webnovel

Biarkan Mereka Merasakan Penderitaan

Editor: Wave Literature

Lan Anran menerimanya dengan lapang dada, dan sama sekali tidak merasa keberatan.

Lan Tingyun terkejut: "Anran, kamu ..."

Lan Anran mengatakan kepada Lan Tingyun dengan rasa hormat, "Aku percaya bahwa Ayah tidak akan menyakitiku. Ayah sudah seperti pohon besar kami yang akan mengantarkan kami sampai ke langit."

"Sudahlah, sudahlah, gadis baik, jangan khawatir, Ayah akan membuatmu terlihat lebih cantik."

Lan Tingyun menatap putrinya, merasa sangat tidak enak hati, namun juga sekaligus bangga memiliki putri yang sangat pintar.

Xu Yanshan yang melihat adegan ini tampak sangat kesal.

Hari ini, dia mendengar bahwa kakaknya akan membawa Lan Anran pulang, jadi dia datang dengan maksud mencoba merusak hubungan mereka.

Ternyata hasilnya gagal, malah sebaliknya hubungan mereka menjadi semakin dekat.

Xu Yanshan mencubit-cubit telapak tangannya dengan kesal. Dia lalu berkata dengan lembut dan tersenyum paksa, "Saat aku akan datang kesini, aku takut Anran akan menentang berita itu dan akan membuat kakak marah, tapi sekarang aku melihat hubungan kalian malah semakin baik, jadi aku merasa tenang."

"Tapi bibi kedua, kenapa kamu seperti tidak terlalu bahagia?" Lan Anran menarik senyumnya dan menatap Xu Yanshan dengan dingin.

"Bagaimana bisa, tentu saja bibi kedua sangat senang." Xu Yanshan tertawa, "Kalau begitu aku tidak akan mengganggu kalian. Aku ada urusan lain, jadi aku pergi dulu."

Lan Anran menatap punggung Xu Yanshan yang pergi menjauh lalu tersenyum.

Dalam kehidupan sebelumnya, Xu Yanshan dekat dengan dirinya. Dia selalu memuji dan memperlakukan dirinya dengan baik, tetapi sebenarnya dia terlalu memanjakannya dan mengajarinya menjadi tidak taat.

Tidak peduli apa yang dia lakukan, Xu Yanshan selalu memujinya. Hingga akhirnya dia menjadi sombong dan berbuat seenaknya. dan melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak dapat diperbaiki.

Karena ada kesempatan untuk hidup lagi, tentu saja dia tidak bisa membiarkan orang jahat itu berbuat seenaknya.

Dia harus membiarkan mereka merasakan penderitaan yang dia alami sebelumnya.

Namun, sebelum itu...

"Ayah, ayo pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ibu, aku belum bertemu dengannya."

Lan Anran mengatakan dengan hati-hati.

"Ah? Boleh, tapi kamu baru saja pulang, apa kamu tidak ingin istirahat?" Lan Tingyun menatap putrinya yang lucu dengan sedikit perasaan sedih.

Tentu saja dia juga berharap Anran akan mengunjungi ibunya, tapi takut dia masih lelah, jadi sampai sekarang dia tidak berani menyinggung masalah ini.

"Tidak apa-apa ayah, aku sangat sehat, aku hanya ingin lebih cepat bertemu ibuku."

Lan Anran mengatakan sambil tersenyum.

"Kalau begitu aku ikut pergi juga, aku juga ingin bertemu ibuku." Lan Yanran tiba-tiba berdiri dan mengatakan itu.

"Yanran, apa kakimu baik-baik saja?" Lan Tingyun mengerutkan kening sambil melihat kakinya.

"Tidak apa-apa, Ayah. Ayah dan Yanran tunggu aku di sini, aku akan segera kembali."

Lan Anran naik ke atas. Saat dia dan Yanran pergi ke kamarnya tadi, ia meninggalkan tas kecilnya di sana.

Beberapa menit kemudian, Lan Anran berlari membawa tas kecilnya sambil memegang kotak putih kecil di tangannya.

Dia berlutut di depan Lan Yanran. Dengan hati-hati meletakkan kaki Yanran di lututnya, lalu mengambil salep dari kotak putih. Dia mengoleskannya dengan lembut di pergelangan kaki Yanran.

"Ini adalah salep yang diberikan orang-orang di desa padaku, ini sangat berguna untuk mengobati memar dan terkilir."

Lan Anran menjelaskan dengan lembut. Dia mengoleskan salep di sekitar pergelangan kaki Yanran sebanyak dua kali.

"Yanran, coba, apa masih sakit?"

Lan Yanran berdiri dengan ragu-ragu. Perlahan-lahan menginjakkan kakinya di tanah dan dengan ringan melangkahkan kakinya ...

"Sudah tidak sakit, Ayah, kakiku tidak sakit lagi, salep dari kakak ini manjur sekali."

Lan Tingyun menatap Lan Anran, putrinya membawa begitu banyak kejutan padanya hari ini.

"Ok, ayo sekarang kita pergi menemui ibu."

Pada saat yang bersamaan,

"Tuan Muda, bawahan saya sangat tidak berguna. Mereka masih saja belum menemukan orang bernama 'Nol'."

Orang yang mengatakannya menundukkan kepalanya dengan frustasi.

"Terus cari."

Alis pria itu sangat tajam, dan matanya sedikit melotot memperlihatkan pupil coklat muda yang indah.

"Baik."

Pesuruh itu tidak banyak bicara, lalu pergi.

"Tuan Muda Jinrong, sudah bertahun-tahun kenapa kamu masih mencari 'Nol' itu? Mungkin sudah hilang?"

Terdengar suara konyol dari seorang pemuda berusia dua puluhan yang berdiri di sana, rambutnya berwarna perak, dan di telinga kiri ada anting-anting hitam yang bersinar.

"Tidak mungkin." Pria itu menjawab dengan nada datar.

"Kenapa?" Pria yang lainnya bertanya dengan tegas.

"Karena matanya terlihat sangat cerah."

Ada satu alasan lagi, tapi dia tidak mengatakannya.

Entah mengapa, di dalam lubuk hatinya dia merasa bahwa orang itu lebih muda darinya.

"Baiklah, karena kamu tuannya, semua yang kamu katakan benar. Hei, kamu mau ke mana?" Pria tampan itu bertanya saat melihat pria di seberangnya sudah berdiri.

"Rumah Sakit."

...

Bangsal Nyonya Lan berada di area VIP di lantai tiga belas.

Lan Tingyun membawa kedua putrinya ke atas, dan tanpa waktu lama mereka tiba di pintu bangsal Nyonya Lan.

"Ayah, kamu masuk dulu dengan adik, aku ingin ke kamar mandi." Kata Lan Anran tiba-tiba.

Lan Tingyun tidak banyak berpikir, lalu menjawab dengan santai, "Ok, kalau begitu kamu pergilah dan cepat kembali, kami akan menunggumu bangsal ibu."

Lan Anran memandangi ayah dan adiknya yang masuk ke dalam bangsal, lalu dia segera menuju kamar mandi.

Sebenarnya, dia tidak ingin pergi ke kamar mandi. Namun, saat dia berdiri di depan pintu bangsal ibunya, tiba-tiba dia merasa malu akan bertemu dengannya.

Wanita yang begitu lembut, tapi dia...

Lan Anran berdiri melamun di depan cermin kamar mandi.

Dia mengerutkan bibirnya, membasuhkan air dingin ke wajahnya, dan merasakan sedikit kesejukan yang berangsur-angsur membuatnya menjadi tenang.

Dia telah sadar kembali, dia bukan lagi seorang anak yang kurang ajar.

Ibu sangat mencintainya, dan dia tidak akan pernah mengecewakan kebaikan ibunya.

Tatapan mata Lan Anran sangat tegas, dia dengan cepat merapikan pakaiannya, mengatur perasaannya, kemudian menuju bangsal Nyonya Lan dengan anggun dan tenang.

Tapi saat berjalan baru beberapa langkah, dia melihat seorang pria yang berjalan lurus ke arahnya.

Pria itu ramping dan tinggi, dengan raut wajah yang tampan, alis hitam, kulit putih, lengkungan elok dari batang hidungnya, mata yang indah namun terlihat sangat tegas, dan bibir merah pucat yang tertutup rapat.

Ini adalah Mo Jinrong.