webnovel

I Found

Aku dan kamu yang terpisah oleh jarak Aku dan kamu yang terpisah oleh waktu Aku dan kamu yang terpisah oleh kepercayaan Tapi itu dulu. . . Dulu aku dengan susah payah mencari mu Dulu aku dengan susah payah mencari kabar mu Dulu aku dengan susah payah mencari dimana keberadaan mu But now, i'm find you ---- Lalu kalimat aku dan kamu pun sekarang berubah menjadi kata kita

Unichias · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
26 Chs

Once Again

𝐿𝑜𝑜𝑘 𝑎𝑡 𝑦𝑜𝑢, 𝑖 ℎ𝑎𝑣𝑒 𝑠𝑚𝑎𝑙𝑙 𝑞𝑢𝑒𝑠𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑙𝑖𝑘𝑒 𝑎 𝑐ℎ𝑖𝑙𝑑

𝑖 𝑤𝑎𝑛𝑡 𝑡𝑜 𝑘𝑛𝑜𝑤 𝑦𝑜𝑢 𝑎 𝑙𝑖𝑡𝑡𝑙𝑒 𝑚𝑜𝑟𝑒

𝑤ℎ𝑒𝑛 𝑡ℎ𝑒 𝑛𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑐𝑜𝑚𝑒𝑠

𝑙𝑖𝑘𝑒 𝑒𝑣𝑒𝑟𝑦𝑑𝑎𝑦 ℎ𝑎𝑏𝑖𝑡𝑠, 𝐼 𝑖𝑚𝑎𝑔𝑖𝑛𝑒 𝑦𝑜𝑢

𝑡ℎ𝑖𝑠 𝑛𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑖 𝑐𝑎𝑛𝑡 𝑠𝑙𝑒𝑒𝑝 𝑤𝑒𝑙𝑙

______________________

"Mbak, tolong total semuanya," ucapku saat mengeluarkan berbagai bahan makanan pokok yang akan kubeli.

Kasir tersebut mengangguk pelan lantas mulai menghitung harga belanjaanku.

Sementara itu aku melayangkan pandanganku ke luar supermarket, banyak pedagang kaki lima yang membuat stand tidak jauh dari halaman parkir.

Biasanya aku dan kedua orangtuaku berburu makanan saat malam tiba, entah itu makanan pinggir jalan ataupun makanan bintang lima.

Rasa rindu itu kembali hadir menyusupi hatiku yang seperti lahan tandus dengan sebatang pohon yang nyaris mati karena kekeringan.

"Semuanya seratus tujuh puluh lima ribu, Pak," kata kasir tersebut.

Aku menoleh."Ini Mbak, tunai ya ... hitung dulu nanti saya kurang ngasih uangnya."

"Tidak, kurang Pak, sudah saya hitung," jawab kasir tersebut setelah menghitung uang yang kuberikan.

Setelah itu aku mengangkut dua plastik berukuran besar di sebelah meja kasir ke parkiran. aku menghampiri mobil yang sengaja kuparkirkan agak menjauh dari mobil lainnya.

Beberapa saat setelah aku memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil, sebuah tepukan kecil mendarat di bahu kananku.

dengan spontan pun aku menoleh, mencari tahu siapa yang menepuk.

"Yevan, gue boleh numpang, kan?" Gadis berbadan tinggi besar itu menyunggingkan senyum kepadaku.

"Brazel? kamu ngapain malam-malam keluyuran? ini udah jam 11 malam pula," kataku sembari melihat arloji yang menghias pergelangan tangan.

"Heheh, biasa gue habis party sama teman bokap," jawabnya.

Dari aroma napasnya saja, aku sudah mengerti bahwa Ia baru saja meminum wine. aku memperhatikannya dari atas rambut hingga ujung kaki, terlihat seperti bukan Brazel yang biasa.

"Tumben kamu enggak bawa sopir?" tanyaku basa-basi.

"Iya, sopir bokap gue udah balik dari jam 9 tadi  ... mau kan nebengin gue sampai apartement?" Lagi-lagi Ia bertanya.

Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal, aku ingin membantunya namun tidak dengan menumpanginya karena Ia sendiri sedang mabuk.

"Maaf nih Brazel, gimana kalau aku pesankan grab aja? kebetulan aku ada langganan almarhum mama,"

Brazel menggeleng." Gue takut Yev, mending juga gue nebeng sama lo."

"Tenang aja Zel, aku jamin drivernya bukan orang jahat. aku bayarin juga kok. sekarang ... kamu tunggu dulu di stand itu." Aku menunjuk sebuah stand kaki lima.

"Ish! are you sure??! look at them very nasty, how do you—"

"Brazel, mereka terlihat kotor di matamu karena kamu belum biasa singgah di tempat seperti itu," kataku.

"Yevan tapi, itu benar-benar membuatku mual." Brazel mengibaskan salah satu tangannya di depan hidung seolah mencium sebuah aroma bangkai.

Aku berdecak. " Lebih baik, kamu belajar dulu menghargai seseorang jika ingin dirimu di senangi banyak orang, ayo kita ke sana."

Aku berjalan mendahuluinya ke dalam sebuah stand, tanpa pikir panjang aku duduk di salah satu meja. Brazel yang daritadi mengekoriku duduk tepat di sebelahku dengan ekspresi yang tidak bisa di jelaskan dengan kata-kata.

"Yakin lo mau nunggu di tempat begini?" tanya Brazel.

"Iya, kan ... lumayan nungguin sambil makan, emang kamu enggak lapar?" tanya ku.

"Enggak deh, gue enggak yakin bisa nelan makanan kaki lima," kata Brazel sedikit sumbang.

Aku menggeleng melihat kelakuan gadis ini.

"Permisi, mau pesan apa??"

Aku mendongakkan kepala melihat pelayan yang mendatangi kami, dan sontak pula aku terkejut karena gadis itu adalah Aisha.

"Kak Yevan," gumamnya.

"Aisha ... kamu kok di sini?" tanyaku heran.

"Yev, lo kenal dia?" timpal Brazel penasaran.

"Iya Zel, jadi ... kamu ngapain di sini??" ulangku.

"Ini stand milik orangtua aku, Kak." Aisha merunduk.

"Jadi ini milik orangtua kamu, wah! senang banget rasanya bisa makan di tempat orangtua kamu usaha." Aku menyambut jawabannya dengan sama hangatnya.

Tapi tidak dengan Aisha yang sepertinya canggung melihat ketidaksukaan Brazel.

Ia menatapku perlahan seraya ingin menanyakan apa pesananku.

"Apa aja aku mau, kalau bisa yang ngilangin ngantuk," jawabku.

"Pantes aja ya Yev, Rachel tuh nangis-nangis kemaren ... ternyata yang salah tuh, memang diri lo, lo di kasih hati malah minta jantung! heran gue, apasih yang lo suka dari cewek modelan gini??" Ia berdiri melirik Aisha yang tertunduk.

"Apa-apaan sih Zel," datarku.

"Lihat baik-baik, kumal, bau, norak, kampungan! punya tempat makan cuma di pinggir jalan gini pula! ewh nothing else! ada ya cewek bau, kumal gini. enggak ada yang ngurus ya, lo?!"

"Zel, cukup! jaga tata kramamu, ini tempat umum!" tegas ku ikut berdiri dari tempat duduk.

Sementara Aisha berlari pergi keluar, entah kemana. Aku benar-benar menyesal membawa Brazel ke stand ini.

Aku pun meninggalkan Brazel mengejar Aisha.

sungguh. aku merasa bersalah,

"Aisha," panggilku.

Ia tak menjawab panggilanku melainkan duduk dengan kepala terbenam di kedua tapak tangannya.

Aku mendekatinya perlahan dan ikut duduk di sebelah kanannya memperhatikan ongokan lampu warna-warni yang menghiasi gedung-gedung tinggi di hadapan kami.

"Jangan masukkin hati kata teman aku barusan, dia memang keras enggak terbiasa dengan kehidupan sederhana. maklum dari kecil pasti Ia sangat di manja. kamu lupain aja ya, aku minta maaf."

Ia tetap diam, tanpa ada niatan membalas perkataanku. namun, samar-samar aku mendengarnya terisak di balik tapak tangannya.

"Maaf ya." Aku mengusap puncak kepalanya pelan.

"Bukan salah kamu kok hiks ... ini salah takdir hiks," celetuknya di sela isakan tangis.

"hush, jangan pernah salahkan takdir," kataku.

"Aku benar-benar benci hidupku hiks hiks,"  ucapnya lagi.

Aisha menangis karena perkataan Brazel tadi, aku menggeleng bingung apa yang harus ku lakukan untuk membuatnya berhenti menangis, Ia pasti punya alasan kenapa Ia menangis dan menyalahkan takdir.

"Aisha ...," panggil seorang pria dari belakang kami.

dengan sigap, Aisha menghapus jejak airmata miliknya walaupun nihil hasil. Pria itu mengulas senyum kepadaku lantas duduk di sebelah kiri Aisha.

"Ayah," gumamnya lirih.

"Kenapa lagi, ndhuk?" tanya Pria itu sembari melepas handuk kecil yang sedari tadi terkalung di lehernya.

"mbothen nopo-nopo, ayah," jawab Aisha.

"Ndhuk, dengar kata ayah baik-baik ... jangan dengarkan perkataan orang yang membuatmu sakit hati, pilah saja apa maksud perkataan orang itu dengan baik,"

"Aisha enggak sanggup yah, kalau Aisha di bilang enggak ada yang ngurus ... padahal selama ini Ayah yang selalu ngurusin Aisha," gumam Aisha pelan.

"Sudah ndhuk, jangan di pikirkan," kata Ayah Aisha mengusap pelan puncak kepala gadis tersebut.

"Permisi, Pak Yevan, kan?" Seseorang menghampiriku dengan langkah lebar.

Aku memperhatikannya baik-baik siapakah orang tersebut, setelah benar-benar sampai di depan mataku aku mengenalnya sebagai Pak Rozal, sopir pribadi Brazel.

"Ada apa ya, Pak?? nyari Brazel ya? Brazel ada di dalam, Pak." Aku membimbingnya masuk ke dalam stand mencari Brazel.

"Non, ayo kita pulang," ucap Pak Rozal kepada Brazel.

"It's okay, lo terlambat tiga puluh menit, ngaret banget sih! udahlah ayo balik!" ketus Brazel dengan tidak sopannya.

Aku melirik Pak Rozal yang tertegun di sebelahku, pasti Ia merasa sangat kesal karena tingkah laku Brazel yang suka memperlakukan orang lain seperti sampah.

Aku menghela napas." Sabar ya, Pak mungkin Brazel sedang ada masalah."

"Memang sudah setiap hari Non Brazel, seperti itu, Pak," jawab Pak Rozal menggelengkan kepala lantas Ia pamit undur diri.

Aku kembali menghampiri Aisha dan Ayahnya yang masih duduk di pinggir trotoar.

"Maaf sebelumnya kalau boleh Bapak tau ... nak Yevan ini masih kuliah atau sudah kerja??" tanya Ayah Aisha.

"Saya kuliah Pak ... tapi, saya juga meneruskan bisnis almarhum ayah saya," jawabku.

"Mari kita ngobrol di dalam, Nak. di sini udaranya dingin," ajak Ayah Aisha kemudian beliau berjalan duluan masuk ke dalam stand.

Aisha mengusap pelupuk matanya pelan, lalu menarik napas jengah.

"Maafin Brazel ya," ucapku lagi.

Ia tersenyum kecut."Enggak apa-apa kok, Kak. dia memang benar."

"Aku beneran ngerasa bersalah udah bawa Brazel ke stand ayah kamu. Aku engg—"

"Sudahlah Kak, ayo masuk pasti ayah sudah buatkan Kakak makanan." Ia berjalan mendahuluiku.

Ayah Aisha menyodorkan nampan berisi semangkuk Soto Lamongan untukku, Lantas Ia duduk di hadapanku.

"Silahkan di coba, Nak. mungkin memang rasanya tidak seenak masakan restoran tapi, Bapak jamin makanan ini higenis," ujar Ayah Aisha.

"Terima kasih banyak, Pak." Aku mulai mencicipi Soto tersebut.

Sendokan  demi sendokan kuarahkan ke dalam mulut, Aroma campuran serai, Laos, dan Jahe menyeruak di indera penciumanku.

pertanda bahwa Ayah Aisha menggunakan rempah asli yang belum terjamah bahan kimia di pasaran.

"Enak Pak, ini resep rahasia ya."

Ayah Aisha terkekeh kecil."Bapak tidak memakai resep rahasia, hanya satu kuncinya bisa memasak seperti itu."

"Apa, Pak?" tanyaku penasaran.

"Sabar, ulet, tekun, kerja keras," jawab Ayah Aisha.

"Ini Kak, teh hangat khas keluarga kami."Aisha meletakkan segelas teh hangat yang diberi satu ruas jahe dan sarai geprek.

"Terima kasih ya, Aisha."

"Nak Yevan, ambil jurusan apa?" tanya Ayah Aisha nampak tertarik denganku.

"Aku ambil saintek, Pak," jawabku lagi.

"Di kampus mana, Nak?" tanya Ayah Aisha lagi, sementara itu Aisha mengambil alih pekerjaan ayahnya di belakang kompor.

"Di kampus Ideolis, Pak."

"Wah ... itu kampus swasta, Nak. Aisha tidak mungkin masuk ke kampus itu selepas sekolah menengah," ucap Ayah Aisha.

"Lho, memangnya Aisha mau ambil jurusan apa, Pak?" tanyaku penasaran.

"Dari kecil Aisha sangat tertarik dengan seni design bahkan Ia rela menabung untuk membeli skecthbook, saya harap sih ... saya bisa memasukkannya ke kampus itu," kata Ayah Aisha.

"Kalau semisalnya design buatan Aisha itu bagus saya bisa kok bantu Bapak, kebetulan saya punya teman yang ambil jurusan itu juga." Aku meletakkan sendokku dan mulai menatap pria baya itu serius.

"Tapi kan itu merepotkan, Nak. saya hanya bertanya saja," kata Ayah Aisha cepat.

"Justru karena saya yakin Aisha berbakat Pak, saya mau bantu Bapak sama Aisha," jawabku.

Aisha yang sepertinya mendengarpun ikut menimpali,"Enggak usah Kak, itu ngerepotin."

Aku enggan menjawab karena pasti akan sulit diyakinkan, Aku berpikir sejenak bagaimana cara untuk membantu Aisha tanpa diketahuinya.

Ada banyak yang ingin kuketahui mengenai Aisha dan keluarganya dan juga sebab Ia menangis barusan, semua itu membuatku bertanya-tanya namun tak sampai.

TBC

masih banyak yang kurang eheque😌

kalian shipper yang mana eheque

a. Yevan 💚 Airen

b. Yevan 💚 Rachel

c. Yevan 💚 Aisha

🤭🤭

kuy jawab di kolom komentar