webnovel

Bab 8

Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Seno memutuskan untuk turun ke bawah. Pria berkemeja itu berjalan menuruni anak tangga, setibanya di bawah terlihat kedua orang tuanya sudah menunggu dirinya di ruang tengah. Seno melangkahkan kakinya menghampiri ayah dan ibunya. Regina tersenyum saat melihat putranya datang.

"Malam, Ma, Pa." Seno mencium punggung tangan kedua orang tuanya.

"Hanum mana, kok nggak ikut turun?" tanya Regina.

Seno terdiam sejenak, terlihat raut wajahnya yang menunjukkan kegusaran. "Hanum pergi, Ma."

"Pergi? Pergi kemana?" tanya Regina, matanya menatap lekat ke arah putranya.

"Seno nggak tahu, Ma," jawab Seno acuh.

"Kamu bilang tidak tahu, kamu itu suaminya. Seharusnya kamu tahu kenapa istrimu pergi," sela Akbar, ia merasa geram dengan sikap putranya yang seperti tidak peduli dengan istrinya sendiri.

"Apa kamu sudah mencarinya?" tanya Regina.

"Udahlah, Ma, Pa. Hanum pergi atas kemauannya sendiri, Seno tidak mengusirnya. Jadi, Mama sama .... "

"Ingat, Seno. Hanum itu sedang hamil, dia itu istri kamu. Apa kamu sama sekali tidak merasa khawatir dengan dia." Regina memotong ucapan Seno.

"Dari mana, Mama tahu kalau Hanum hamil." Seno menatap wajah ibunya.

"Rara yang sudah ngasih tahu sama kami, dia juga yang sudah mengantar Hanum ke RS," ucap Regina.

"Ah, sial. Mereka sudah tahu kalau Hanum hamil, dan ini akan menjadi masalah yang besar," batin Seno. Ia mengumpat kesal karena kedua orang tuanya sudah tahu jika Hanum hamil.

"Kenapa diam, suami macam apa kamu! Sekarang juga cepat cari Hanum sampai ketemu, mengerti!" seru Akbar. Emosinya sudah tidak dapat ia tahan lagi.

"Kami sudah tahu apa tujuan kamu menikah dengan Hanum, apa kamu tidak pernah berpikir. Kamu itu punya adik perempuan, kalau hal ini terjadi pada adikmu apa yang akan kamu lakukan. Wanita itu bukan untuk mainan, Seno." Regina memukuli lengan kekar putranya. Ia merasa sedih dengan kelakuan Seno.

"Ingat, Seno. Kalau kamu tidak bisa membawa Hanum kembali pulang, jangan pernah anggap kami sebagai orang tuamu lagi. Kami kecewa dengan kelakuanmu yang seperti ini, suami tidak berperikemanusiaan!" seru Akbar. Kesabarannya benar-benar sudah habis.

"Ma, kita pulang saja. Percuma kita ke sini, papa akan menyuruh orang untuk mencari Hanum." Akbar mengajak istrinya untuk pulang, sementara Seno masih terdiam setelah mendengar ungkapan kekecewaan dari orang tuanya.

Akbar dan Regina sudah masuk ke dalam mobil, perlahan mobil itu berjalan meninggalkan halaman rumah putranya. Sementara Seno masih diam, ia tidak menyangka jika kedua orang tuanya lebih memikirkan Hanum dari pada dirinya. Jujur, Seno merasa kesepian saat di rumah tidak ada Hanum. Karena biasanya setiap dia pulang kerja Hanum selalu menanti, dan dia juga selalu menyiapkan segala keperluannya.

"Arght, Hanum kamu pergi kemana." Seno membanting vas bunga yang ada di atas nakas.

Seno menjatuhkan bobotnya di sofa, otaknya tengah bekerja untuk mencari keberadaan Hanum. Awalnya ia merasa senang karena tanpa diminta Hanum pergi sendiri. Namun yang terjadi tidak seperti yang ia inginkan. Justru kepergian istrinya menjadi masalah yang cukup membuat Seno merasa pusing. Mau tidak mau Seno harus mencari Hanum, tetapi masalahnya harus mencari kemana.

***

Hari demi hari telah berganti, dan tepat hari ini kepergian Hanum genap sebulan. Berbagai cara sudah dilakukan, tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Seno sudah menyerah, ia sudah mengeluarkan banyak uang untuk membayar orang demi bisa mencari keberadaan istrinya. Namun sama sekali tidak berhasil, Hanum seperti ditelan bumi. Tidak ada petunjuk atau titik terang fi mana dia berada.

Akbar dan Regina pun sama, mereka juga sudah menyuruh orang untuk mencari menantunya, tetapi usahanya belum juga berhasil. Regina tidak menyangka jika Seno tega mempermainkn pernikahan. Mereka pikir jika Seno benar-benar mencintai Hanum, tapi ternyata semua itu hanya sandiwara. Regina dan Akbar terlalu bodoh karena bisa tertipu oleh putranya sendiri.

"Bagaimana ini, Pa. Kita sudah mencarinya sampai kepelosok desa. Tapi sama sekali tidak ada hasilnya," keluh Regina. Ia merasa sedih karena belum bisa menemukan Hanum.

"Mama yang sabar ya, jika Hanum memang berjodoh dengan Seno, kita pasti akan dipertemukan kembali." Akbar mencoba menenangkan istrinya. Ia juga merasa sedih, terlebih Hanum tengah hamil.

Selang beberapa menit pintu rumah Regina terbuka, seorang pria berkemeja hitam datang. Pria itu tak lain adalah Seno. Entah ada apa tiba-tiba ia datang ke rumah orang tuanya. Melihat putranya datang, Regina langsung menyeka air matanya. Ia tidak ingin terlihat sedih di hadapan Seno. Bukan karena apa, tetapi ia tidak ingin jika dirinya begitu merasa sedih atas kehilangan menantunya.

"Seno, ada apa. Tidak biasanya kamu datang, apa ada kabar tentang Hanum." Akbar menatap putranya yang masih berdiri tak jauh darinya.

"Belum ada, Pa. Seno sudah menyuruh orang tetapi hasilnya nihil." Seno menjatuhkan bobotnya di sofa.

"Lalu kedatanganmu ke sini ada maksud apa?" tanya Regina.

Seno terdiam sejenak. "Aku sudah menyerah, Ma. Aku tidak akan mencari Hanum lagi. Dan Aku sudah putuskan untuk segera menikah dengan Christie."

Plak, satu tamparan mendarat tepat di pipi Seno. Ucapannya mengundang amarah Akbar semakin memuncak. Seno benar-benar keterlaluan, sebagai seorang suami ia tidak ada rasa tanggung jawabnya sama sekali. Seno mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan dari ayahnya. Sementara Regina hanya diam, ia juga kecewa dengan keputusan putranya itu.

"Berani kamu menikahi wanita itu, maka jangan pernah anggap kami sebagai orang tuamu lagi, mengerti!" bentak Akbar. Napasnya naik turun menahan amarah.

Seno terdiam sejenak. "Baik, jika itu keputusan kalian, permisi."

Seno bangkit dan beranjak pergi dari rumah orang tuanya. Sementara Regina masih diam dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya, ia benar-benar kecewa dengan putranya sendiri. Begitu juga dengan Akbar, ia mencoba untuk beristighfar, meski rasa kecewanya tidak bisa dipungkiri lagi. Mereka berharap semoga suatu saat Seno mau berubah, karena bagaimanapun juga dia adalah darah dagingnya sendiri.

Saat ini Seno tengah dalam perjalanan pulang, pria berkemeja hitam itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Seumur hidup baru ia ditampar oleh ayahnya sendiri. Sesekali Seno memukul setir mobilnya, tak lupa umpatan demi umpatan keluar dari mulutnya. Meski orang tuanya melarang dirinya untuk menikah dengan Cristie, Seno akan tetap pada niatnya.

***

Waktu berjalan begitu cepat, pukul sembilan malam Seno sudah ada di rumah. Pria berbadan kekar itu juga sudah selesai membersihkan diri. Saat ini Seno tengah duduk di sofa kamar, tangannya memegang foto pernikahannya dengan Hanum. Ada rasa rindu yang terbesit dalam hati, jujur ia merasa kehilangan. Biasanya setiap Seno pulang kerja Hanum selalu melayaninya dengan baik. Mulai dari menyiapkan air untuk mandi, sampai menyiapkan makanan.

Seno mendesah pelan. "Sebenarnya kamu pergi kemana? Kenapa sampai detik ini tidak ada yang tahu keberadaanmu."

"Kenapa setiap aku ingin melupakanmu, justru aku semakin teringat dengannmu." Seno mengusap foto yang ia pegang.

Tiba-tiba saja Seno mendengar ponselnya berdering. Dengan cepat ia mengambil benda pipih tersebut, ia melihat ada nama Cristie di layar ponselnya. Takut ada yang penting, Seno pun mengangkat telepon dari kekasihnya itu. Meski dalam hatinya ia tengah merasa tidak karuan, tetapi Seno tidak ingin Cristie merasa curiga terhadapnya.

[ Halo, Sayang ada apa ]

[ Sayang, besok jadi fitting baju pengantin 'kan ]

[ Tentu jadi dong, besok aku jemput kamu jam setengah delapan ]

[ Ok, aku tunggu ya ]

[ Iya, Sayang. Ya sudah sekarang kamu tidur, ini sudah malam ]

[ Iya, kamu juga tidur ya ]

[ Iya, Sayang ]

Selesai berbicara, Seno segera menutup panggilan telepon tersebut. Ia baru ingat jika besok mereka akan fitting baju pengantin. Seno menyenderkan kepalanya di sandaran sofa, ia menatap langit-langit kamarnya. Kenapa ia tidak merasa bahagia atau apa saat akan menikah dengan wanita pilihannya, berbeda saat dulu sewaktu akan menikah dengan Hanum. Seno mengusap wajahnya setelah itu ia bangkit dari sofa, ia berniat untuk tidur. Agar otaknya kembali fresh.

***

Keesokan harinya, pukul tujuh pagi Seno sudah siap untuk pergi. Jujur dalam harinya ia merasa gelisah, lantaran sampai saat ini belum ada kabar tentang keberadaan Hanum. Namun lagi-lagi egonya selalu berhasil membuat Seno berpikir jika Hanum tidak penting baginya dan tidak perlu diperdulikan lagi.

Saat ini Seno sudah dalam perjalanan menuju apartment milik Cristie. Pria dengan balutan jas berwarna hitam itu melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Entah kenapa Seno ingin cepat sampai ke apartment, bahkan ia sengaja tidak memberitahu Cristie jika dirinya tengah dalam perjalanan.

Hanya butuh lima puluh menit kini mobil BMW i8 berwarna putih milik Seno sudah berhenti di pelataran apartment. Dengan segera Seno turn dari mobil dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Setibanya di dalam, pria berjas itu berjalan menuju lantai tiga puluh di mana Cristie  berada. Tidak butuh waktu kama, kini Seno sudah tiba di depan pintu apartment Cristie.

Saat Seno ingin mengetuk pintu tersebut, samar-samar ia mendengar suara laki-laki dari dalam. Jujur, Seno tersebut tetapi ia mencoba untuk berpikir positif. Namun setelah dipikir, Cristie itu tinggal sendirian, jika ada suara laki-laki itu tandanya Cristie tidak sendirian. Suaranya semakin jelas terdengar di telinga, tak terasa Seno mengepalkan tangannya, ingin sekali ia mendobrak pintu itu.

"Cristie, apa yang kamu lakukan di dalam," ucap Seno dengan menahan amarahnya.

Tiba-tiba saja pintu terbuka, terlihat seorang pria dengan balutan jas berwarna abu-abu hendak keluar dan diikuti oleh Cristie. Kedua orang itu terkejut saat melihat Seno sudah berdiri di depan pintu, terlebih Cristie. Wanita yang selalu berpenampilan seksi itu tidak menyangka jika kekasihnya sudah datang. Padahal semalam sepakat untuk pergi jam sembilan, tetapi baru jam delapan Seno sudah datang.

"Sayang, kamu sudah datang?" tanya Cristie dengan sedikit gugup.

"Siapa laki-laki ini, dan apa yang kalian lakukan di dalam." Seno menatap tajam ke arah Cristie dan juga laki-laki itu.

"Sayang aku bisa .... " ucapan Cristie terpotong saat Seno mendorong tubuh laki-laki itu masuk ke dalam.

Cristie terkejut dengan apa yang Seno lakukan, bahkan ia takut jika nanti kekasihnya itu akan berbuat yang tidak-tidak. Setelah di dalam, mata Seno tertuju pada kamar. Tanpa seizin Cristie. Pria berjas itu masuk ke dalam kamar, seketika ia terkejut saat melihat ranjang milik kekasihnya masih dalam keadaan berantakan. Seno menoleh ke arah laki-laki itu dan juga Cristie.

"Apa kalian sudah melakukannya?" tanya Seno dengan tatapan yang menatikan.

"Sayang aku bisa .... "

"Iya, kami memang sudah melakukannya, bahkan kami seeing melakukannya. Bukan begitu, Sayang." Laki-laki itu memotong ucapan Cristie, bahkan dia juga merangkul pundak wanita seksi itu.

"Itu tidak benar, aku bisa .... "

"Cukup, jadi ini kelakuanmu saat ada di belakangku. Aku kecewa, kamu sudah menghianatiku." Seno memotong ucapan Cristie. Ia benar-benar kecewa dengan kenyataan jika Cristie telah berhianat.

"Pernikahan kita batal, aku tidak mau menikah dengan wanita murahan sepertimu." Seno beranjak pergi dari apartment milik Cristie.

"Kita akan tetap menikah, karena aku hamil anak kamu." Teriakan Cristie mampu membuat Seno menghentikan langkahnya.

Rasanya seperti tersambar petir pada siang bolong, ia tidak percaya jika Cristie hamil anaknya. Karena seingat Seno mereka hanya melakukannya satu kali, dan itupun dalam keadaan tak sadar. Sementara laki-laki itu merasa heran kenapa Cristie bicara seperti itu. Apa benar jika Cristie hamil anak Seno. Padahal dia yang sering melakukannya, bahkan hampir setiap kali bersama.