Elena menarik uang sebesar 500 euro dari tabungannya dan membawa uang itu ke kantor pengelola makam. Saat sampai di dalam kantor, Elena akan menyerahkannya kepada staf pengelola.
Lelaki itu memperhatikan Elena, lantas membuka lembaran dokumen pemakaman atas nama ayah dan ibunya.
"Kau sudah bawa uangnya?" tanya sang petugas.
Elena mengangguk. Uang dalam amplop coklat itu Elena keluarkan dari dalam tas kecilnya. Hatinya bergetar. Sebenarnya ia tidak rela berpisah dengan uang yang ia kumpulkan susah payah untuk kuliah, tetapi ia tahu ia tidak punya pilihan.
Uang masih bisa dicari dan ia dapat kuliah tahun depan. Sementara kuburan orang tuanya tidak dapat menunggu. Elena masih getir melihat amplop itu. Kemudian perlahan ia maju mendekati meja kerja pemilik pemakaman.
Staf pengelola pemakaman itu mengeluarkan isinya lantas menghitungnya. "Ini masih kurang."
Elena terhenyak saat mendengar kata-kata lelaki itu. "Kurang? Bukannya kemarin Anda minta 500 euro?"
"Itu kan baru tunggakannya saja. Biaya sewa tahun ini belum dibayar," kata sang petugas dengan ketus. "Totalnya menjadi 600."
Elena merasa terpukul. Kehilangan 500 euro saja dari tabungannya yang ia kumpulkan dengan susah payah telah cukup membuatnya sedih.
Sekarang, di tabungannya hanya tersisa 70 euro saja. Ia harus kembali menabung dari awal. Dan kini bahkan, uang yang ia miliki itu masih kurang untuk membayar sewa makam orang tuanya?
"Karena kau sudah memberikan 500, aku bisa memberimu kelonggaran sedikit," kata petugas itu dengan sabar. "Kau punya waktu seminggu untuk memberikan sisanya. Hanya 100 euro. Kalau minggu depan tidak ada, terpaksa makam orang tuamu akan kami bongkar karena belum membayar biaya sewa di tahun berjalan."
Elena mengigit bibirnya. "Tolong berikan saya waktu lagi."
"Aku sudah memberimu waktu. Seminggu itu sudah maksimal."
Elena mengusap matanya, menahan air mata yang akan menitik jatuh. Dari mana ia bisa mendapatkan ekstra 100 euro dalam waktu seminggu? Gajinya dari minimarket sangat kecil dan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Melihat wajah murung gadis itu dan matanya yang tampak berkaca-kaca, sang petugas menjadi kasihan. Ia akhirnya menghela napas dan mengangguk. "Baiklah… satu bulan. Tidak bisa lebih."
Elena mendesah lega dan membungkukkan kepalanya sendiri sebagai tanda terima kasih. "Terima kasih banyak, Tuan. Aku akan mengusahakannya."
Sang petugas mengangguk. Ia mengeluarkan buku kwitansi dari laci dan membuatkan nota pembayaran. "Tanda tangan di sini untuk pembayaran biaya tunggakan kemarin."
Elena maju kemudian menandatanganinya.
"Aku menunggu pelunasannya dan biaya yang akan datang!" ujar sang petugas.
"Terima kasih, Tuan." Elena menaruh pulpen di meja setelah menandatangani kwitansi. Laki-laki itu menyerahkan kwitansi bagian Elena dan menyuruhnya pergi.
Elena segera keluar dari ruangan itu. Hatinya dipenuhi kelegaan karena makam orang tuanya tidak akan dibongkar. Sebelum pulang, ia memutuskan untuk mengunjungi makam ayah dan ibunya. Di sana Elena menangis tanpa suara.
***
Ketika Elena tiba di depan pintu apartemen, Bibi Ursula telah menunggunya sambil berkacak pinggang.
"Hey!" seru wanita itu sambil mematikan rokoknya. Ia berjalan dan menarik kerah baju Elena. Dari mulutnya Elena bisa mencium bau minuman keras.
Bibi Ursula menghabiskan banyak uang untuk minuman beralkohol sejak suaminya tidak pulang-pulang dari perantauan. Elena kemudian mengetahui bahwa sang paman tidak tahan dengan sikap istrinya dan telah meminta cerai.
Sejak perceraian itu kelakukan Bibi Ursula kepada Elena menjadi semakin kasar dan ia semakin suka mabuk-mabukan.
"A-ada apa, Bi?" tanya Elena. Perasaannya mulai tidak enak.
"Aku melihat buku tabunganmu di toko," kata Bibi Ursula dengan ketus. "Ternyata kau punya uang, ya? Kau mencuri uangku dari toko?? Benar?"
"Ti-tidak, Bi… itu uang gajiku dari minimarket," kata Elena sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman bibinya.
"Dasar pembohong! Pencuri, kembalikan uangku!" seru Bibi Ursula sambil memukuli punggung Elena dengan sekeras-kerasnya.
"Aahh… sakit!" Elena berusaha menghindar, tetapi Bibi Ursula malah mengambil sapu dari samping pintu dan mengejar Elena. Ia kembali menghajar gadis itu tanpa ampun.
"Ayo, kembalikan uangku yang sudah kau curi! Dasar anak maling!"
"Ampun, Bibi…! Aku tidak mencuri!!" Elena mengaduh-aduh dan berusaha menangkis pukulan sang bibi, tetapi saat gagang sapu itu mengenai pergelangan tangannya, ia menjerit kesakitan.
Bibinya bagaikan orang kesetanan yang terus mengejar dan memukulinya, sambil memanggilnya pencuri.
"Tolong..!! Tolong…!" Elena menjerit minta ampun dan minta tolong, tetapi tidak ada yang mau membantunya. Akhirnya, dengan pelipis berdarah, ia melarikan diri dari rumah. Kalau ia tidak menyelamatkan diri, bisa-bisa ia akan mati di tangan bibinya yang sedang mabuk.
Bibi Ursula menjerit memaki-maki Elena sebagai pencuri dan perlahan suaranya semakin menghilang saat Elena sudah berlari jauh dari gedung apartemen. Tubuhnya gemetar dan kepala serta tangannya sakit akibat dipukuli.
Malam sudah turun dan suasana menjadi sepi. Elena merasa sakit, dingin, dan lapar. Ia sama sekali tidak memiliki jaket untuk menghangatkan diri. Tidak ada satu pun barang dari apartemen yang bisa ia bawa.
Pergi kemana ia malam ini dengan baju yang hanya melekat pada tubuhnya?
Elena memegangi pelipisnya yang berdarah dan berjalan terus tak tentu arah. Langkah kaki kecilnya menyusuri pertokoan.
Ketika ia tiba di sebuah gang kecil, Elena melihat tiga orang yang sedang membeli minuman di toko minuman keras. Ketiga lelaki itu tertawa-tawa dan seketika terdiam ketika melihat kehadirannya. Mereka lalu berbisik-bisik dan menampakkan seringai mesum di wajah mereka. Naluri Elena segera mengatakan bahwa ia berada dalam bahaya.
Brak!
Karena panik, Elena berjalan mundur dan tidak melihat kotak kardus besar di belakangnya. Tubuhnya tersandung dan ia pun jatuh.
Ketiga orang itu saling pandang dan kemudian berjalan bergegas ke arahnya. Elena merasakan bahaya semakin mendekat. Karena didorong rasa takut, Elena segera berdiri dan berlari sekencang-kencangnya.
"Hey!"
Ketiga orang itu mengejar Elena yang semakin memasuki gang-gang yang tidak ia kenal. Elena terus berlari mencari bantuan sampai tiba di jalan raya.
Klakson mobil menghentikan langkahnya. Gadis itu segera berbalik dan mengangkat tangannya, menghentikan laju mobil. Ia sangat ketakutan.
"Tolong aku. Aku mohon," Elena menghiba kepada siapa pun yang ada di dalam mobil.
Sang pengemudi mobil tetap bergeming walaupun Elena sudah memukul kaca mobilnya dan terus memohon pertolongan. Karena orang yang ada di dalam mobil mengabaikannya, Elena merasa dadanya sesak. Sungguh sangat sulit menemukan orang baik di masa kini.
"Hey! Jangan kabur kau!" Elena terkesiap mendengar suara seruan para penjahat itu, Ia menoleh ke belakang dan melihat ketiga orang tadi yang mengejarnya semakin dekat.
Elena kembali berlari meninggalkan mobil itu. Saat tubuhnya berlalu, pria di belakang kemudi lalu mengangkat wajahnya dan memperhatikan betapa gadis itu tampak berlari dengan sangat ketakutan.
Orang yang ada di dalam mobil hanya melihat Elena yang ketakutan dari balik kaca gelapnya. Ia tetap bergeming walaupun tadi Elena sudah memukul kaca mobil dengan panik dan memohon pertolongan.
Saat gadis itu kembali berlari, barulah Xavier tergugah.
Awalnya Xavier tidak ingin terlibat masalah. Namun, entah kenapa, tiba-tiba saja setir mobil diputarnya untuk mengejar orang-orang tadi.
Elena tengah berlari terengah-engah dalam lorong sempit yang gelap. Tiga lelaki menyeramkan itu terus mengejarnya.
"Hey! Kami sudah melihat wajahmu."
"Ayolah, nona cantik! Ngapain kau berkeliaran di luar sini malam-malam? Cuacanya dingin lho…"
Elena melihat ke belakang. Hanya ada satu lelaki yang berjalan semakin mendekat. Keningnya berkerut. Kemana yang dua lagi? Bukankah tadi..
Bruk!
Ia terjatuh membentur dua orang lainnya. Ternyata ketiga lelaki itu cukup mengenal lorong-lorong di kawasan ini dan memutuskan untuk membagi kelompok. Satu orang terus mengejar Elena dan yang dua lagi mengambil jalan lain dan kemudian menghadangnya dari depan.
"Hati-hati, baby!" Keduanya tertawa melihat Elena.
Tawa mereka terdengar sangat menakutkan bagi Elena. Satu orang mencengkram sikunya membantu Elena bangun. Ia mencoba melewati dua orang itu, tapi ditahan keduanya.
"Kau mau kemana? Mari minum dengan kami, malam ini terlalu dingin jika dilewatkan sendirian."
Elena masih diam. Ia terus mencoba melewati keduanya dan disusul pria yang ketiga. Mereka saling melemparkan tawa. Elena berada dalam lingkaran kelimanya.
"Ya, ikut kami saja pasti menyenangkan." Timpal yang lainnya sambil berjalan berputar di sekitar Elena. Satu lelaki mulai meraba punggung Elena dan membuat bulu kuduk gadis itu berdiri.
Elena mengibaskan tubuhnya menghindari tangan yang meraba punggungnya. Rasanya sangat menjijikkan.
"Minggir!" perintah Elena dengan lantang. Sayangnya ucapannya hanya dibalas tawa dari mereka semuanya. Mereka bersikap seolah upayanya melawan malah membuat Elena tampak semakin menggiurkan.
"Kau sangat cantik rupanya. Di mana rumahmu?"
Yang lainnya tertawa. "Sepertinya dia baru saja kabur dari rumah."
"Kebetulan sekali, aku punya rumah yang sangat nyaman dan hangat."
Elena mulai panik karena mereka semakin merapat dan mulai berani menyentuh wajahnya.
"Jangan menyentuhku!" Elena mendorong salah satunya.
Yang lainnya mulai memegangi Elena dari belakang, mengangkat pinggang kecilnya.
"Kau suka sedikit dipaksa rupanya," kata laki-laki itu dengan suara mesum.
Satu dua orang yang lewat tidak ingin terlibat. Mereka hanya melihat tatapan memohon Elena lalu pergi begitu saja. Elena merasa sendiri.
Saat keadaan sudah tidak bisa Elena kuasai dan ia merasa hidupnya akan ditimpa kemalangan, tiba-tiba terdengar bunyi decitan ban mobil menarik perhatian semua orang.