webnovel

I Found

Aku dan kamu yang terpisah oleh jarak Aku dan kamu yang terpisah oleh waktu Aku dan kamu yang terpisah oleh kepercayaan Tapi itu dulu. . . Dulu aku dengan susah payah mencari mu Dulu aku dengan susah payah mencari kabar mu Dulu aku dengan susah payah mencari dimana keberadaan mu But now, i'm find you ---- Lalu kalimat aku dan kamu pun sekarang berubah menjadi kata kita

Unichias · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
26 Chs

Rough

-Jangan lupa tinggalkan votment, jadilah pembaca yang bijak.-

_________________________

Tap! tap! tap!

Suara sol sepatuku menggema di seluruh penjuru ruangan, polisi yang tengah berjaga pun menoleh.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya.

Aku melirik Pak Yacob yang ada di sebelahku.

"Jadi begini, Pak saya ingin memberi jaminan untuk membebaskan saudari Aisha." Pak Yacob mengeluarkan sekoper uang yang baru saja Yevan ambil dari Bank.

Mataku terlihat sangat sayu, tak henti-hentinya aku menggigiti bibir bawahku, aku merasa sangat kacau hari ini  setelah mendapat telpon dari rumah sakit.

"Mari kita bicarakan di dalam, Pak," kata Polisi tersebut. "Saya tidak bisa menerima uang denda sebelum keputusan hakim keluar."

"Saya mohon Pak, masalahnya ini demi Aisha juga," celetukku agak tegas.

"Tap—"

"Beri saya toleransi, lagipula Aisha tidak melakukan kesalahan secara murni," potongku.

Dengan raut kesal polisi tersebut berjalan mendahului kami ke dalam sebuah bilik yang di penuhi tahanan wanita. di sana aku melihat Aisha sedang terduduk lesu, tanpa melakukan apapun.

Bibirnya terlihat sangat pucat kala itu, tubuhnya juga terlihat sangat kurus. Aku menghela napas mengingat tuduhan tak bertuan yang membuatnya insecure seperti ini.

"Nona Aisha, silahkan mulai hari ini anda sudah bebas," kata Polisi tersebut agak ketus.

Aisha mendongak, menatap mataku penuh pengharapan. "Benaran, Pak?"

Suara lirihnya membuat hatiku semakin teriris, Aisha berdiri mengulas senyumnya dan menggapai tanganku.

"Kak Yevan, terima kasih ya, aku udah banyak berhutang sama kakak. Oh ya, gimana kabar ayah?? aku kangen banget sama ayah, sudah sembuh atau belum??" Runtut pertanyaannya sungguh membungkam mulutku.

"Aisha ...."

"Aku pengen cepet-cepet ketemu ayah, kak," gumam Aisha.

"Aisha ... maaf, tapi ...."

"Tapi ? tapi apa kak." Aisha melihat Pak Yacob yang sama membisunya seperti diriku.

"Ayah kamu ... sud—"

"Kak, jangan bercanda ... kakak pasti mau ngeprank kan??" tanya Aisha menatap bola mataku.

'kuharap Ia bisa menerima kenyataan ini'

"Kak."

"Tadi malam ayah kamu kembali kritis, dan tadi pagi ...."

"Kakak bohong, kan?? kak ...."

Aku diam tak bisa menjawab apa-apa karena memang benar faktanya Pak Ibnu sudah menghembuskan napas terakhirnya tadi pagi.

Dan sesuai janjiku, aku harus mengirim Aisha ke Ibu kandung atau Ibu tirinya yang entah ada di mana sekarang.

"Kak," tuntutnya.

"Lebih baik sekarang kita cepat ke sana, pasti kamu ingin melihat almarhum Pak Ibnu untuk terakhir kalinya, kan?? Ayo pak," kata Pak Yacob kepadaku juga pada Aisha.

***

"Aisha ... ayah minta maaf karena selama hidup bersama ayah kamu tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu, ini salah ayah sepenuhnya ... kamu dan kedua kakak kamu hanya korban, nak ... maafkan ayah, ayah minta sama kamu kejar terus cita-cita kamu, jangan pantang menyerah ... ayah do'a kan kamu hingga nanti tapi, ayah merasa hidup ayah ini sudah tidak lama lagi. Ayah minta kamu untuk tinggal bersama Ibu kandung kamu atau Ibu tiri kamu, cuma itu keluarga yang kamu punya selain ayah, Nak, maafkan ayah."

Rekaman itu berhenti tepat pada menit ke 24, Aisha terisak di sebelahku. air mata itu dengan derasnya mengalir membasahi wajahnya.

Aku menghela napas, lantas menyerahkan sepucuk sapu tangan. "Hapus air mata kamu, Sha."

Ia masih tetap menangis tak karuan, kedua tangannya terkepal menimbun amarah mendalam.

"Di dunia ini pasti akan tercipta perubahan, kita harus menerimanya dengan lapang dada ... kehendak Tuhan tak pantas kita tentang," ucap Andre yang kebetulan ada di ruang tamu.

Radya pun mengangguk, suasana menjadi sangat sendu ketika rekaman tersebut selesai di putar.

"Aku mengerti rasanya, kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupmu berat rasanya tapi, mau tidak mau kita sendiri yang harus meringankannya." Aku mengusap kedua pelupuk mataku yang terasa panas.

"Ini sskk ... ini sakit, kak skkk ... aku enggak apa skkk kalau semisal enggak skkk ... skkk ...."

"Sssst ... tumpahin aja semuanya sekarang tapi besok kamu sudah harus berhenti menangis," ucapku sembari mengelus pundaknya.

Ia kembali terisak, Radya dan Andre hanya bisa diam tanpa melakukan apa-apa.

mungkin malam ini memang hanya akan di isi oleh tangisan sendu Aisha yang baru kelihangan ayahnya.

Dan sekarang, PR untukku adalah mencari Ibu kandung Aisha. aku ingin banyak bertanya mengenai keluarga Aisha namun, hati ini tak sanggup mengutarakannya di saat seperti ini.

***

"Hoammm ...." Andre menguap saat serial drama yang Ia tonton di potong oleh iklan.

Sementara itu aku membuat kopi karena malam ini aku akan mencari data Ibu kandung Aisha di berkas yang beberapa waktu lalu aku ambil.

"Astaga, kurasa drama ini gak ada berhentinya," ucap Andre.

"Namanya juga drama, bang," sahut Radya.

"Eh by the way Yudhit nginap lagi di rumah Yoko??" tanya Andre.

"Matamu nginap, mau di gebuk pohon kelapa sama bapaknya," celetukku.

Kudengar Radya menahan tawa.

"Ya, lagian ... jarang ngumpul ama kita," jawab Andre.

"Njir, kamu kayak di tinggal pacar selingkuh aja, bang," kekeh Radya.

"Ketawa lu, bule sarap." Andre melemparkan bantal sofa kepada Radya.

Tak lama kemudian bel berbunyi, dengan sigap Radya bangkit dari duduknya dan menghampiri pintu utama.

"Tumben, bang," sambut Radya.

"Minggir, udah kebelet." Yudhit menyingkirkan Radya ke samping kanan lantas Ia masuk dan langsung menuju toilet tanpa melepas ranselnya.

"Ya ampun, bang," gerutu Radya.

Aku menggeleng pelan, dan berjalan menuju sofa. "Bikin kopi sana, kalo ngantuk."

"Bentar ah, by the way ... Aisha itu kok punya dua ibu?" tanya Andre.

"Ya mana aku tau, memang aku ini siapanya?" tanyaku balik.

Andre menghela napas. "Siapa tau Aisha anak broken home."

Sedetik kemudian ponselku berbunyi tanda panggilan masuk, aku merogohnya dari dalam saku celana dan memperhatikan LCD ponselku.

Itu adalah telpon dari Pak Yacob, aku segera mengangkatnya.

"Halo, ada apa Pak Yacob?"

" ...."

"Ah, jadi alamat ibu kandung Aisha ada di jalan mohogo nomor 19D?"

" ...."

"Baik, kalau begitu Pak, terima kasih atas bantuannya."

" ...."

Setelah itu sambungan telpon terputus, aku  mengulas senyum dan segera mencatat alamat tersebut. sebentar kemudian aku pamit kepada Andre dan Radya untuk ke kamar.

***

Esok paginya, aku dan Aisha berdiri di depan sebuah rumah dengan gaya Eropa. cukup besar untuk di katakan sebagai rumah.

"Ini rumah siapa, Kak?" tanya Aisha kepadaku.

Bayang-bayang kantung mata masih terlihat jelas membingkai wajahnya, Ia pasti masih belum bisa menerima kepergian ayahnya.

"Ini rumah Ibu kandungmu," jawabku sembari memperhatikan alamat yang kutulis di sebuah kertas.

"Ibu kandungku?" tanya Aisha lagi.

"Iya, berdasarkan informasi yang di cari oleh pak Yacob, alamat Ibu kandungmu di sini," kataku.

"Tapi, apa Ibu ingat denganku setelah puluhan tahun meninggalkanku?" Pertanyaan itu begitu menohok ulu hatiku.

Benar juga, Aisha sudah puluhan tahun di tinggal oleh Ibu kandungnya.

Apa mungkin beliau masih ingat dengan Aisha??

"Ayo kita coba masuk," ajakku.

Aisha mengangguk pelan, aku mengerti ia pasti merasa canggung sekali karena baru pertama kali akan bertemu dengan wanita yang melahirkannya itu.

Bel menggema di seluruh penjuru setelah aku menekan tombol bel yang tersedia di pondasi pagar.

"Mencari siapa?" tanya sebuah suara.

"Boleh aku bertemu dengan Nyonya Safara?" tanyaku.

"Tunggu sebentar, saya akan bukakan pintunya," jawabnya.

Tak menunggu waktu lama, gerbang yang menutup terbuka dengan sendirinya karena sensor. Pintu utama pun terbuka, aku dan Aisha masuk ke dalam dengan jantung berdegub kencang.

"Duduk dulu, Pak, saya akan panggilkan Nyonya Safara," kata orang tersebut.

Aku mengangguk.

"Kak, apa benar ini rumah Ibu kandungku??" tanya Aisha was-was.

"Ssstt."

Tuk! tuk! tuk!

Suara sol sepatu refleks membuatku menoleh ke arah wanita yang bernama Nyonya Safara.

"Ada apa kalian mencariku?" tanyanya mengintimidasi.

Aku memperhatikan wanita tersebut dari atas hingga bawah, cukup berlebihan dalam memamerkan harta.

"Maaf, perkenalkan aku Yevan Draxilvyn Widuantoro dan ini Aisha Miria Puteri," kataku.

Sudut bibir wanita tersebut menyeringai saat aku menyebutkan nama lengkap Aisha. seperti jengah mendengarkan. wanita tersebut duduk di hadapan kami berdua dengan tangan terlipat angkuh di depan dada.

"Kamu adalah anak muda yang dengan sengaja ingin membuka luka lama," ucapnya dengan nada tidak suka.

"Nyonya Safara, pak Ibnu sudah pergi d—"

"Syukurlah kalau begitu, lalu apa lagi yang kalian cari di sini? tidak ada keadilan di sini," potongnya.

"Berapa tahun nyonya meninggalkan Pak Ibnu dengan Aisha?? berapa tahun nyonya akan menyiksa bathin tak berdosa Aisha?" tanyaku.

"Jangan melucu di sini, jangan membuka luka lama yang sudah sekian lama aku tutupi," sinis Nyonya Safara.

"Kenapa nyonya berpikiran seperti itu?" tanyaku.

"Kamu tidak akan mengerti, kamu tidak mengerti rasanya menjadi istri kedua yang di sudutkan, hidup miskin setelah istri pertama pria busuk itu pergi entah kemana dengan dua anaknya. cih, sungguh tidak ada di dalam rencanaku menjadi istri kedua yang hidup miskin," ucapnya. "Untung saja ada pria berhati malaikat seperti Pramasetyo."

"Nyonya Safara, lantas apa hanya hal itu yang membuatmu tega?" tanyaku.

Ia berdiri menjauhi kami. "Tega, jika di pikir ulang Aisha bukan korban. melainkan pelaku, pelaku bajingan yang mencoba hadir dalam kehidupanku yang mulai membaik ini."

"Dia darah daging nyonya sendiri," ketusku.

"Aku tidak peduli, aku hanya peduli pada hidupku sendiri. ada lembaran baru yang harus aku jaga agar tidak kotor karena luka lama," jawabnya setengah berteriak.

"Lalu kamu anggap apa Aisha ini, nyonya?" tanyaku kemudian.

Nyonya Safara berdiri dengan tetap melipat kedua tangannya di depan dada, Ia memincing menatap Aisha seperti aib yang tidak sedap di pandang mata.

"Aisha, kamu dengar baik-baik perkataanku! kamu dan kakak kamu itu sama-sama aib yang menjadi duri dalam kehidupanku, jujur aku menyesal pernah melahirkan kalian ke bumi ini." ketusnya.

"Ka-kalau begitu kenapa Ibu membawa kakak?" tanya Aisha sedikit tergagap canggung.

"Ibu? kamu panggil ibu? kamu pikir pantas kamu memanggilku ibu? bercerminlah ketika sampai rumah nanti, kamu tidak pantas menjadi anakku, kamu dan kakak kamu itu sampah!" balas Nyonya Safara. "Satpam! usir kedua orang ini!"

Seorang pria berawakan tinggi besar menghampiri kami dan dengan paksa menyeret kami menjauh dari hadapan Nyonya Safara, Ia benar-benar wanita dengan hati batu.

Samar-samar aku mendengar Aisha menangis. "Lepaskan dia!"

Aku membentak satpam itu dengan keras, satpam tersebut pun segera menghempaskan kami berdua.

"Lain kali kalau bekerja itu pakai otak, Pak!" desisku.

Dengan angkuh satpam tersebut pergi dari hadapan kami. Aku menghela napas dan melirik Aisha.

"Kamu enggak apa-apa?" tanyaku.

Aisha menggeleng, masih dengan uraian air mata.

"Kamu kenapa menangis?" tanyaku lagi.

"Enggak apa-apa, Kak," jawabnya. "Ayo kita pulang."

Aku mengangguk seraya menuntunnya pergi menjauh dari hadapan rumah manusia biadab itu.

Entah kalimat apa yang mampu menggambarkan kekecewaanku terhadap wanita bernama Safara itu, sungguh tak habis pikir. kenapa di dunia ini ada yang benar-benar tega mengatai darah dagingnya sebagai aib.

Muehehe

.

J a d i ... k a n   k e m a r i n   C h i a 

  b i l a n g   k a l a u    n o v e l   i n i

t e m b u s   1 k   p e m b a c a

C h i a    b a k a l    c o v e r

L a g u    F i n d  Y o u   m o n s t a X

b u t ,  C h i a   b e r u b a h

p i k i r a n.

K a l a u    c e r i t a   i n i  b a n y a k 

y a n g   s  u k a    C h i a    b a k a l

b u a t   f i l m n y a    d  a l  a m

V  e  r s i   c h i b i 💚