webnovel

I Found

Aku dan kamu yang terpisah oleh jarak Aku dan kamu yang terpisah oleh waktu Aku dan kamu yang terpisah oleh kepercayaan Tapi itu dulu. . . Dulu aku dengan susah payah mencari mu Dulu aku dengan susah payah mencari kabar mu Dulu aku dengan susah payah mencari dimana keberadaan mu But now, i'm find you ---- Lalu kalimat aku dan kamu pun sekarang berubah menjadi kata kita

Unichias · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
26 Chs

Therefore

Jangan lupa meninggalkan jejak untuk penulis ampas ini dear

_________________________

Tepat pukul 17.03 WIB, aku melajukan mobil yang kukendarai menuju kota Malang.

sesekali aku melirik Aisha yang duduk di jok belakang dengan Rachel yang memaksa ikut.

Sementara di sebelah jok kemudi, duduklah Pak Yacob. Ya, aku sengaja mengajaknya untuk ikut ke Malang.

"Pak, saya agak khawatir kalau keluarganya sudah pindah soalnya informasi yang saya dapat kurang meyakinkan," celetuk Pak Yacob.

"Kita cek aja dulu, Pak, siapa tau dengan ke sana kita dapat informasi baru." kataku.

Pak Yacob mengangguk mengerti, sementara itu aku terus mencoba fokus pada jalanan lengang di depanku. cukup sedikit kendaraan hari ini.

Sekali lagi aku melirik Aisha yang duduk di jok belakang, "Kalau kamu capek tidur aja dulu."

"Enggak kok, Kak," jawabnya.

"Kita bisa sampai seharian di jalan, jadi kalau kalian mengantuk tidur aja," kataku lagi.

"Iya aku mengerti," sahut Rachel. "Ngomong-ngomong kenapa ayahmu menikah lagi?"

"Aku enggak tau Kak, yang aku tau cuma istri pertama almarhum ayah enggak setuju kalau ayah menikah lagi jadi dia pergi dari rumah," jawab Aisha.

"Sementara ibu kandungmu sendiri ke mana?" tanya Rachel lagi.

Aisha terdiam sejenak. "Ibu kandungku ... sepertinya dia sudah bahagia dengan kehidupan barunya."

"Maksudnya ...."

"Ibu kandungku menikah lagi dengan seorang pria kaya, aku sendiri enggak tau aku ini dianggap apa olehnya beberapa waktu lalu kami ke rumahnya. dan dengan sebelah mata ia mengusirku, padahal di dalam diriku juga ada darahnya," jelas Aisha dengan mata nanar.

"Maka dari itu Rachel, jangan berbuat bodoh lagi ... anak di perutmu pasti punya perasaan yang sama dengan Aisha," sahutku.

"Aku enggak tau Van, aku sendiri juga masih bingung bagaimana ke depannya," kata Rachel.

"Kurasa kamu bisa menatanya, dengan perlahan ... percaya padaku, untuk urusan Rancho bisa kita pikirkan belakangan," jawabku.

"Boleh aku bertanya juga, Kak?" tanya Aisha melirik Rachel.

"Ya."

"Kenapa Ibu kakak menikah lagi?" tanya Aisha.

"Aku juga enggak paham, yang aku tau semua keluarga ayah tiriku enggak pernah menginginkan aku masuk di keluarga mereka," kata Rachel. "Tapi, aku juga masih berharap bisa bertemu dengannya."

"Pasti ada jalan keluarnya," gumam Pak Yacob. " Sebagai manusia, kita harus bisa menerima segala hal yang telah di gariskan oleh Tuhan ... tetap berdo'a dan mendekatkan diri kepada-Nya."

Kami bertiga mengangguk pelan mengiyakan perkataan Pak Yacob, sementara itu aku membelokkan mobil ke sebuah SPBU.

Ya, kami baru saja keluar dari gapura Porong, Sidoarjo dan aku hendak mengisi bensin juga membeli beberapa snack di toko SPBU.

"Kak, memangnya Malang itu masih jauh banget ya? kasihan Kak Rachel kalau harus berjam-jam duduk." Aisha memajukkan tubuhnya agar aku bisa mendengarkannya.

"Mungkin 12 jam lagi kita akan sampai, mungkin nanti kita akan istirahat di motel," kataku sebelum keluar menemui petugas SPBU.

***

"Maaf mas, boleh numpang tanya?" Aku menemui beberapa orang laki-laki berusia sekitar 25 tahunan ke atas yang sedang bersenda gurau di poskamling.

"Iya mas, ada apa ya?" tanyanya balik.

"Gini mas, saya kan bukan orang asli sini ... saya dari Surabaya, apa di sini ada penginapan ya mas??" tanyaku.

"waduuuh ... let penginapan yo arang kadhing mas, ora pathek ono nek daerah kene ki ...."  jawab salah seorang dari mereka.

Aku menghela napas. "Eum ... kalau rumah sakit atau pukesmas ada mas??"

"Puskemas ono mas, ndhek tikungan ngarep belok ngiri mengko ono papan gedhi. nah kuwi puskemas," jelasnya.

Aku tersenyum lega mendengar ada tempat yang bisa kami singgahi sebentar. " Kalau begitu terima kasih banyak mas."

Salah satu dari mereka bertanya lagi, "Lha mas tujuannya ke mana? kok let di sawang akeh sisan gawanane?"

"Oh saya mau ke Malang, mas," jawabku.

Mereka semua mengangguk cepat lantas mempersilahkanku beranjak dari hadapan mereka.

"Gimana, Kak?" tanya Aisha dengan wajah khawatir.

"Ada Pukesmas di depan sana, kita ke sana dulu ya ... ini minum dulu Hel, tarik napas dalam-dalam jangan banyak gerak dulu," kataku.

Rachel memegangi plushie yang diberikan oleh Aisha, wajahnya terlihat sangat pucat karena menahan rasa sakit.

"Tahan ya Kak, sebentar lagi kita ke pukesmas," kata Aisha lirih.

"Pak Yevan, apa saya perlu memanggil am—"

"Kita periksa ke depan dulu ya, Pak," potongku langsung menginjak pedal gas.

Setelah beberapa meter dari poskamling aku melihat sebuah tikungan yang berbelok ke kanan, aku mengurangi kecepatan mobilku dan melirik ke plang besar yang terpasang di kiri.

"Kak, cepatan ... Kak Rachel keburu kesakitan," ucap Aisha.

"I-iya."

Aku membelokkan stir mobil ke arah kiri, tanpa pikir panjang aku segera melajukan mobil langsung ke depan lobi. 

"Maaf Pak tapi, anda harusnya memarkir mobil dulu," sambut satpam tersebut dengan wajah kesal.

Aku menghiraukannya dan segera memanggil beberapa perawat untuk membawa ranjang dorong. Sementara itu Pak Yacob dan Aisha membantu Rachel keluar dari mobil.

"Kalian ke dalam duluan ya, biar aku urus administrasinya," ucapku pada Aisha.

Aku segera menyelesaikan adminitrasi di resepsionis dan segera memindahkan mobil ke parkiran yang ada di sebelah utara.

Setelah memarkirkan mobil, aku berjalan dengan langkah pelan menuju lobi utama.

malam itu langit terlihat sangat gelap tanpa taburan bintang.

sepertinya akan hujan, bathinku.

Udaranya juga semakin membuat bulu kuduk meremang.

***

Matahari sudah terbit di ufuk timur saat kami baru saja keluar dari bangsal rawat inap. seharusnya kami sudah sampai di Malang pagi ini namun, karena kendala ini kami harus beristirahat sejenak di pukesmas.

"Kalau kakak enggak kuat, kakak bisa kok minta istirahat di sini," kata Aisha.

"Aku sudah merasa baik-baik aja sekarang,"  gumam Rachel lirih.

"Benaran? Aku takut kakak ngedrop lagi karena kecapekan," ujar Aisha.

Rachel mengulas sebuah senyum kecil. "Kamu bukan siapa-siapaku tapi, kenapa kamu baik sekali?"

"Aku ... sudah terbiasa membantu orang yang kesulitan, Kak," ucap Aisha.

Aku mengulurkan tangan untuk membukakan pintu mobil. "Masuklah, kemungkinan siang nanti kita akan sampai sekarang kita cari makan terlebih dahulu."

Hampir 5 jam lamanya kami menghabiskan waktu di perjalanan akhirnya kami sampai di sebuah desa kecil yang bisa di bilang hampir pelosok di kota Malang.

Jalan yang ada di desa tersebut hanya satu jalur dan kami perlu perjuangan khusus untuk melewatinya.

"Suasananya masih tenteram banget," ucap Rachel saat melihat hamparan sawah luas nan berhektar-hektar.

Sesekali ia mengeluarkan ponselnya untuk memotret gambar.

"di sini jarang rumah Pak, tadi itu kira-kira sudah 3 meter jaraknya." Pak Yacob membuka jendela di sebelahnya.

Tak lupa ia mengecek signal yang di tangkap oleh gawainya. Aku sendiri tetap terjaga dengan jalanan di depanku sesekali melirik Aisha yang tertidur pulas di samping Rachel.

Sedari tadi malam, Aisha tidak tidur demi menjaga Rachel di pukesmas dan sekarang mereka bertukar posisi.

Entah, bagaimana bisa aku berpikir bahwa Aisha dan  Rachel mempunyai ikatan bathin.

"Yevan, apa kamu yakin setelah ini ada perumahan lagi? ini sudah sangat jarang rumah," kata Rachel kemudian.

"Coba saja dulu," kataku.

Aku agak memperlaju kecepatan mobilku agar lebih cepat sampai, cukup jauh dengan rumah-rumah sebelumnya. ada sebuah rumah joglo dengan cat krem namun, rumah tersebut sudah di penuhi sulur tanaman liar.

gerbang di depan pun sudah sangat rusak, bertagar dan susah di buka. Aku mencoba memanggil si pemilik rumah.

"permisi ...."

Aku mencoba untuk mengetuk pagar tersebut, berharap akan ada orang yang keluar.

"Sepi sekali, Pak, rumah ini sudah tak berpenghuni mungkin," kata Pak Yacob.

"Benar, Kak," sahut Aisha.

"Coba tunggu seb—"

"Maaf Mas, mencari siapa?" tanya seorang pria baya yang memakai pakaian kotor dan menggenggam cangkul.

"Kami mencari keluarga Pak Ibnu, Pak," jawabku mewakili.

Pria baya itu berpikir sejenak. "Pak Ibnu yang mana ya, Mas? setahu saya rumah ini sudah kosong sejak saya datang ke desa ini."

"Pak Ibnu Syalendra, Pak," sahut Aisha.

"Pak Ibnu Syalendra ... maaf Mas-Mbak, saya kurang tahu tapi, ada baiknya kalau Mas bertanya ke ketua RT langsung," jawab  pria itu.

"Iya biasanyakan, ketua RT punya cacatan kependudukan," ucap Rachel.

"Baiklah kalau begitu, kalau boleh tahu rumah ketua RT nya di mana ya, Pak?" tanyaku kemudian.

"Enggak jauh dari sini mas, rumah warna hijau tua di depan sana." Pria tersebut mengulurkan tangannya ke arah depan.

"Di bawah pohon itu, Pak?" tanya Pak Yacob.

"Enggak mas, di depannya maju sedikit."

"Kalau begitu terima kasih ya, Pak," kataku.

" Sama-sama, Mas."

Setelah berpamitan ke rumah ketua RT, pria itu pergi berlawanan arah dengan kami.

Kami pun segera bergegas mencari rumah yang sudah di tunjukan oleh pria tersebut.

Tak jauh dari rumah joglo itu, Aku memberhentikan mobil tepat di bawah pohon angsana.

"Kak, ini rumah ketua RTnya?" tanya Aisha agak heran.

Aku menoleh sembari melepas sabuk pengaman. "Tunggu dulu di sini ya."

Aisha mengangguk pelan, tanpa pikir panjang aku keluar dari mobil.

berjalan pelan menghampiri ambang pintu rumah tersebut.

Walaupun terlihat agak lebih besar dari rumah yang lain rumah ini juga termasuk kurang terawat karena di mana-mana ada lumpur berserakan.

"Permisi ...." panggilku lirih.

Butuh waktu beberapa  menit untuk menunggu empunya rumah keluar.

"Maaf mencari siapa ya, Nak?" tanya seorang Pria parubaya yang baru saja keluar dari dalam rumah.

"Maaf Pak, menganggu ... saya mau tanya apa ini benar rumah ketua RTnya ya?" tanyaku.

"Iya benar, Nak. ada keperluan apa ya? ayo masuk, kita bicarakan di dalam," ajaknya.

Aku melambaikan tangan menyuruh Aisha, Rachel, dan Pak Yacob untuk turun.

setelah itu kami di minta duduk di sebuah ruang tamu yang berukuran 3x4 tanpa sofa.

Cukup sederhana, tak lama kemudian muncul seorang gadis belia membawa nampan berisi teh panas.

"Di minum mas-mbak, maaf adanya cuma teh hangat," kata gadis itu.

"Terima kasih banyak ya," jawabku.

"Jadi Mas ... Mas ada keperluan apa??" tanya Pak Surya, si ketua RT.

"Begini Pak, saya dan teman-teman dari Surabaya jauh-jauh ke sini ingin mencari keluarga pak Ibnu Syalendra, Pak," kataku.

"Pak Ibnu Syalendra ... saya baru dengar Mas tapi, coba saya periksa dulu di buku pendataan," kata Pak Surya lalu mengambil sebuah buku besar.

Ia mencoba mencari dari halaman per halaman namun, sampai halaman terakhir pun Ia tak menunjukkan reaksi menemukan data keluarga Pak Ibnu.

"Pak Ibnu yang Mas maksud itu yang tinggal di rumah kosong itu?" tanya Pak Surya kemudian.

"Iya Pak, berdasarkan informasi yang saya dapat beliau ini pernah tinggal di rumah tersebut dengan istri dan kedua anaknya," jawab Pak Yacob.

"Sudah lama sekali pak Ibnu pindah, Mas, mungkin sudah 10 tahun lamanya." Pak Surya menutup buku besar tersebut. "Kalau Mas mau mencari keluarga pak Ibnu mungkin saya bisa bantu mengantar Mas ke sesepuh desa ini, beliau pernah menjabat sebagai ketua RT pada tahun 2008 lalu."

Aku melirik Aisha. "Bagaimana Sha?"

"Aku ikut Kakak aja, lagipula bagaimana dengan Kak Rachel?" tanya Aisha kemudian.

"Aku enggak apa-apa kok," timpal Rachel.

"Kalau bapak tidak keberatan, saya bersedia mengikuti saran bapak barusan," kataku.

***

"Pak Ibnu Syalendra itu cukup terkenal karena sifat dermawannya tapi, tidak menutup kemungkinan kalau pak Ibnu itu kurang beruntung," ucap seorang pria tua agak serak.

Cerutu yang sedari tadi ia pegang mulai habis terbakar, asapnya mengepul tinggi memenuhi area teras rumah joglo tersebut.

"Kalau boleh tahu ... istri pak Ibnu itu sekarang tinggal di mana ya?" tanya Pak Yacob.

"Dia pindah ke desa sebelah ... aku dengar dia menikah lagi dengan seorang gadis dari  desa itu," kata pria tua itu. "Kalau enggak salah asmane Safara."

"Sa—safara?" celetuk Rachel terbata.

"Dia menikah tanpa seizin Cahyani ... bisa di bilang pak Ibnu itu selingkuh," ucap Pria tua itu.

Aisha mengerjapkan matanya. "Selingkuh?"

"Ya, apa namanya kalau bukan selingkuh?" tanya pria tua itu lagi. "Perlu bertahun-tahun untuk sembuh dari luka lama ... istri pertama pak Ibnu minggat bersama ke dua anaknya ke kota seberang."

"ke kota seberang?" ulang Aisha.

"Kemungkinan mereka sudah hidup bahagia di sana," gumamnya.

"Apa enggak ada kabar mereka kembali ke sini, Pak?" tanya Pak Yacob.

"Selama ini aku belum mendengar mereka kembali," jawab Pria tua tersebut.

"Jadi ... aku anak selingkuhan ...," gumam Aisha.

"Kamu anaknya??" tanya Pria tua itu dengan mata memincing.

Lantas ia menghisap dalam-dalam cerutunya lalu menghembuskan asap tebal yang membumbung tinggi di udara.

"Jangan pernah datang di kehidupan orang yang sudah mulai lepas dari sulur masa lalu," gumamnya. "Sebaik apapun dirimu, mereka tidak akan pernah melupakan perbuatan ibumu."

Setelah pria itu berkata demikian aku melirik Aisha, dari sudut mataku aku menangkap Ia ingin menangis sekarang.

Tidak, bukan menangis tapi, malu dikatai anak seorang selingkuhan.

anak dari perusak rumah tangga orang lain.

"Kalau begitu terima kasih, Pak sudah membantu kami."