webnovel

Radi Anggara

""Uang untuk makan ayam belum ada hahaha,"

terdengar selalu tawa dari keluarga yang bahagia, walaupun hidup sangat berkecukupan."

Langit seharusnya malu pada dinding yang kokoh, siang dan malam bertemu panas dan dingin dia tetap terjaga dalam tunggunya untuk lapuk, walaupun langit membawa ribuan bintang jatuh dia akan tetap berdiri.

ucap seorang ayah pada sosok kecil di samping nya, seorang anak belia yang tangguh pada pendirian.

Dia adalah Radi, murid kelas lima sekolah dasar desa Mungunsari . Namanya sangat dikenal baik oleh warga di sekitar nya karena sosoknya yang sangat rupawan, walaupun hanyalah anak seorang petani Radi tetap mempunyai mimpi untuk menjadi tentara.

Radi suka sekali berpuisi dan bersajak, rangkaian rima dalam setiap larik puisi adalah bacaan nya sehari hari, dalam tiap renung ia selalu berpuisi bak chairil anwar yang menggelegar dalam tiap puisi nya, atau kahlil gibran yang memiliki makna yang dalam untuk romansa positif.

Bagi Radi ayahnya adalah gudang bahasa, macam macam puisi tergoserkan dalam benak anak belia tersebut dengan penuh cinta dan kasih sayang.

*****

"Assalamualaikum," Radi dan ayahnya baru pulang dari sawah dan bersiap siap untuk menyantap masakan yang dibeli ibu nya di pasar tadi.

"Waalaikumussalam",senyum semringai dari seorang wanita yang selalu menunggu kepulangan suami dan anak nya tercinta itu, menjadikan rumah satu kamar dengan atap seadanya terasa hangat.

"Masak apa bu?"

"Ibu sudah buatkan ikan bakar rad." jawab ibu seraya mengambil piring untuk mengambilkan nasi suami nya.

"Ahahaha, ternyata benar dugaan radi."

Radi sangat mengerti kondisi ekonomi keluarga nya, meski terbilang masih sangat kecil, dia memiliki pemikiran yang dewasa dibandingkan teman teman sebaya nya lainnya.

"Uang untuk makan ayam belum ada hahaha,"

terdengar selalu tawa dari keluarga yang bahagia, walaupun hidup sangat berkecukupan.

Sosok Radi sangat rupawan dan santun, di desa nya ia juga dikenal sebagai anak yang taat beribadah karena ayahnya adalah marbot di sebuah masjid di dekat sungai.

"Eh Mang Mail, mau ke masjid mang?" sapa tetangga yang juga merupakan muadzin di masjid tempat Radi dan ayah nya sholat.

"Iya Kang, duluan ya ada yang mau disiapin sebelum solat maghrib," jawab ayah Radi sambil melekarkan senyum.

"Mangga mangga."

"Nuhun kang ujang!"

Selepas nya pergi dari rumah terdengar lengkikan jerit sakit dari arah masjid,tanpa menununggu lama Kang Ujang langsung mengikat kembali tali sepatu nya yang hendak ia lepas sepulang nya dari bertemu pak lurah.

"Astaghfirullah,Mang Mail."

Dalam tangis ia memeluk jasad kawan lama nya yang bersimpuh darah, mengingat kembali memori bersama kawan lama nya di masa kecil.

Tubuh nya tergeletak, terkapar tak berdaya, dalam benak nya tak ada kuasa untuk menahan beratnya perpisahan bersama kolega yang selalu memberikan nasehat padanya.

Tubuh Mang Mail,Ayah dari Radi Anggara itu bersimbah darah, meneteskan kenangan dalam setiap insan yang mengenal, puisi puisi yang kerap kali dibacakannnya di pagi hari sebelum berladang di sawah menjadi alasan beberapa orang mencirikan nya dengan sebutan pujangga.

Terdengar berita di telinga Aqila, gadis kecil teman sebaya dari Radi Anggara tentang Ayahnya. Mendengar hal itu Aqila gadis cantik berusia 5 tahun itu pergi bersama ayahnya untuk melaporkan kepada Radi dan ibu nya.

"Allahuakbar.. "

mendengar hal itu, Tatapan mata kedua orang itu kosong sosok yang kerap kali menjadi harapan untuk hari esok telah tiada, hari hari yang melahirkan senyum Ibu serina telah pudar termakan kenyataan.

Dalam isak nya Radi berlari menuju masjid, gusaran tanah yang kasar tak hirau nya oleh kaki telanjang, tumpukan bebatuan tak lagi ia pedulikan, motor berlalu lalang pun tak jadi soal agar dia tetap berlari.

"Ayah.."

Lutut Radi terjatuh lemas, melihat jasad sang ayah yang sudah telanjang dada akibat tabrakan dahsyat. Pelaku tak bertanggung jawab langsung pergi meninggalkan jasad nya yg bersimbah darah.

"Tuhan, apa yang kau inginkan lagi dari ku Tuhan? aku tak punya harta, bahkan dari semua penduduk disini akulah yang paling miskin." Teriak Radi memangku kepala jasad Ayahnya, para warga di sekitar pun ikut terharu mendengar kata kata tersebut keluar dari lisan anak kecil.

Suasana semakin histeris ketika ibu Serina tiba dengan hijab nya yang sudah kusam dengan sepeda ontel kesayangan suami nya.

"Aaaaaa, Ayaaah.."

Kalimat itu terus di teriakkan Ibu Serina, ibu ibu yang lain mencoba memberikan nasehat untuk bersabar kepada ibu serina, sedangkan bapak bapak yang lain mengangkut jasad ayah Radi ke dalam ambulan.

*****

Proses pemakaman sudah dimulai, Radi sudah tak lagi kuasa menahan air mata nya melihat jasad ayahnya dikebumikan. Tak lagi terlekar senyum di wajah nya semenjak ia berada di tempat kejadian itu, Radi menjadi sosok pendiam dan kurang suka bergaul karena kondisi mental nya yang sudah hancur berantakan di usia nya yang masih sangat muda untuk ditinggal pergi selamanya.

Hari berlalu kejadian seminggu yang lalu masih tergambar jelas di benak Radi, ditinggal pergi untuk selamanya menjadikan Radi anak yang menjalani hari hari nya dengan menyendiri, terkadang membantu ibu nya memasak nasi kuning untuk berjualan atau sekedar duduk diam dan tak melakukan apapun.

"Hai kucing kecil, kemana ibu mu?" tanya Radi pada seekor kucing yang tiba tiba menghampiri diri nya.

"Siniin kucing nya!" teriak aqila dari kejauhan dari jendela rumahnya.

"Kau saja yang kesini!" Radi yang tadi nya sosok anak kecil yang ramah berubah menjadi pria yang dingin.

"Tch, gitu doang ga mau!"

"Gamau lah, males aku."

Percakapan mereka berdua berlangsung lama, Aqila menjadi teman dekat nya Radi setelah kepergian ayahnya. Ibu Radi sangat senang melihat anak nya mau bersosialisasi kembali dengan orang lain.

"Aqila makan dulu sini!" kerap kali aqila makan di rumah nya, karena ibu Serina juga menyayangi teman anaknya itu.

"Ini nak, ibu bawakan kue buat dimakan di rumah." ujar ibu pada aqila yang selalu pulang petang.

"Makasih buk, aku suka kue yang ini!" seraya menunjuk kue sus di keranjang.

Aqila pun pulang dengan mimik wajah gembira membawa pulang kue kesukaannya.

******

Ayam berkokok lebih awal pagi ini, kicau burung di pagi hari menambah keasrian desa Mungunsari itu.

Para petani keluar dari pintu rumah nya masing masing dengan tujuan yang sama yaitu untuk hasil panen yang memuaskan, Radi menatapi semua itu di depan jendela dalam kamar kecil nya.

Ia kemudian mulai berkhayal menjadi pahlawan super layaknya anak kecil pada umumnya.

Radi kembali pada pelukan ibu nya mengingat kembali kejadian Ayahnya. Itu juga yang membuatnya takut untuk keluar dan membantu ibu nya di rumah, karena bagi nya harta berharga yang dia miliki tinggal satu, dan dia tidak ingin kejadian yang sama terulang kali.