hanya saja, karena tubuh Cherry bukanlah pemilik satu-satunya atas raganya, jadilah ia menjadi wanita monster yang bisa melakukan sesuatu di luar nalar.
"Hahaha ...." Cherry tertawa lebar.
Langkah Bia menjadi sangat berat. Tubuh Cherry tiba-tiba terasa berat berkali-kali lipat. Mereka jatuh bersamaan. Berguling di atas tangga berjalan dalam sebuah pusat perbelanjaan. Mencuri perhatian setiap pengunjung. Cherry hanya meringis dalam diamnya. Sementara Bia, mungkin kepalanya kena benturan hingga ia kehilangan kesadaran. Cherry tidak berbuat apapun untuk menolongnya atau menolong dirinya. Dirinya pun terlihat begitu penuh belas kasihan. Dengan bekas darah yang masih tersisa, ternyata mampu membuat hati seseorang bergerak memanggil pertolongan. Sebuah ambulan sudah menunggu mereka di pintu utama bangunan. Jalur evakuasi tiba-tiba dikerumuni orang. Semua menatap Cherry dan Bia dengan nanar.
"Astaga ... kenapa mereka? Kasian sekali! Apa dia masih hidup?"
Begitu kira-kira pertanyaan dari kebanyakan orang. Tidak ada yang bisa memberitau kejadian apa yang sebenarnya terjadi. Memang, semua terjadi begitu cepat. Bahkan, Cherry pun tak bisa mengingat sejak menit keberapa ia memulai menjalankan rencananya. Semua CCTV mendadak rusak.
"Cher ...!" bisik Bia tidak berdaya.
Rupanya, Cherry juga terbaring lemah di ranjang sebelah Bia. Hidungnya masih saja mengeluarkan darah. Bukan mimisan biasa rupanya.
"Hmmm ...."
Meski matanya terpejam, ia tidak tidur. Cherry bisa mendengar Bia dengan jelas.
"Cher?" panggil Bia sekali lagi.
Kali ini, Cherry terpaksa menoleh ke arah Bia. Bia tampak kesakitan menahan nyeri di kepalanya. Kepalanya di perban.
"Apa?" tanya Cherry.
"Maafin gue, seharusnya ...."
"Ga ada seharusnya, semuanya terjadi begitu aja. Lo ga perlu ngomong apa pun. Oh iya, ponsel lo tadi bunyi terus."
"Siapa?"
"Papi, manusia yang paling menyayangi lo di dunia ini. Ga ada yang lebih mencintai lo selain Papi." Jawaban Cherry terdengar sedikit ketus.
"Ng--"
"Dan gue benci liat lo sama papi sedekat itu. Gue benci papi ngasih perhatian lebih ke lo dari pada gue. Mana pernah dia sekhawatir ini mendengar gue yang sakit. Giliran denger lo masuk rumah sakit, udah kayak orang kebakaran jenggot. Bentar lagi papi juga sampe sini. Gue jamin, orang yang pertama kali dia temui adalah elo, bukan gue!"
"Tapi Cherr ... gue ga pernah bermaksud ngerebut perhatian papi dari lo. Itu semua di luar kuasa gue. Itu murni kemauan papi. Gue ga pernah nuntut perhatian atau apa pun dari papi."
"Lah ... udahlah Bia. Gue capek banget berdebat soal beginian. Sampai kapan pun, lo jadi pemenang atas diri papi. Gue ga akan pernah bisa menggantikan kebaikan lo di mata papi."
"Ga gitu. Bukan begitu maksud gue. G-gue ...."
Tok ... tok ... tok ....
Wilson datang tanpa istrinya. Benar dugaan Cherry. Ada dua ranjang yang saling berdekatan di ruangan itu. Dan Wilson lebih dulu menghampiri Bia daripada Cherry. Wilson memberikan pelukan dan sentuhan hangat pada Bia.
"Lo pemenangnya!" kata Cherry tiba-tiba. Dia tertawa terbahak-bahak, membuat Wilson segera tersadar bahwa ada satu lagi, manusia yang harus ia temui dan ia tanyakan keadaannya.
"Cher ... kamu mimisan?" tanya Wilson yang akhirnya panik setelah melihat darah yang masih terus menetes dari hidung Cherry.
"Ini ga lebih sakit dari hati Cherry, Pi!" jawab Cherry sekenanya.
"Maksud kamu apa?"
Bia memberikan sebuah kode kepada Wilson untuk menghampiri anak perempuannya. Untungnya, Wilson cepat tanggap denga kode tersebut. Papi mengusap rambut Cherry dan menyibakannya ke belakang agar tidak semakin terkena darah yang terus keluar.
"Apa kata dokter tentang mimisanmu ini?"
"Ga apa-apa. Sebentar lagi juga berhenti."
"Kenapa kamu mimisan? Sebelumnya kamu ga pernah loh!"
"Aku sempat pusing sebelum ini."
Wilson mengangguk-angguk. Apa pertanyaannya hanya sebatas basa-basi saja?
Dokter masuk. Memberi penjelasan tentang keadaan Cherry dan Bia.
"Cherry mengalami pendarahan di hidungnya. Beberapa pembuluh darahnya pecah, tidak berbahaya kalau segera berhenti. Sementara Bia, dia mengalami sedikit benturan di kepala belakangnya. Dia akan sering mengalami nyeri bahkan mungkin akan muntah. Itu efek dari benturan tadi. Saya sarankan untuk ceck up lebih lanjut jika gejalanya semakin parah," jelas dokter.
Setelah dokter pergi, Papi duduk diantara ranjang Cherry dan Bia. Sudah pasti ia lebih mengkhawatirkan kondisi Bia. Terlihat jelas dari raut wajahnya.
"Mami mana, Pi?"
"Ada di mobil. Mami ga mau turun. Sejak tadi pergi, Mamimu bersikap aneh. Ga mau ngomong," jelas Wilson.
Cherry terpejam dan memegangi kepalanya beberapa saat.
"Pi ... cepat ke mobil. Ma-Mami ...!"
"Mami kenapa?"
"Udah cepetan!"
Meski Wilson tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi ia menuruti kemauan Cherry.
"Kenapa Cher? Kamu liat sesuatu lagi ya?" tanya Bia.
"Iya."
Sedikit banyak, Bia sudah bisa menebak gerakan fisik Cherry. Dia benar-benar belajar memahami Cherry.