webnovel

I Found

Aku dan kamu yang terpisah oleh jarak Aku dan kamu yang terpisah oleh waktu Aku dan kamu yang terpisah oleh kepercayaan Tapi itu dulu. . . Dulu aku dengan susah payah mencari mu Dulu aku dengan susah payah mencari kabar mu Dulu aku dengan susah payah mencari dimana keberadaan mu But now, i'm find you ---- Lalu kalimat aku dan kamu pun sekarang berubah menjadi kata kita

Unichias · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
26 Chs

Unwanted

[jangan lupa vomment ya say:) buat cerita itu enggak segampang membalikkan tangan.]

"Dok, boleh saya tau keadaan kedua orangtua saya?" tanya Yevan dengan napas tersengal - sengal.

"Anda ...."

"Saya anaknya, Dok."

"Baiklah, Pak. mari ikut saya ke ruangan," ucap dokter dengan mata sipit itu berjalan mendahului Yevan.

Bagai tersambar petir, saat Yevan sedang bersantai di kamar Ia mendapat sebuah telpon dari rumah sakit yang mengabarkan kedua orangtuanya mengalami kecelakaan tunggal.

"Pak, kedua orangtua anda mengalami luka yang sangat serius kondisi mereka saat ini sangatlah kritis." Dokter itu memperlihatkan sebuah scan  X-Ray yang baru saja Ia ambil.

"Tapi, orangtua saya masih bisa selamat, kan?" tanya Yevan.

"kemungkinan selamat 8% , Pak."

Yevan mengusap kasar wajahnya setelah mendengar penjelasan dokter tersebut. Ia membayangkan yang tidak - tidak mengenai kondisi kedua orangtuanya.

Ia takut kehilangan kedua orangtuanya.

"Tapi, kita tidak bisa berpaku pada prediksi medis ...."

"Maksudnya ... masih ada—"

"Iya, Pak."

***

"

Van,"

Yevan hampir terperanjat saat melihat keempat sahabatnya berdiri di hadapannya. Ia belum memberi tahu kan masalah ini kepadanya.

"Kalian kok di sini?" tanya Yevan.

"Iya, kita pasti di sini, Van."

"Kita berempat tau dari Rachel," jawab Marshall.

"Rachel?"

"Iya, gimana keadaan orangtuamu, Van?" tanya Radya.

Yevan menunduk. "kritis, Rad."

"Ya Tuhan ... Kok, bisa sih gimana ceritanya?" tanya Radya ikut duduk di sebelah Yevan.

"Enggak tau, Rad. polisi juga belum bilang penyebab pastinya," jawab Yevan.

Andre menepuk pelan pundak Yevan. " sabar ya, Van. jangan diam aja do'a juga."

Yevan hanya mengangguk mengiyakan usul Andre. Ia butuh tempat curhat sekarang. Ia membutuhkan Airen di sini.

Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan kepada Airen.

"Airen ... apa kamu sedang sibuk?"

"Van, kamu udah makan?" tanya Andre dengan seksama.

Yevan menggeleng pelan. " belum."

"Ya udah, aku beliin makanan ya di kafetaria," kata Yudhit.

"Enggak usah, dhit," tolak Yevan cepat.

"Kenapa??" tanya Yudhit lagi.

"Aku enggak lapar," gumam Yevan.

"Sembilan jam di rumah sakit tanpa pergi kecuali ke toilet, kamu enggak lapar?? Van, kamu kelihatan lemas banget." Radya berkacak pinggang di hadapan Yevan dan ketiga teman lainnya.

Yevan menunduk perlahan tanpa sepatah kata, faktanya kondisi kedua orangtuanya membuat tak bersemangat melakukan apa - apa.

"Dengar aku, gadis itu pasti enggak mau kamu ikut down karena hal ini," ucap Marshall ikut membujuk Yevan.

"Ah iya! gadis itu ... pasti Ia bisa membuat mu semangat, kan!" cetus Radya.

"Aku enggak ngerti apa yang kalian bicarakan di sini."

lagi - lagi Yevan termenung menunggu sebuah notif dari ponselnya.

"Ren ... kenapa enggak di balas?? apa kamu nolak aku?? apa kamu cuma anggap aku teman?? aku butuh tempat curhat sekarang Ren ...."

tak lama kemudian Rachel datang dengan tas bekal di tangan kirinya, Rachel sangat bersemangat melangkah menghampiri Yevan yang termenung.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Andre agak sinis.

Rachel membalas, "Apa urusan kalian, aku ke sini buat my prince."

"Hel, ini bukan waktu yang tepat buat ganjen sama Yevan. kamu tau kan ... orangtua Yevan sekarang ada di dalam sana. jangan buat Yevan semakin kacau," kata Radya.

"Aku tau kok, justru aku ke sini tuh karena aku sayang sama Yevan, sama om Ronald juga tante Esther! enggak seperti ... siapa gadis itu yang baru dekat sama Yevan ...."

Yevan menghela napas. " Kamu enggak berhak berlaku seperti itu sama Airen, walaupun kamu lebih dekat sama aku ketimbang Airen ... aku tau mana yang lebih baik di antara kalian."

"Yevan ... apa aku kurang di mata kamu?" tanya Rachel.

Yevan memutar bola matanya letih, Ia tidak bisa menjabarkan pandangannya pada Rachel karena Ia sendiri sedang depresi  karena orangtuanya yang kritis di ruang ICU.

"Yev, aku tau aku memang ce—"

"Sudah Hel, sudah! kamu makin buat dia stress!" sentak Yudhit gemas dengan gadis di hadapannya itu.

Karena kesal Rachel pergi meninggalkan Yevan, Yudhit, Andre, dan Marshall tanpa sepatah kata. juga tanpa memberikan bekal yang sudah di buatnya.

***

Sore itu Yevan kembali menemui polisi yang menyisir tkp kecelakaan kedua orangtuanya bersama dengan Radya.

"Kamu yakin? pak Doni kantornya di sini?" tanya Radya tak yakin.

"Mereka yang menelponku dan memberikan alamat ini," jawab Yevan.

Karena jawaban Yevan, Radya berjalan mendahului Yevan dan mengetuk pelan kaca pos jaga.

Seorang polisi dengan tubuh tegap muncul dengan seragam lengkap.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya polisi tersebut.

"Maaf, Pak mengganggu waktunya ... saya mau nanya apa di sini ada Opsir Doni? teman saya ada perlu dengan beliau,"

"pak Doni ada di ruang lobi Pak, kebetulan dia yang bertugas hari ini."

"Kalau begitu terima kasih, Pak. sekali lagi maaf sudah mengganggu waktunya," ucap Radya.

"Sudah kewajiban saya, Pak. silahkan masuk."

Setelah mereka di persilahkan masuk, Yevan menjadi agak murung entah karena apa. Radya pun merasakan sebuah perasaan janggal di dalam bathinnya.

"Mas Yevan ya?" Seorang polisi dengan tubuh tambun menyapa Yevan dan Radya.

Yevan mengangguk. "Iya, Pak saya Yevan ... ini teman saya Radya."

"Saya Radya, Pak."

"Senang bertemu dengan mas Yevan dan Mas Radya,  mari ikut saya ke dalam. ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada mas Yevan."

Tanpa menunggu lama Yevan dan Radya mengikuti Pak Doni yang berjalan ke sebuah ruangan berukuran 3×4 m. ruangan dengan meja kerja dan set sofa di depannya.

"Mas Yevan, saya menemukan ini di tkp." Pak Doni meyerahkan sebuah plastik cetik yang berisi gelang dengan mutiara yang sudah hancur tak berbentuk.

"Ini milik siapa, Pak?" tanya Radya heran.

"Justru itu, Mas. saya mengundang anda ... Apa ini milik ibu, Mas?" tanya Pak Doni.

Yevan menggeleng. "Mama enggak pernah pakai gelang begini, mama enggak ngoleksi mutiara begini."

"Jadi, ini milik orang lain??" Radya ikut keheranan.

"Sepertinya iya, Pak Doni bisa cari orang itu?" tanya Yevan penuh harap.

"Nanti kami cari di CCTV ya Mas, kebetulan di sana ada CCTV lampu merah," jawab Pak Doni

Tririring ... tririring ...

dering memekakkan telinga itu menyela pembicaraan mereka bertiga, Yevan mengeluarkan ponselnya dengan kesal. Ia merasa sangat kesal beribu kesal ketika ada yang menelpon saat ada urusan penting.

Namun, setelah menyadari bahwa itu dari rumah sakit dengan segera Yevan meminta izin untuk mengangkat telpon itu.

"Halo ini saya Yevan,"

" ...."

"A—a-apa?"

" ...."

"Ini mimpi, kan? kalian berbohong, kan?"

Radya ikut berdiri setelah melihat ekspresi Yevan yang tidak dapat di deskripsi kan dengan kata - kata.

"Kenapa, Van?"

Yevan masih saja melamun dengan ponsel di telinga kirinya.