Di sisi lain, tepatnya di sebuah karaoke malam, orang-orang itu rupanya ada di sana, mereka sedang menikmati malam mereka dengan tertawa dan saling membelai dengan lelaki mereka.
Namun ada yang masuk, yakni Chandrea membuat mereka terkejut. "Hei!! Kenapa kau ada di sini?!" wanita itu menatap berteriak, tapi siapa sangka, Chandrea langsung menamparnya membuatnya terjatuh.
"Sialan, pergi kau!!" lalu salah satu wanita akan menyerang, tapi Chandrea menamparnya juga menarik rambutnya ke belakang.
"Aaaaaaaaaaaaahh!" itu pasti sangat sakit, bahkan kepalanya beberapa kali sengaja di goyang-goyangkan dengan rambut yang di pegang, hingga terjatuh, tak sampai sana, Chandrea menaikinya dan menamparnya beberapa kali dengan wajah yang sangat kesal.
"Hoi, sialan!!" lelaki di sana langsung akan memukul tapi Chandrea menamparnya duluan bahkan dia langsung mengambil sebuah mic karaoke, dia tak ada ragu-ragunya memukul kepala lelaki itu dengan mic karaoke membuat darah dan terciprat kemana mana. Itu adalah darah pertama yang muncul di antara kesenangan mereka itu.
"Akh.... aaa.... Ahhh!!!" semuanya berteriak, tapi yang di sana tak akan selamat. Mereka semua dikalahkan, tapi salah satu wanita yang tadinya terlalu banyak menindas Xela, tak sampai sana penderitaan nya dari Chandrea, dia menarik kepala wanita itu dan menyeretnya untuk duduk di kursi lipat.
"Apa yang kau lakukan!! Apa yang kau lakukan!! Lepaskan aku sialan!!"
"Diaaammm!!!" Chandrea bahkan langsung menyela membuatnya terdiam ketakutan, Chandrea juga mengikat tangan nya maupun kakinya ke belakang.
"Tidak... Tidak... Aku mohon... Jangan...!!" wanita itu memohon dengan gemetar, tapi Chandrea mendadak memegang kedua pipinya dengan satu tangan nya untuk memprovokasinya. "Penindas tak pernah selamat... Pilihlah pilihan mu, meminta maaf padanya, atau keluar dari kampus..." Chandrea menatap tajam.
Dengan masih berani, dia melawan Chandrea. "Siapa yang mau minta maaf dengan gadis rendahan itu!!"
"Kalau begitu, keluar dari sekolah," kata Chandrea, dia berbalik akan pergi, tapi siapa sangka, dia menoleh ke wanita itu dan berlari ke arahnya untuk menendang dadanya membuat wanita itu terjatuh beserta kursinya.
"Ah... utk!! Cough!!"
Tentu saja tak sampai sana, Chandrea mengambil sebuah palu dari mantel hitam yang ia pakai, dan sekarang ia tampak memegang palu itu dengan erat.
"Tidak.... Tidak.... Aku mohon.... Tidak..." wanita itu memohon, tapi mendadak Chandrea memukul kakinya hingga itu benar-benar mematahkan pergelangan kakinya.
"Akhhh!!!! Sakit!!! Ahhh!!!" ia berteriak menangis. Semuanya juga yang masih bisa membuka mata menjadi ketakutan melihat itu, sekarang nyali mereka jadi kecil.
Tak hanya satu kaki melainkan semua nya, kedua nya patah, membuat suara yang sangat terdengar, hingga Chandrea menyimpan kembali palunya. Kemudian dia berjalan pergi dari tempat tersebut.
Masih di malam itu, tepatnya di rumah sakit, Xela masih berjaga duduk di ranjang nya meratapi nasibnya.
"(Aku ingin cepat mati saja kalau begitu, kenapa aku tak bisa memukul mereka sekali saja... Paling tidak ini seimbang....)" pikirnya dengan putus asa tapi ia mendengar ada suara masuk, yakni dua orang wanita dengan wajah babak belurnya datang mendekat ke Xela yang terdiam menatapnya.
Mereka mewakili semua yang menindas dan mereka meminta maaf. "Maafkan kami..."
Xela yang mendengar itu menjadi kesal, dia bahkan langsung turun dari ranjang perlahan dan mendekat ke mereka, mengangkat tangan nya dan langsung menampar salah satu dari mereka membuat nya terkejut memegang pipinya, Xela tak peduli dia menampar membuat selang cairan nya bergerak, yang penting dia sudah menampar mereka berdua.
"Kalian pikir hidup seperti ini enak... Kalian beruntung karena kalian tidak mendapatkan pembalasan dari ku, kalian tak akan pernah melihat ku lagi... Pergi!!" teriak Xela, lalu mereka pergi dengan masih memegang pipi mereka. Setelah itu Xela menangis dan di samping pintu ruangan nya, tepatnya di luar, Chandrea bersandar di dinding mendengarkan nya menangis.
"Paling tidak, kamu bisa tenang...."
Sementara Xela masih ada di rumah sakit hingga saat ini, dia bahkan masih sendirian. Lalu tak lama kemudian ada yang membuka pintu yakni Marito yang melihat Xela duduk menatap jendela ruangan itu dan masih berada di atas ranjang.
"Bagaimana perasaanmu?" tatapnya yang langsung duduk di samping Xela dengan kursi yang telah di sediakan.
"Aku merasa buruk, sangat buruk sekali…" balas Xela membuat Marito menghela napas merasa iba.
"Dengar Xela, aku memang bukan sosok orang tua yang begitu bertanggung jawab, aku tidak pernah mengerti bagaimana cara memahami perasaan anak-anak ku, seharusnya ibumu menyesal menikah dengan ku, tapi selama aku hidup dengan nya, dia tak pernah kehilangan senyuman nya yang ramah, mengingat kau yang selalu gampang di tindas, ibumu malah pergi dari sini… Apa kau tak pernah mau mengubah jati dirimu? Kau harus bisa melawan mereka…" tatap Marito.
Perkataan itu membuat Xela terdiam, lalu membuang wajahnya. "Ayah, kau harus mengerti, bagaimana kau di posisiku, aku sudah tak bisa lagi merasakan pergaulan yang begitu baik, aku sudah terlalu banyak tertekan dalam sosialitas, yang aku inginkan dari dulu, selama kau menjadi polisi, kau bisa membela ku di depan mereka, paling tidak biarkan aku gunakan pangkatmu untuk melindungi diriku,"
"Lantas, kenapa kau tidak mau mengakuinya? Kau bahkan tidak pernah melaporkan hal ini pada gurumu…"
". . . Semenjak ibu meninggal karena penyakit yang di deritanya, aku menjadi mengerti bahwa cepat atau lambat, aku juga akan sepertinya, jadi, aku tak mau membuang waktuku untuk mengakui siapa Ayahku, mengakui apa yang akan terjadi padaku, itu hanyalah akan menambah beban hidup ku… Apalagi nama Ayah akan tercoreng…"
"Xela, pembelaan diri itu penting, kau seharusnya tahu akan hal itu, karena kau tak mau mengakui nama Ayahmu ini, sekarang lihatlah, aku sudah tak punya pangkat apapun dan tak ada yang mau membelamu, untung nya ada Chandrea, kebetulan aku mengenalnya dari saat dia masih kecil…" kata Marito seketika Xela menatap tak percaya.
"Kenapa Ayah kenal dia? Bagaimana dia dulunya?"
"Ceritanya agak aneh karena dia dulu hanyalah gadis gelandangan, kalau aku bisa jujur, dia hampir sama sepertimu, dia tampak lemah tapi aku mengerti perkataan nya ketika dia mengatakan bahwa dia tak suka di asuh, itu artinya dia adalah sosok yang sudah mengalami broken home, orang tuanya mungkin tak mau mengurusinya dan aku masih bertanya tanya, bagaimana dia bisa berakhir seperti ini, aku juga terkejut dia melampui kemampuan lelaki maupun pria, meskipun dia sekarang cantik, tapi dia benar-benar bisa membela dirinya, aku salut akan hal itu,"
"Jadi, dia dulunya lebih parah, dia sudah dari lahir tertekan, tapi, di antara masa lalunya yang pahit, kenapa dia selalu tertawa dengan gembira?"
Di tengah hal itu, ada perawat yang masuk. "Permisi, kamu bisa pulang sekarang, kondisimu sudah sangat baik," tatapnya hingga kemudian mereka berdua pulang.
Tapi Xela masih terdiam, dia bahkan ada di ranjang kamarnya, mengingat dia pernah mengobrak abrik kamarnya yang sudah rapi sekarang dan dia tahu yang melakukan nya adalah Marito.
"Kenapa merapikan nya lagi, aku sudah hampir pergi, dan sekarang, badan ku tidak enak…" ia mulai berbaring lemas.
Sementara itu Chandrea duduk di samping ranjang kamarnya sambil menatap ke bawah, tatapan nya sangat serius dan tak ada lagi wajah kesenangan maupun tawa gila khas nya setelah dia terakhir kali menghabisi mereka semua yang mengganggu Xela dan berhasil membuat mereka minta maaf dan juga mengeluarkan mereka dari kampus, kemudian dia berdiri dan berjalan ke sebuah lemari yang ada di hadapan nya tadi.
Dia akan membuka lemari itu tapi Jangmi memanggil dan masuk ke kamarnya. "Chandrea…" panggilnya tapi ia terdiam melihat Chandrea yang berhenti membuka lemari itu.
Apalagi dia melirik pada Jangmi membuat Jangmi agak ragu untuk mengatakan sesuatu padanya.
"Um… Aku sudah memesan seafood, maukah kamu makan bersamaku?" tatapnya.
"Tentu…" Chandrea mengubah ekspresinya dengan tersenyum kecil layaknya dia merubah sikapnya hingga tak jadi membuka lemari itu dan memilih untuk keluar dari kamar untuk makan bersama Jangmi.
Ketika di meja makan, mereka menikmati makan mereka, awalnnya mereka hanya saling diam tapi Jangmi memulai pembicaraan. "Hei, Chandrea, sebenarnya apa yang terjadi padamu? Apa kamu baik-baik saja? Apakah ada suatu hal yang terjadi, tolonglah, paling tidak ceritakan padaku…" Jangmi menatap memohon.
Mendengar hal itu membuat Chandrea terdiam sebentar kemudian menghela napas panjang.
"Ini hanyalah soal teman kampus, dia menderita kanker, dan hidupnya tak lama lagi, karena dia akan pergi, kedepan nya aku akan merasa bosan jika di kampus," balas Chandrea dengan kecewa.
"Ah soal itu… eh tunggu, dia akan, mati? Hm… kanker memang tidak bisa di sembuhkan, tapi kalau soal kampusmu, lebih baik kau keluar saja dari kampus dan mulai fokus pada Jalanan Sang Ratu, apa kau tidak menyadari, akhir-akhir ini kau jadi sibuk untuk ke Jalanan Sang Ratu, banyak pemberontakan dan kamu harus mengalahkan mereka," tatap Jangmi.
"Yah, mungkin memang benar," Chandrea tersenyum kecil setuju dengan perkataan Jangmi.
***
Ini sudah ada satu bulan dimana Chandrea di kenal sebagai seseorang yang tak mudah di dekati bagi para lelaki di kampus, bahkan rumor mulai bermunculan soal betapa mengerikan nya Chandrea. Tapi sekalipun, dia tak pernah berurusan dengan dosen-dosen di sana yang di kenal sebagai banyaknya dosen dingin yang tak peduli pada kondisi mahasiswa maupun mahasisiwi di sana. Dia benar-benar tak bisa diam jika harus di ganggu orang.
Kali ini dia memutuskan untuk ke kampus menemani Xela. Karena sebelumnya, Xela mengatakan ingin ke kampus untuk terakhir kalinya.
"Aku ingin ke kampus lagi, untuk terakhir kalinya."
"Tapi, apakah kondisimu baik-baik saja?"
"Ini hanya untuk menjadi terakhir kali," balasnya, sebenarnya gadis culun itu memiliki kemampuan luar biasa, yakni tidak menyerah pada keadaan meskipun dia banyak mengeluh, sekarang dia ingin Chandrea juga ke kampus meskipun dia tidak melihat chandrea ada di bus kampus.