webnovel

INDY MALU

Seakan dihujani oleh batu-batu besar. Wajah Indy spontan memerah mendengar perkataan temannya itu. Pikiran Indy langsung tertuju pada Ira. Dia yakin pasti Iralah yang sudah membocorkan aibnya.

"Jaga mulut kamu! Siapa yang kamu sebut sebagai pelakor, hah?"

Namun, Indy tak ingin kalah. Dia memajukan langkah, sehingga tubuhnya dengan tubuh wanita itu nyaris bertubrukan.

"Jangan banyak alasan! Pantas aja selama ini gak pernah kerja dan mendadak sombong. Ternyata kamu jadi simpanan suami orang,"

"Hahahaha,"

Muka Indy semakin tebal tatkala semua karyawan yang berada di sana menertawakannya. Indy tak ingin semakin disalahkan, karenanya dia tetap bertahan dengan cacian.

"Kalian gak tahu apa-apa tentang hidupku,"

"Eh, Indy! Lebih baik kamu tinggali Pak Dito. Kasihan istrinya jadi korban. Kayak gak ada laki-laki lain aja." Kini, rekannya yang lain mulai ikut campur.

"Aku jadi kasihan sama kamu. Masih muda, tapi kok seleranya orang tua,"

Sepasang tangan Indy mengepal dan deretan gigi putihnya merapat. Indy ingin meninju seluruh wajah orang yang telah mencacinya sekarang juga. Sialnya, nyali Indy tiba-tiba menciut. Dia sadar akan kesalahan, makanya tidak berani berbuat anarkis.

"Aku aduin ke Mas Dito kalian!" ancam Indy saat tidak menemukan jalan lain.

"Hahaha. Emang kamu berani? Kami juga bisa aduin kejahatan kalian sama Bu Ira,"

Indy mati kutu setelah mendapat ancaman balik dari teman-temannya. Mereka begitu kompak menyerang Indy.

Wanita berkulit putih itu kehabisan kata-kata. Di sisi lain dia juga takut jika Ira tahu hubungannya dengan Dito. Indy tak mau dipisahkan dari pasangannya itu. Selain karena sayang, Indy juga takut kehilangan harta. Siapa lagi yang membantu dirinya kalau bukan Dito.

Daripada terus-terusan dilempar olokan, akirnya Indy kocar-kacir lari dari sana. Wajahnya begitu tebal dan memerah. Indy seakan menelan air liurnya sendiri. Betapa ia malu, karena kedoknya sebagai perebut suami orang telah diketahui.

"Awas kalian semua!" teriak Indy dari kejauhan.

Seluruh pekerja menertawakannya. Mereka tak menyangka, jika selama ini Indy hanyalah simpanan bosnya sendiri.

Dito merasa ada yang aneh. Sudah dua jam, tapi Indy belum balik juga ke ruangannya. Tak biasanya perempuan itu nyaman bersantai di kawasan café, sementara banyak pengunjung yang datang.

Dito memundurkan kursi kebesarannya, kemudian keluar ruangan. Dia bertanya pada beberapa karyawan café dan mendapat jawaban bahwa Indy sudah pulang lebih dulu.

"Kenapa dia gak kasih kabar ke aku?" gumam Dito.

Lelaki jangkung tersebut langsung menempelkan gawai di telinganya. Selang beberapa waktu, suara Indy terdengar.

"Ada apa, Mas?"

"Kamu kenapa pulang? Gak ngabarin lagi,"

"Ah! Aku sebel sama karyawan kamu,"

"Hah? Kenapa?" Dito menautkan sepasang alisnya.

"Mereka bilang aku pelakor, Mas. Aku dikeroyok,"

"Mas gak dengar apa-apa," balas Dito yang memang tidak mengetahui apapun.

"Mas kan di dalam ruangan. Mereka bilang aku harus buru-buru tinggali Mas Dito, karena kasihan sama Ira. Kata mereka aku gak pantas sombong, karena aku cuma perebut suami orang." Indy menumpahkan kekesalannya pada Dito. Siapa lagi tempatnya mengadu kalau bukan pria itu.

"Ya, ampun. Dasar mereka gak tahu diri! Terlalu ikut campur urusan bosnya." Dito pun menjadi geram terhadap karyawannya.

"Pecat aja mereka semua, Mas!"

"Mas gak bisa ngelakuin apapun, karena Papa dan Mama masih di sini. Lagi pula, kalau Mas pecat mereka, karena udah olok-olok kamu, berarti emang bener kalau kita punya hubungan, Indy,"

Indy membenarkan ucapan Dito. Ia pun tak ingin kehilangan sosok yang paling berjasa di hidupnya.

"Aku gak mau ke café lagi,"

"Ya, sudah. Biar Mas aja yang temui kamu kalau kangen, ya," kata Dito memberi solusi.

Dito sendiri pun tak mau memperkeruh suasana. Bahkan, ia tetap bersikap normal pada karyawannya seusai mereka menghina Indy. Bagaimanapun, Dito harus menemukan cara agar dirinya dan Ira segera berpisah. Dengan begitu, Dito dan Indy bisa menikah tanpa harus menyembunyikan status hubungan. Namun semua itu tidaklah mudah. Dito juga harus ekstra hati-hati dan membutuhkan waktu untuk melakukannya.

***

Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Tidak terasa Dito dan Ira sudah mengarungi rumah tangga mereka selama dua bulan pasca perselingkuhan itu terjadi. Kini, Dito tumbuh menjadi suami yang lebih bertanggung jawab serta mampu menghibur istrinya. Dito juga kerap membawa Ira ke manapun ia pergi.

Karena mengetahui bahwa hubungan anak-anaknya telah membaik, Alin dan Yugi pun memutuskan untuk kembali ke kediaman mereka. Hal itu membuat Dito dapat bernapas lega, karena tak akan ada yang memantaunya dengan teliti.

Sayangnya, semua kebaikan yang Dito berikan terhadap Ira hanyalah akting belaka. Hati Dito tetap memilih Indy. Keduanya selalu bertemu dan melakukan kegiatan yang seharusnya dihindari. Dito tak peduli dengan Ira. Namun, sebisa mungkin ia berpura-pura apik agar istri sahnya itu tak curiga.

Sore ini Dito duduk termenung di salah satu meja café. Dia memerhatikan pengunjung yang entah kenapa dua minggu terakhir ini semakin berkurang. Dito tak pernah melakukan kesalahan di cafenya dan tetap memberikan pelayanan terbaik. Hingga sampai sekarang pun, Dito masih bertanya-tanya tentang sesuatu yang menjadikan café miliknya agak sepi.

Sedang anteng duduk di kursi, tiba-tiba ponsel Dito berdering panjang. Gegas ia meraih benda pipih tersebut.

"Ada apa, Sayang?" Ternyata Indy yang mengubunginya.

"Mas di mana?"

"Tempat biasa, café,"

Di tempat lain, Indy memilin ujung rambutnya serta merebahkan tubuh di atas sofa. Indy menyapu pandangannya pada rumah yang dibelikan Dito untuknya beberapa waktu lalu.

"Mas. Aku minta uang dong," ucap Indy tanpa malu-malu.

Selama ini Dito memang memberinya uang bulanan. Namun, terkadang Indy juga meminta jatah lagi. Entah untuk apa uang yang ia rampas dari Dito.

"Bukannya lima hari lalu baru Mas transfer ke kamu, ya?"

"Udah habis, Mas,"

"Ya, ampun. Uangnya kamu pakai buat apa, Indy?"

Dito merapatkan gigi-giginya. Padahal Indy tahu bahwa kondisi café Dito sedang tidak baik.

"Buat kebutuhanku dong, Mas,"

"Tabungan Mas semakin tipis. Kalau tiba-tiba Mas jatuh miskin gimana?"

"Loh! Kok jadi pelit sih, Mas?"

Indy tersentak mendengar ucapan kekasihnya tersebut. Buru-buru ia bangkit guna menetralkan deguban jantung.

"Bukan gitu, Indy. Kamu kan tahu kalau café lagi sepi,"

"Ya, aku gak peduli. Aku butuh uang, Mas. Pokoknya malam ini Mas harus tarnsfer 200 juta,"

Tut…

Panggilan telepon spontan terputus sebelum Dito sempat menjawab ucapan Indy. Pria itu mengembuskan napas panjang. Ingin sekali Dito menolak permintaan Indy, tapi ia takut jika wanita itu akan pergi dari hidupnya. Semakin hari Dito jadi tahu, jika Indy seorang wanita matrealistik.

Dito berencana untuk pulang agar bisa beristirahat di kamarnya. Dito ingin menghilangkan bebannya barang sejenak. Saat Dito mulai melangkah menuju lapak parkir, tiba-tiba saja kepalanya terasa berdenyut serta tubuhnya mendadak lemas. Dia berusaha tetap berdiri. Malangnya, kedua kaki Dito tak mampu menopang berat badannya lagi. Akhirnya Dito tumbang di bawah mobilnya sendiri.

***

Bersambung