webnovel

I Found

Aku dan kamu yang terpisah oleh jarak Aku dan kamu yang terpisah oleh waktu Aku dan kamu yang terpisah oleh kepercayaan Tapi itu dulu. . . Dulu aku dengan susah payah mencari mu Dulu aku dengan susah payah mencari kabar mu Dulu aku dengan susah payah mencari dimana keberadaan mu But now, i'm find you ---- Lalu kalimat aku dan kamu pun sekarang berubah menjadi kata kita

Unichias · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
26 Chs

Universe

❝𝐴𝑘𝑢 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑟𝑖 𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑒𝑠𝑡𝑎, 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑎𝑘𝑢 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛𝑚𝑢 𝑙𝑎𝑔𝑖. 𝑎𝑘𝑢 𝑡𝑎𝑘𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑙𝑒𝑝𝑎𝑠𝑘𝑎𝑛𝑚𝑢, 𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑖𝑘𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙 𝑎𝑝𝑎𝑝𝑢𝑛. 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑏𝑒𝑏𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎 𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑛𝑎𝑚𝑢𝑛, 𝑎𝑘𝑢 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑚𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔𝑔𝑖𝑙𝑚𝑢.❞

_____________________

Pagi-pagi sekali, aku bangun dan segera membersihkan diri. beberapa hari yang lalu, Ayah Aisha sudah melewati masa kritisnya. tapi, aku belum berani memberitahunya bahwa Aisha di tahan di kantor polisi.

Aku tidak mau membuatnya kembali down karena anak semata wayangnya di tahan karena tuduhan yang belum terbukti kebenarannya.

Pak Yacob sendiri sudah mencari jalan keluar untuk masalah Aisha, kebetulan saat Ia ikut menyelidiki TKP ada polisi lalu lintas yang mengatakan bahwa Aisha menerima sesuatu dari pria jangkung dan rambut lurus agak panjang.

Dengan ciri-ciri itu pihak kepolisian mulai mencari tersangka juga dengan bantuan sidik jari yang tertinggal di plastik terluar.

"Masih pagi mau ke mana?" tanya Andre padaku.

"Mau jenguk ayah Aisha," jawabku.

Andre berdecak. " Undangan kemarin sudah kamu baca belum?"

Aku menggeleng."Nanti ajalah, aku berangkat dulu ya."

Kudengar dari jauh, Andre masih berusaha memanggilku tapi, waktu sudah terlalu siang untuk mengobrol terlebih dahulu, Aku harus sampai pukul 8 tepat karena Ayah Aisha juga harus minum obat.

Setelah memasang sabuk pengaman, aku menginjak pedal gas mobilku. mobil itu melaju dengan kecepatan rata-rata.

Entah sejak kapan, aku mulai meninggalkan sepedaku. aku sadar jika sudah banyak perubahan dalam hidupku.

***

"Nak, Yevan ... apa Aisha belum pulang kemah??" tanya Ayah Aisha lirih.

Ya, aku terpaksa berbohong jikalau Aisha harus mengikuti kemah dan beberapa kegiatan lainnya.

Memang mungkin agak terlalu aneh di telinga beliau karena Aisha adalah siswi kelas 3 SMA dan tidak mungkin mengikuti acara kemah.

"Belum, Pak, ini aku bawakan sarapan untuk Bapak," ucapku sembari mengeluarkan tempat bekal yang kubawa dari rumah.

Ya, aku sengaja bangun bagi untuk memasakkan sup ayam dengan resep peninggalan mama. karena di dalam sup ini banyak rempah-rempah yang mempercepat pemulihan.

"Repot sekali, Nak," ucap Ayah Aisha lirih.

"Enggak kok, Pak, lagipula sebelum Aisha berangkat kemah Ia titip pesan ke Yevan supaya Yevan ngurusin Bapak," elakku.

Ayah Aisha tersenyum simpul di balik raut pucatnya, Sebentar kemudian Ia memegang tanganku.

"Nak, boleh Bapak minta tolong?" tanyanya.

Aku mengangguk kecil."Tentu, Pak, apa yang bisa Yevan bantu?"

Ayah Aisha membenarkan posisi tubuhnya, sedikit kubantu juga, kini kami saling berhadapan. beliau tetap menggenggam tanganku.

"Nak, kalau Bapak meninggal ... tolong antar Aisha ke ibu kandungnya atau ke ibu tirinya."

"Ta-tapi Pak, kenapa Bapak ngomong gitu?? Bapak kan sebentar lagi sudah sembuh," tukasku agak terkejut dengan permintaanya.

"Kamu punya Handphone? tolong rekam Bapak, supaya nanti kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa ke Aisha," Kata Ayah Aisha.

Aku semakin salah tingkah dengan permintaan Ayah Aisha yang sedikit aneh, kenapa beliau berkata seolah beliau tau waktunya sudah tidak lama lagi.

Aku tersenyum."Nanti dulu ya, Pak, sekarang ... Bapak makan dulu."

Ayah Aisha hanya mengangguk.

Manut.

"Nak, kalau kamu sudah punya istri jangan sia-siakan istri kamu, ya. Jangan egois," gumam Ayah Aisha.

"Iya, Pak, aku akan ingat kata-kata Bapak," jawabku dengan penuh khidmat.

***

Aku mulai membuka pintu agak reyot yang menjadi pintu utama di rumah Aisha, kebetulan tadi sore sebelum aku pulang menjaga Ayah Aisha aku di beri amanah untuk mengambil beberapa dokumen penting di lemari miliknya.

Namun, aku tidak sendiri aku juga mengajak Andre dan Radya untuk ikut lantas setelah itu kami bertiga makan di luar.

"Aku nunggu di sini dulu ya," ucap Andre.

Radya mengangguk."Aku juga ya, Van."

Aku hanya mengangguk menjawab permintaan mereka, sedetik kemudian aku masuk ke dalam rumah tersebut

rumah yang bisa di bilang minimalis walaupun hanya terbuat dari kayu-kayu di makan rayap.

Aku mencari saklar lampu ruang tengah agar ruangan tersebut tidak terlalu gelap. sedikit kuperhatikan bahwa lantai rumah Aisha sangat kotor oleh percikan tanah yang tercipta karena air hujan beberapa hari yang lalu.

'mungkin aku bisa meminta tolong Joselin untuk mencari beberapa tukang'

"Van, di sini enggak ada rumah lain?" tanya Andre.

"Ada di ujung jalan," jawabku.

"Busyet ... enggak kebayang kalau tinggal jauh dari rumah tetangga," gumam Andre kemudian.

Aku mengedik tak menghiraukannya, aku segera pergi mencari kamar Ayah Aisha yang ada di seberang dapur.

krieeet!

Pintu tersebut berderit saat kubuka, jelas sekali bahwa engsel pintu sudah tidak layak.

sedikit memekakkan telinga namun, mau bagaimana lagi? aku harus tetap menjalankan amanah dari Ayah Aisha.

"Dimana lemarinya?" Aku merotasikan bola mata mencari sebuah benda yang di namakan lemari.

Beberapa menit kemudian aku menemukan bangun ruang berbentuk persegi panjang di ujung tempat tidur.

Aku pun menghampirinya, membuka dengan perlahan.

Aroma kapur barus mulai menusuk indra penciumanku saat lemari itu terbuka dengan sempurna.

sesuai pesan Ayah Aisha aku langsung menyelipkan jemari di bawah tumpukan pakaian yang ada di bilik ke dua.

benar.

Di sana ada sebuah Mapfile berukuran lumayan yang berisi beberapa surat penting, aku membukanya untuk memastikan itu adalah surat yang di maksud Ayah Aisha.

"Van, buruan lapar nih!" teriak Andre membuatku sedikit gelagapan.

Jujur, ada kalanya aku merasa gemas melihat tingkahnya yang seperti perempuan namun, aku juga bersyukur karena Andre aku bisa tetap mengerjakan tugas kuliah.

Aku menenteng mapfile itu lantas menutup lemari. setelah itu aku kembali menghampiri Andre dan Radya yang menunggu di halaman depan.

"Lapar nih, makan di tempat biasa kuy!" ajak Andre sembari mengelus perut datarnya.

"Iya-iya bentar," ucapku.

***

"Busyet! tadi tuh beneran banyak nyamuk di rumahnya, kok betah sih ih?" tanya Andre dengan ekspresi tak suka.

"Hush! gitu-gitu rumah itu masih layak di tinggali," tegur Radya menudingkan garpunya.

Aku hanya diam, sibuk dengan Ravioli pesananku.

"Yevan, terus gimana perusahaan ayah kamu?" tanya Radya.

"Ya gitu," jawabku.

"Pusing pasti, tapi ... setidaknya kamu bisa lebih pintar dalam bisnis," ujar Radya.

"Yeah, I've also thought like that," jawabku.

Aku menyesap cappucino yang ada di sebelah piringku, begitupun juga Andre yang menyesap milkshakenya.

"Kamu beneran enggak pengen ngelihat undangan kemaren??" tanya Andre dengan nada agak menyelidik.

Aku terkekeh kecil."Kapan sih, Yudhit nikah sama Yoko?"

Mendadak ekspresi mereka berdua terlihat canggung denganku, Radya meletakkan sendok garpunya.

"Sebenarnya ... yang nikah itu-"

"Nanti aja kamu lihat sendiri," potong Andre seperti menutupi sesuatu.

'apasih?? kok tumben main secret segala'

"Aku serius nanya," gumamku.

Radya diam tak berani buka suara, sementara itu Andre sibuk dengan makanannya. ini terlihat sangat aneh, aku tau mereka tidak akan menyembunyikan sesuatu dariku.

Apa ini cuma perasaanku? siapa yang mengirimi undangan??

pertanyaan itu semakin membebani pemikiranku, entahlah mungkin sepulang dari cafe aku akan melihat undangan itu.

Tak menunggu lama kami bertiga selesai menyantap makanan di cafe tersebut.

kami bertiga akan pulang sekarang.

tapi, sebelum pulang aku sengaja menyuruh mereka duluan ke parkiran sementara aku yang membayar makanan itu sekalian memesankan makan untuk Yudhit yang kebetulan tidak ikut.

"Mbak, meja nomor 9 sama pesan paket japanese food," ucapku begitu sampai di hadapan kasir muda yang mengurus adminitrasi cafe tersebut.

"Japanese food yang Himawari atau Kirei, Pak?" tanya kasir itu.

"Keduanya."

Kasir itu mengangguk lantas memberitahukan rekannya yang di bagian pastry untuk menyerahkan dua paket makanan yang kupesan

"Tiga ratus empat puluh sembilan ribu, Pak," kata kasir tersebut setelah beberapa saat mengutak-atik komputer di hadapannya.

Aku menyerahkan empat lembar uang seratus ribu dan mengambil bungkusan itu seraya melangkah meninggalkan tempat itu. baru satu langkah kasir itu kembali memanggil.

"Ambil saja uang itu, kalau tidak mau masukkan ke kotak di sebelahmu," kataku.

Setelah itu aku berjalan menuju parkiran yang tak jauh dari pintu masuk.

"Stop! bastard stop !! kalian bisa saling melukai stop it!"

Aku mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar teriakan itu dari parkiran, sedikit mengingat suara familiar tersebut.

"listen to me ! What are you doing ?! Stupid bastard !!"

Setelah mendengar teriakan itu untuk ke dua kalinya, aku bergegas ke parkiran melihat apa yang terjadi di sana.

Banyak orang yang berkerumun di dekat parkiran mobilku, hingga aku tak dapat melihat apa yang terjadi.

'ada apa ini ?'

Aku semakin mempercepat langkahku dan menyisir penonton dengan sedikit kasar, Aku hampir jatuh tersungkur saat melihat apa yang terjadi di hadapanku.

"Apa yang terjadi?!" tanyaku pada Radya yang masih berusaha memisahkan mereka.

"I DON'T KNOW!! bantu aku sekarang." Radya menghiraukanku sembari menghalangi tangan Andre yang ingin menghantam Marshall dengan tinju mentah.

'Tuhan! apalagi ini?!'

Aku menarik Marshall menjauh dari Andre, berharap masalah itu cepat selesai.

"Kalian semua bisa pergi sekarang, ini bukan tontonan," kataku dingin pada para penonton yang kurang kerjaan itu.

"Untuk apa kamu masih menolong bajingan ini?! kemarikan dia, biar aku hajar!" Andre berbicara dengan nada keras, sesekali Ia ingin lepas dari cengkraman Radya.

Tumben sekali Andre dan Marshall berkelahi sampai separah ini, Aku melirik Marshall yang sudah lebam-lebam. Ia terengah-engah melihat Andre dengan penuh emosi.

Aku tidak tau apa yang sedang terjadi di antara mereka mereka saat itu, aku hanya bisa menahan Marshall agar tidak di hajar oleh Andre.

"Kalian ini gila atau kenapa?! ini tempat umum guys tempat umum, kalian ingin jadi tontonan?" tanya Radya ikut terpancing emosi.

Andre mengelak, " Kamu membela manusia tidak tau di untung itu?!"

"Masih ada cara lain, kita bisa selesaikan ini-"

"lepas," celetuk Marshall menepis tubuhku kasar.

"Lihat, bajingan ini!"

Bugh!

Satu tinju mentah kembali mendarat di pipi kanan Marshall hingga membuatnya tersungkur di tanah, darah segar pun mulai keluar dari sudut bibirnya.

"Hentikan Ndre!! hentikan!!" teriak Radya kembali menarik Andre.

"Manusia sepertimu pantas di hajar!" ketus Andre.

Aku mengulurkan tangan kepada Marshall yang masih terdiam di tanah, aku tau ia menatap uluran tanganku.

Dan lagi-lagi ia menepisnya kasar, kudengar Andre masih menyumpah serapahi Marshall.

"Manusia bajingan sepertiku lebih pintar dari manusia suci sepertimu," ujar Marshall dengan seringaian yang sulit di definisikan.

Sungguh.

Ini bukan Marshall yang kukenal, Ia sangat kaku sekarang.

Andre semakin terpancing emosi dan ingin memberi tinjuan lagi untuk Marshall namun, sayang ia tertahan oleh cengkraman Radya.

"Teman macam apa dirimu?! harusnya kamu dukung dia, bukan nyakitin dia! pakai otak kalau mau bertindak!!" seru Andre.

"Teman macam apa? sedangkan kamu saja tidak pakai otak saat memberiku tinju mentah yang terasa kecut ini, hmmm bukannya kita imbang?" tanya Marshall sedikit mengejek.

"Kita bisa selesaikan ini di rumah, ayo kita pulang jangan ribut di tempat umum." Aku menengahi keduanya.

"Enggak, terima kasih. satu hal yang perlu kamu tau, aku begini karena kamu juga dan sebelum kamu berubah aku enggak bakal berhenti," ucap Marshall kepadaku dengan nada sinis.

"Bajingan!"

"Cih, dasar manusia bodoh!" ketus Marshall sebelum meninggalkan kami bertiga.

'aku yang membuatnya begitu? kenapa??'

Aku melirik Andre yang masih tak terima dengan perlakuan Marshall.

"Apa yang kalian permasalahkan?" tanyaku.

"Lebih baik sekarang kita pulang," gumam Radya.

Tbc...

jangan lupa Vote and comment :")