Mulut Mia tanpa sadar berkedut, dan dia yakin Petra tahu bahwa dialah yang berciuman dengan Wira saat itu...
...tapi dia tidak tahu apakah Petra tahu bahwa pria itu adalah keponakannya.
Hatinya bimbang. Mia berpikir Petra mungkin saja tidak tahu. Kalau Petra tahu istri dan keponakannya berciuman di tempat umum, Petra pastilah kaget.
"Sombong sekali…." gumam Mia, terlihat manis dan manja. "Hanya orang-orang alim yang boleh pegang kuasa. Orang biasa tidak boleh."
Tatapan Petra semakin dalam, dan dia tidak mendengarkan apa yang dikatakan Mia. Tidak sulit menerka apa yang dipikirkannya tanpa berpikir panjang.
"Mia, aku tidak pernah bermain dengan wanita lain selama pernikahanku…." Petra tampak pasrah ketika mengatakannya.
"Hah?" Mia tidak mendengar dengan jelas karena tenggelam dalam pikirannya. Dia mendongak menatap Petra dengan polos dan berbinar, menunggunya mengulang perkataannya.
Namun, Petra sama sekali tidak peduli padanya dan hanya berbalik dan turun dari tempat tidur, dengan murah hati membiarkan Mia melihat punggungnya yang sempurna tanpa busana, lalu pergi ke kamar mandi.
Sayangnya, meskipun mereka sudah lama menjadi suami istri, Mia masih malu ketika melihat sosok yang begitu indah!
Meski begitu, setelah menikmati pemandangan yang indah, sayangnya Mia mendapati bahwa pergelangan kakinya yang belum sepenuhnya sembuh mulai sakit lagi…. Bagaimana ini? Dia terkadang bersikap sangat keras kepala pada diri sendiri.
Di tengah malam, Mia sedikit haus. Dia ingin menahannya sampai fajar, tetapi akhirnya, entah kenapa, tenggorokannya seperti terbakar. Dia pun hanya bisa bangun untuk minum.
Mia mencoba sebisa mungkin untuk membuat gerakannya lebih ringan, dan tidak berani menyalakan lampu.
Ketika turun ke lantai, kakinya membeku, dan terdengar bunyi tertekuk di kakinya. Rasa kebasnya membuat betis Mia tiba-tiba mengalami kram. Lalu berikutnya, dia terjatuh.
Meski begitu, dengan refleks, Mia ingin bertumpu pada nakas, tetapi siapa sangka, tangannya justru menarik kabel lampu, dan lampu itu seketika terjatuh berkat tarikan tangannya.
"Ah…." Mia yang kesakitan meratap, punggungnya tertimpa lampu dan seisi wajahnya tertekuk kesakitan.
Mendengar suara yang nyaring itu, Petra terbangun. Dia menyalakan lampu di sisi lain tempat tidur dan berbalik, melihat lampu di sisi lainnya terjatuh mengenai Mia yang teruduk di bawah.
Wajahnya agak murung ketika berbalik. Setelah bangun dari tempat tidur, Petra melangkah menghampiri Mia dan berjongkok tanpa berkata apa-apa. Dengan bibir terkatup rapat, dia memeriksa punggung Mia… yang sudah memerah!
"Mia, kamu ini anak kecil? Kenapa kamu bisa jatuh saat berjalan?" Petra tampak cemas, lalu merangkul Mia dalam pelukannya.
Mia ikut merasa sakit. Dia sebelumnya baik-baik saja, namun tiba-tiba merasa sakit mendengar suara Petra.
"Kenapa kamu tidak menyalakan lampu?" Wajah Petra masih dingin.
Mia berkata dengan suara pelan, "Aku takut mengganggu tidurmu…."
Petra mendongak, melihat kesedihan di mata Mia. Selama sesaat, dia merasa seolah-olah ada suatu perasaan di dalam hatinya, tapi dia sempat menerkanya sebelum perasaan itu kembali padam.
"Aku tidak berdiri dengan benar, dan terlalu canggung." Mia menunduk, merasa semakin sedih.
Petra mencibir, "Bukannya itu anak kecil namanya?"
Mia kesal dan menatap Petra dengan tajam, lalu menuduh dengan jengkel, "Sewaktu kamu menyeretku keluar dari mobil, kakiku terantuk…."
Petra mengerutkan dahi, karena tanpa perlu dituduh oleh Mia, dia sudah bisa melihat pergelangan kaki Mia merah dan bengkak.
Kalau Mia hanya terantuk tadi, pasti masih bisa ditahan, tapi karena sudah jatuh seperti itu, lukanya bisa serius.
"Kenapa kamu tidak bilang apa-apa?" Petra juga marah. "Mia, kamu menganggapku bercanda?"
Mia terdiam dan tiba-tiba merasa sedih. Seberapapun seringnya dia menjaga ketenangan hidupnya tahun ini, bagaimanapun dia berpura-pura bahwa rasanya tidak sakit, tidak akan sedih, tapi apakah dia bisa bertahan hingga akhir?
Semua itu palsu! Mia-lah yang membohongi diri sendiri.
Sejak dia tahu bahwa Wira sudah pulang, dia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, dan bahkan daya tahan tubuhnya menurun.
Hari ini Mia tanpa disangka bertemu dengannya di Bar Purnama, tanpa aba-aba, begitu saja…. Wira mengajaknya untuk memulai hubungan lagi, tetapi sekarang, sebagai bibi Wira, bagaimana bisa dia memulai hubungan lagi dengannya?
Memikirkan hal ini, Mia tidak bisa menahannya lagi, dan membiarkan matanya memerah, dan selubung air melapisi matanya….
Petra tetap diam, mulutnya terkatup rapat, dan matanya yang sehitam tinta seperti obsidian yang tidak memantulkan cahaya.
"Sakit?" tanya Petra dengan lembut setelah beberapa saat.
Mia hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan tidak berbicara karena pikirannya masih keruh.
Petra menghela napas pelan, hanya berjongkok di sana. Dia lalu meraih kaki Mia ke pangkuannya dan mulai memijatnya. "Aku tidak tahu tadi…." Suaranya sangat lirih dan tanpa emosi, sulit didengar tanpa berusaha.
Merasakan kakinya dipijat oleh Petra, Mia agak risih dan ingin menariknya. Tapi saat dia bergerak, kakinya tertahan. Lalu dia mendengar Petra mengucapkan permintaan maaf, dan dia langsung terkejut.
Petra secara tidak langsung meminta maaf?!
Jangan salahkan Mia karena terkejut, mengingat Petra…. Pria itu sudah sangat tersohor di Jakarta.
Keluarga Petra adalah keluarga yang sudah berdiri selama seratus tahun sampai pada generasi Petra, seorang anak laki-laki semata wayang dari ayahnya. Dalam keluarga itu, sejak kecil, dia sudah menjadi anak yang cerdas dan bijaksana. Sudah terlihat, seberapa tingginya sifat Petra.
Orang seperti itu, jangankan tidak pernah melakukan kesalahan, sekalipun dia melakukan kesalahan, dia hanya akan membiarkan kesalahan itu, tetapi dia tidak akan pernah meminta maaf.
Mia diam dan tidak menarik kakinya, membiarkan Petra memijatnya di sana…. Sebenarnya, rasanya tidak enak, tetap sakit.
Tapi Petra memijat pergelangan kakinya dengan lembut. Tidak mungkin Mia tidak menyukainya, 'kan?
Oke, biarkan saja dia memijatnya….
Tapi, keesokan harinya, Mia mendapati keadaannya semakin menyedihkan…. Tidak hanya bengkaknya tidak berkurang, tapi malah semakin parah.
Mia dan Petra sama-sama melihat ke arah kaki yang tampak seperti kue bantal itu, seorang berwajah berkedut dan yang lain berwajah suram. Singkatnya, tidak ada yang membaik.
"Ganti bajumu." Petra membawa Mia ke ruang lemari dengan raut dingin dan mengambil terusan selutut untuk dikenakan oleh Mia.
Mia melihat wajah cemberut Petra yang murung dan merasa tidak suka. Petra yang membuat kakinya membengkak, bagaimana bisa Mia justru merasa seperti sebaliknya?
Meski tidak suka, Mia tidak berani mengeluh dan tetap berganti pakaian.
Setelah Petra mengambil sweater tipis dan memakaikannya pada Mia, dia menggendongnya dan berjalan ke bawah, lalu menurunkannya di dalam mobil.
"Kau mau apa?" Mia tertegun.
"Pergi ke rumah sakit!" jawab Petra dengan dingin.
Mia membeku. "Ini hanya bengkak, cukup dipakaikan sedikit minyak safflower lagi…. Aku harus pergi bekerja."
"Ini akhir pekan!" Petra masuk ke dalam mobil dan memberi isyarat kepada Mia untuk memasang sabuk pengamannya.
"Tapi aku punya rancangan yang harus diselesaikan hari ini…."
"Kalau begitu izin saja!"
"Kalau kram, bisa minta izin?" Mia bertanya dengan.
Bukannya dia bisa dianggap bohong? Kemarin dia masih mengemudikan mobil!
"Ini demi aku, atau demi kamu?" Begitu Petra memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Jelas, dia semakin kesal.
Mia tidak punya pilihan selain menghubungi orang yang menunggunya untuk menyelesaikan rancangannya. Meski begitu, dia belum berbicara, dan pihak sana sudah berkata bahwa mereka juga sudah berencana untuk meneleponnya. Anaknya sakit dan tidak bisa datang hari ini, jadi mereka sepakat untuk menyelesaikan rancangannya pada hari Senin.
Mia menutup telepon dan menatap Petra dengan tatapan santai. "Ayo berangkat…."
Petra menyalakan mobil. Mia tidak menyangka, hanya karena kakinya terkilir untuk yang kedua kalinya, hal itu menyebabkannya berada dalam situasi yang agak memalukan!