webnovel

I Found

Aku dan kamu yang terpisah oleh jarak Aku dan kamu yang terpisah oleh waktu Aku dan kamu yang terpisah oleh kepercayaan Tapi itu dulu. . . Dulu aku dengan susah payah mencari mu Dulu aku dengan susah payah mencari kabar mu Dulu aku dengan susah payah mencari dimana keberadaan mu But now, i'm find you ---- Lalu kalimat aku dan kamu pun sekarang berubah menjadi kata kita

Unichias · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
26 Chs

Soure

(jangan lupa tinggalkan vote dan comment :") jadilah pembaca yang bijak lahir bathin . eakkk!)

Sinar mentari pagi menyeruak ke dalam ruangan berukuran 4X5 cm itu membuat si empunya ruangan menggeliat malas sembari mengulurkan tangan ke sebuah nakas yang ada di samping kanan ranjang berukuran minimalis itu.

Ia mengernyit, saat menatap LCD ponselnya namun, Ia tetap berbaring di atas ranjangnya menatap langit-langit kamar.

Tak lama kemudian Ia bangkit dari tidurnya, berjalan tanpa alas kaki keluar dari kamar. Rumahnya yang sangat besar itu terasa sangat sunyi dibandingkan hari sebelumnya.

"Udah bangun?" tanya Radya yang baru saja keluar dari kamar tamu.

Yevan mengangguk."Kapan kamu pulang? kok aku enggak dengar?"

"Sekitar jam 9 malam, mungkin kamu ketiduran kali, capek pasti ngurus bisnis," kata Radya.

Mereka berdua beriringan menuruni anak tangga menuju lantai satu, tanpa pikir panjang setelah sampai di lantai satu Radya masuk ke area dapur dan menyiapkan 4 gelas mug tanggung.

"Lesu banget? kenapa?" tanya Andre.

"Enggak tau, badanku pegel semua." Yevan menjawab pertanyaan Andre sebelum akhirnya Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.

"Kalau ada masalah tuh bilang, jangan di pendam sendirian," ucap Andre kemudian.

"Aku enggak ada masalah, cuma capek aja," tukas Yevan.

Radya membawa keempat mug tanggung itu dengan nampan ke meja ruang tamu, Asap masih mengepul dari permukaan mug tersebut.

Aroma kopi flamboyan merembak di ruangan luas itu, Memecah suasana lelah ambigu di dalamnya.

Kleeek!

Semua mata menoleh menatap seseorang yang baru saja membuka pintu utama dengan nyaring, Yudhit berdiri di sana dengan pakaian trainingnya.

"Van," panggilnya pelan.

"Apa??" tanya Yevan agak bingung.

Yudhit mengangkat tangan kanannya menunjukkan sebuah kertas dengan warna maple dan ukiran-ukiran indah tercetak di atasnya.

"Kamu jadi nikah sama Yoko?" tanya Radya memecah keheningan.

Yudhit diam tak menjawab, Ia berjalan menuju tempat ketiga temannya itu.

lantas Ia menyerahkan kertas tersebut pada Yevan.

"Undangan??" tanya Andre.

Yudhit mengangguk.

"Dari siapa? kok—"

Yevan memberhentikan perkataannya setelah mendengar ponselnya berdering tak karuan di dalam saku celana.

Ia terdiam sejenak setelah melihat LCD ponselnya.

"Siapa?" tanya Radya penasaran.

"Enggak tau, nomor tanpa nama," ucap Yevan.

"Ya, udah, angkat gih. siapa tau Airen," pinta Andre.

Yevan pun mengklik ikon berwarna hijau.

"Halo."

"..."

"Hah?! apa? bicara yang tenang, jangan buru-buru."

"..."

"Ok, tunggu dulu."

Andre dan Radya saling berpandangan berkomunikasi tanpa suara, sementara Yudhit masih dengan kegusarannya.

***

Yevan berlari kecil ketika sampai di depan kantor polisi, bahkan Ia tidak sempat mengganti celana tidurnya dengan celana jeans.

Sungguh, seperti ada hal yang sangat penting menunggunya. pintu utama terbuka otomatis, Ia langsung berjalan menuju ruang lapor.

Klekk!

Yevan membuka pintu utama hingga menimbulkan suara yang keras, semua mata menatapnya.

"Silahkan duduk, Pak," sambut seorang polisi muda dengan rompi divisinya.

Yevan duduk di kursi yang sudah disediakan oleh mereka, perlahan Ia melihat gadis yang baru saja menelponnya tertunduk lesu di hadapan polisi itu.

"Sebenarnya ada apa ini?" tanya Yevan benar-benar bingung.

"Kamu tanyakan saja pada perempuan ini, dia mencampurkan formalin di ayam bahan Soto Lamongannya, buktinya sudah ada, kok?!" kecam seorang wanita muda dengan blouse fuscia.

Yevan melirik Aisha sebentar. "Maaf, Bu, tapi apa memang benar bukti itu bukti nyata?"

"Kurang nyata apa? anak saya sekarang ada di rumah sakit, di ruang PICU! karena keracunan formalin yang di pakai perempuan ini!" seru wanita itu.

Polisi pun menengahi kami. "Harap tenang Bu, Pak, biar kami yang jelaskan ... jadi, Nyonya Lauri mengajukan laporan pada dini hari tadi atas terlapor Nona Aisha, dengan tuduhan penyalahgunaan bahan kimia."

Aku menggeleng pelan. "Apa sudah ada bukti yang ditemukan??"

"Sudah, Pak, kami sudah melakukan penyelidikan dan kami menemukan beberapa ekor ayam yang mengandung formalin," jawab polisi tersebut.

"Aisha, kamu memesan ayam darimana?" tanya Yevan kepada Aisha yang masih tertunduk lesu.

"Ke pedagang ayam yang biasa ayah beli Kak, tapi ... aku enggak tau ayam itu berformalin, aku juga enggak tau di mana beli formalin," jawab Aisha.

Matanya berkaca-kaca, Yevan menghela napas panjang sebelum akhirnya Ia angkat bicara.

"Pak, apa kalian sudah  menyelidiki ke pedagang ayamnya langsung? begini, bisa saja Aisha tidak memakai formalin tersebut melainkan pedagangnya," gumam Yevan.

"Sudah terbukti bersalah masih aja ngeles!"sinis wanita bernama Lauri itu.

"Bu, saya tau dengan jelas bagaimana dagangan Aisha." Yevan membantahnya.

"Kamu bersekongkol ya? sudah tau dia ini pedagang curang masih aja di bela! hei ... kalau cari uang tuh yang benar, jangan nyelakain nyawa orang! kamu pikir nyawa itu bisa di beli pakai uang hah?! pakai otakmu! kalau anak saya mati tadi malam itu kamu bisa bayar berapa?! bisa tanggung jawab apa hah?! kamu ini masih muda tapi, otaknya kok enggak di pakai dengan benar!!" sindir Lauri tajam.

"Pak, apa tidak ada jalan lain selain jalur hukum?" tanya Yevan.

"Maaf, Pak, sesuai prosedur kami harus menahan terlapor selama 48 jam sebelum hasil penyelidikan terungkap," kata Polisi.

"Astaga ... Bu, apa kita bisa menyelesaikan secara kekeluargaan? masalahnya Aisha juga harus menjaga ayahnya di rumah sakit? kita bisa menyelesaikan masalah ini secara toleran," kata Yevan.

Lauri berdecih."Toleran apa? uangmu itu enggak akan menjamin kesembuhan anak saya! saya melaporkan perempuan ini juga demi kebaikan orang lain, saya sudah memdapat pengalaman buruk ... saya enggak mau orang lain juga kena batunya setelah makan di stand perempuan ini."

"Saya bisa memasukkan anak ibu ke rumah sakit terbaik untuk menjamin kesembuhan anak ibu tapi, tolong cabut laporannya," ujar Yevan lagi.

Namun, tetap saja wanita bernama Lauri itu tak ingin mencabut laporan yang diajukannya. Leher Aisha semakin merunduk, jemarinya sibuk berkutik satu sama lain.

cemas.

"Saya juga bisa menuntut ibu karena pencemaran nama bai—"

Perkataan Yevan terpotong saat pintu terbuka dan muncullah beberapa anggota polisi dengan seragam lengkap membawa seorang pria muda yang berusia sekitar 30 tahunan.

Pria itu terlihat sama cemasnya dengan Aisha yang masih merunduk.

"Silahkan duduk, Pak," kata Polisi.

Pria tersebut duduk dengan canggung.

"Apa benar bapak yang menjual ayam-ayam itu??" tanya Polisi.

"Benar, Pak, tapi ... saya belum mengirim pesanan ayam ke stand pak Ibnu," kata pria tersebut.

Aisha mendongak terkejut. "Tapi, pak, ayam itu sudah di antar jam 9 tadi."

"Kan, saya sudah bilang kalau saya ngantar pesanan ke La Pasa dulu, baru ke stand pak  Ibnu lagipula sudah seperti biasanya begitu," jawab pria tersebut agak kesal karena merasa tertuduh memakai bahan kimia tersebut.

Aku memijit pelan pelipisku yang terasa cenut-cenut.

"Tuhkan, berarti kamu yang menyuntik ayam itu!" ketus Lauri semakin menjadi-jadi.

"Maaf, tapi kenapa ibu memojokkan Aisha ya? ibu sendiri belum punya bukti tetap, ibu memojokkan Aisha seolah ibu tidak mau ada keadilan," sahut Yevan mulai kesal juga.

Namun, setelah itu Ia membuang napas kasar. mengingat perkataan ibunya, bahwa Ia harus menghormati siapa saja yang di temuinya.

Ia berdiri dan  ingin beranjak keluar ruangan

"Aisha, siapa yang mengantar ayam itu?" tanya Yevan sebelum benar-benar keluar.

"Aku enggak kenal, Kak, baru aja lihat." Aisha kembali menunduk.

"Cowok?"

"Iya, Kak," jawab Aisha.

Pria tadi angkat bicara, " Selama ini karyawan laki-laki di peternakan saya itu cuma Hasan, tapi ... Hasan sudah dua hari Hasan pulang kampung menengok anaknya."

Semakin komplit saja teka-teki yang menjerat Aisha di kondisi sepelik ini, Yevan benar-benar keluar menjauhi gedung kepolisian itu. setelah cukup jauh Ia mengeluarkan ponselnya menghubungi Pak Yacob untuk membantu Aisha.

***

"Kamu beneran benci sama dia ya?" tanya Marshall kepada Airen yang duduk di hadapannya.

Mereka memang sedang berkunjung ke sebuah danau wisata, sekaligus membawa beberapa anak yang singgah di rumah eyang Airen untuk bermain di danau tersebut.

"Benci ... kurasa enggak, cuma kecewa," jawab Airen.

"Benci sama kecewa itu satu kesatuan, kamu bisa membenci seseorang pasti karena rasa kecewa yang dalam, anyway aku tau kamu juga suka sama Yevan," gumam Marshall.

Tiba-tiba salah satu anak datang kepada mereka berdua dengan seulas senyum, nampak sekali bahwa Ia antusias bermain di danau tersebut.

"Kakak kakak! ayo main! main kereta yang di sana!" Anak itu menarik-narik ujung jaket Marshall dan menunjukkan kereta api mini yang sedang memutari danau.

"Wah! kamu mau mau naik kereta? kalau begitu ayo ke sana!" Marshall mengangkat tubuh anak itu dan membawanya ke loket karcis.

"Kakak Airen juga!" panggil anak itu.

"Eh? Main sama Kak Marshall aja ya, Kak Airen pusing nih," kata Airen.

Anak itu memanyunkan bibirnya tanda sedang kesal. Airen menghela napas pelan lantas menyaut totebag yang sedari tadi Ia letakkan di kursi.

"Ayo kita main sekarang," kata Airen hangat.

Sedari SMP Airen memang mempunyai keinginan membangun sebuah rumah singgah untuk anak-anak broken home, tidak mengapa jika Ia harus merasakan sakit akibat perceraian kedua orangtuanya namun, Ia tidak mau melihat anak-anak lain merasakan hal yang sama.

"Ayo, kamu ke sana duluan ya sama kak Airen, biar Kak Marshall yang beli karcis." Marshall menurunkan anak itu dengan sedikit elusan di puncak kepalanya.

"Aku seneng ... bangeeeet! bisa main di taman sama Kak Airen!" seru anak itu.

"Odel senang?? kalau gitu setiap weekend kita jalan ya," kata Marshall tak kalah lembut dari Airen.

Beberapa anak lainnya mengangguk menyetujui perkataan Marshall, sementara Airen hanya tersenyum penuh makna melihat kebahagiaan anak-anak asuhnya.

"Dimas ngerasa punya orangtua lagi," ucap salah seorang anak dengan rambut mangkok.

Marshall mengelus puncak kepala anak itu dan mengulas sebuah senyum tipis.

"Kalian akan tetap punya orangtua, anak-anak ... orangtua kandung kalian bisa saja mengucilkan kalian tapi, kalian tidak boleh mengucilkan mereka," ucap Airen.

"Ssstt ... aku yakin mereka belum bisa mengerti apa maksudnya," kata Marshall kemudian.

Airen menggeleng. " Mereka akan mengerti seiring berjalannya waktu."

"Jangan membebani pikiran anak kecil, biarkan mereka mengerti dengan sendirinya Ren, oh ya! sekali putaran lagi kita turun anak-anak, habis ini kita makan ya!" celetuk Marshall menggebu-gebu.

Anak-anak itu hanya bersorak-sorai penuh keceriaan, luka yang menyayat di hati mereka sudah lama hilang namun, pastinya akan tetap membekas di dalam hati.

***

Hari menjelang siang, Yevan terduduk di depan laptopnya dengan pikiran tak karuan, kopi yang sedari tadi Ia letakkan di sebelah kanan tangannya sudah mendingin.

'Kenapa bisa tiba-tiba ada yang melapor bahwa stand Aisha memakai bahan kimia?'

Ia meraih gelas berisikan kopi dingin itu, menyesapnya kasar, sejenak Ia memikirkan siapa saja yang berkemungkinan melakukan tindakan kriminal itu.

'Aisha juga gadis yang polos, tidak bisa membedakan mana yang baik dan jahat'

"Huhhh!!!"

Ia mematikan laptopnya dan beranjak membaringkan tubuh di atas kasur miliknya, memejamkan mata sejenak mencari jalan keluar.

Ponselnya berdering tanda panggilan masuk, dengan sigap Yevan membuka mata dan meraih ponselnya.

sebentar kemudian Ia mengerutkan dahi karena tadinya Ia berpikir bahwa yang menelpon adalah pak Yacob pengacaranya.

'Rachel, tumben Ia menelpon ... ada apa??'

Jangan lupa tinggalkan jejak para readers tercinta uwuwu 💚

terima kasih sudah membaca