webnovel

I Found

Aku dan kamu yang terpisah oleh jarak Aku dan kamu yang terpisah oleh waktu Aku dan kamu yang terpisah oleh kepercayaan Tapi itu dulu. . . Dulu aku dengan susah payah mencari mu Dulu aku dengan susah payah mencari kabar mu Dulu aku dengan susah payah mencari dimana keberadaan mu But now, i'm find you ---- Lalu kalimat aku dan kamu pun sekarang berubah menjadi kata kita

Unichias · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
26 Chs

Dumb Reason

"Setiap hal pasti membutuhkan alasan untuk di mengerti namun, adakalanya manusia melakukan hal dengan alasan yang rancu"

________________________

"Ya ampun! Le ... ono opo tho?!"

Airen ikut menoleh saat Ibunya berteriak terkejut. di ambang pintu ada Marshall yang babak belur.

"Marshall? kamu kenapa?" tanya Airen refleks menyentuh sudut bibir Marshall.

Marshall mengernyit kesakitan saat jari lentik Airen menyentuh lukanya.

"Sakit," kata Marshall lirih.

"Duduk dulu Le, tunggu sebentar tante ambilkan kompres," ucap Ibu Airen lalu masuk ke dalam rumah.

"Duduk dulu, coba ceritain kamu kenapa sampai bisa babak belur begini?" tanya Airen dengan rasa penasaran.

"Aku habis nyolong tadi," kata Marshall dengan sedikit senyum.

Tak lama Ibu Airen datang dengan nampan berisi baskom air es dan dua gelas milo hangat.

"Ibu ke dalam dulu ya, mau beresin bukunya anak-anak," ucap Ibu Airen.

"Nanti aja Ma, biar Ai—"

"Kamu bantu Marshall aja di sini," potong Ibu Airen cepat, setelah itu Ia pergi masuk ke dalam rumah.

Kini tersisa Marshall dan Airen yang saling diam, tak ada kata-kata terucap dari bibir kedua anak manusia itu.

Airen memeras sapu tangan yang baru saja Ia masukkan ke dalam air es hingga terdengar suara gemericik.

Lantas, Ia menyapukan sapu tangan tersebut di sudut bibir Marshall.

"Ssh," Marshall mendesis pelan.

"Maaf," ucap Airen.

"Enggak apa-apa kok, udah biasa nyolong aku," gumam Marshall jahil. "Sshh, aduh pelan-pelan kek."

"Siapa suruh bercanda terus," keluh Airen dengan bibir mencebik.

Marshall terkekeh kecil melihat hal itu. "Kamu lucu banget sih, pantesan Yevan suka sama kamu."

"Aku serius Marshall ...."

Marshall mengangguk, lantas Ia mengambil alih sapu tangan yang ada di tangan Airen. Marshall mengompres lukanya sendiri sesekali di iringi desisan.

"Andre yang mukulin," ucap Marshall.

'Andre siapa?" tanya Airen kemudian.

"Teman Yevan, temanku juga."

"Lho, kok bisa sih kamu di hajar sama teman kamu sendiri? kenapa?" tanya Airen dengan nada khawatir.

Marshall tersenyum. "Ini karena rencana kita berjalan sempurna, mereka berpikir bahwa kita benar-benar backstreet."

Airen mengerucutkan bibirnya kesal. "Siapa yang suruh punya ide bodoh seperti itu, kan kamu yang jadi celaka."

"Aku enggak apa-apa kok, aku tau mereka teman yang solid makanya mereka begini," jawab Marshall.

Airen diam tak menjawab namun, tangan kanannya menyodorkan gelas berisi milo hangat untuk Marshall.

"Minum dulu," ucap Airen.

Seketika Marshall tertawa geli melihat tingkah Airen. sedikit aneh, padahal mereka tidak ada hubungan apa-apa.

"Kenapa ketawa?" tanya Airen polos.

Marshall meletakkan sapu tangan ke dalam baskom dan mengambil gelas tersebut, menyeruputnya sedikit lalu kembali ke posisi semula.

Ia berdehem sebentar, lantas berkata, "Ren, apa kamu enggak mau kasih tau aku alasan kamu?"

Airen diam.

"Kalau aku pikir perbuatan kamu itu sudah  fatal," ucap Marshall.

Airen tersenyum hambar. "Marshall, kamu tau gak rasanya kecewa karena cinta pertamamu?"

"Kecewa karena cinta pertama? sebenarnya aku jomblo dari lahir,"  canda Marshall.

Airen mengedik, lantas berdiri menjauhi Marshall. Kini Airen berdiri di dekat pilar teras rumahnya menatap rembulan malam nun jauh terbingkai oleh taburan bintang yang samar.

"Rasanya sakit Mar, apalagi bertahun-tahun kamu menyimpan rasa sakit itu lama namun, pasti kamu akan merasa trauma, muak, benc—"

"Sebenarnya ... siapa yang kamu ceritakan itu??" potong Marshall.

"Ayahku."

Marshall terkekeh. "Kamu ini selain lucu juga suka bercanda ya."

"Aku enggak bercanda," gumam Airen agak dingin.

Marshall beringsut bangkit dari duduknya, mendekati Airen yang berdiri.

"Jangan bilang ...."

"Iya, kamu bisa menebaknya sendiri." Airen melipat kedua tangannya di depan dada menetralisir rasa dingin yang menusuk kulitnya.

Setelah itu tercipta keheningan di antara mereka, Marshall diam menatap halaman luas di hadapannya, begitupun dengan Airen yang sibuk dengan dunianya sendiri.

Tak lama kemudian Rayhan datang dengan  Sihar mereka agak terkejut setelah melihat keadaan Marshall.

"Kenapa itu, Mas?" tanya Rayhan kepada Marshall.

"Engg—"

"Di pukul orang ya?? lebamnya kelihatan banget," potong Sihar.

"Iya, memang habis di pukul temannya sendiri," sahut Airen.

"Waduh, Mas, harusn—"

"Sssst, ini bukan apa-apa kok, ini juga karena masalah kecil." Marshall memotong perkataan Sihar secepat mungkin.

"Gitu ya, Mas," ujar Rayhan di sertai anggukan oleh Sihar.

Airen kembali duduk di sofa teras, wajahnya menjadi sedikit kaku karena perihal tadi.

"

Mbak, juga kenapa??" tanya Rayhan.

Airen menoleh. "Kenapa?"

"Mbak merengut terus perasaan," ucap Sihar mewakilkan.

"Enggak kok," jawab Airen.

Suasana terasa sangat canggung. hingga tiba-tiba seorang anak kecil berusia 2,5 tahun datang membopong boneka jerapahnya.

"thanthe omi thathut," kata anak itu sembari mengusap pelan kedua matanya yang agak sembab.

Airen menghela napas pelan. "Omi takut apa, sayang?"

"Omi thathut hanthu," jawabnya.

"Temanin dulu, kasihan ... anak kecil emang sering punya nightmare sendiri," ujar Marshall.

"Ayo, Omi kita tidur." Airen berdiri lantas mengulurkan tangan pada anak itu ingin menggendongnya.

Namun, anak kecil bernama Omi tersebut beringsut mundur dengan bibir mencebik.

Terlihat sudut matanya ingin mengeluarkan air mata lagi.

"Omi enggak mau di gendong, ya? kalau begitu ayo tante gandeng ke kamar," ucap Airen berusaha ramah.

Omi menggeleng pelan. "Thanthe Omi mawu thidul di yumah."

Airen diam tak bisa menjawab.

"Hummm ... Omi mau tidur sama om gak?" tanya Marshall sembari berjongkok di hadapan Omi.

Omi menggeleng cepat.

"Mau om bacain cerita atau enggak?? om punya cerita seru lho," bujuk Marshall lagi.

Mata Omi kembali berkaca-kaca. "Omi mawu thidul thama mama papa."

Airen menghela napas cukup panjang mengumpulkan kekuatan yang hampir hilang karena percakapan sendu ini.

Rayhan menyenggol lengan Sihar. "Eh, Omi mau es krim? ayo beli es krim sama om."

Lagi-lagi Omi menggeleng, mata sipitnya mulai berair.

Marshall menoleh pada Airen yang berdiri di sampingnya.

"Omi ... tadi kan susternya bilang kalau mama sama papanya Omi sibuk kerja," ujar Airen kemudian.

"Thapi Omi mawu na thidul di yumah," kata Omi.

Buliran air mata mulai keluar dari mata sipitnya, Omi memeluk erat bonekanya sembari menatap Airen berharap di antar pulang.

"Mbak, memangnya di rumah lamanya enggak ada siapa-siapa?" tanya Rayhan.

"Iya Mbak, kasihan kalau nangis terus mungkin dia belum terbiasa sama anak-anak lainnya," sahut Sihar.

Iya, itu benar.

Anak sekecil Omi pasti belum terbiasa di tinggal di rumah singgah, pasti akan mencari kedua orangtuanya.

Namun, alasan apa yang harus Airen berikan untuk memperjelas bahwa kedua orangtuanya sudah meninggal karena kecelakaan pesawat?

'Mana mungkin anak sekecil Omi mengerti kata kecelakaan?'

"Ssst ... cup! cup! Sini lihat, om bisa sulap." Marshall memperlihatkan kedua telapak tangannya yang kosong.

Omi memperhatikannya dengan seksama, Marshall pun mengatakan, "Omi mau apa?? es krim, permen, atau susu?"

"Omi mawu puyang," jawab Omi dengan polos.

Marshall menghela napas. "Mantranya enggak bisa jauh-jauh sayang, tunggu lihat apa yang akan ada di tangan om."

Marshall kembali membuka telapak tangannya.

"Tuthu."

"Iya, minum susunya ya biar tambah tinggi. nanti kalo sudah di jemput Omi boleh pulang sekarang Omi tidur dulu, kalau Omi enggak tidur nanti di mamam hantu."

"Enda mawu."

"Ya, sudah, kalau enggak mau ... minum susunya terus tidur ya." Marshall mengelus puncak kepala Omi lalu melirik Airen.

"Ah! ayo sini tante bantu buat susunya," ajak Airen.

Dengan polos Omi mengangguk lalu mengambil susu dari telapak tangan Marshall.

***

"Sudah tidur?" tanya Marshall lirih.

"Sudah tidur semua kok, untung aja anak-anak lainnya bisa kerja sama." Airen menutup pintu kamar tersebut perlahan.

"Syukurlah, by the way ... aku baru ngelihat Omi," kata Marshall.

"Marshall, kita ngomong di belakang aja ya ... takutnya mereka terganggu," ujar Airen.

Marshall mengangguk pelan, mereka pun kembali ke teras belakang. duduk berhadapan.

Sementara Sihar dan Rayhan sibuk dengan dunianya sendiri.

"Omi baru di antar tadi pagi sama perawat," kata Airen. "Orangtuanya sudah meninggal."

"Hah?! beneran?? memangnya enggak ada keluarga lain di rumahnya sampai perawat harus mengantarnya ke sini?" tanya Marshall dengan penuh keterkejutannya.

"Perawat sudah mengantar ke alamat orangtuanya di sana ada bibinya tapi, ya kamu tau lah gimana rasanya jadi anak yang terlahir dari keluarga kaya." Airen menghela napas.

"Tapi Omi kan masih kecil, mana mungkin juga dia ngerti warisan," celetuk Marshall agak gemas.

"Lho Mas, Sekarang ini kecil besar tua muda kalau jadi pewaris pasti harus di singkirkan. enggak peduli dia ngerti atau enggak, otak manusia sekarang itu ibarat budak uang, Mas," timpal Rayhan.

"Benar, tapi ... enggak sekecil Omi juga, dia masih butuh orangtua sambung," jawab Marshall.

"Zaman sekarang memang lebih kasar, kadang anak kecil tak berdosa yang dijadikan tumbal keserakahan. Zaman sekarang jarang orangtua bisa mengerti kondisi psikis anaknya, miris sekali," kata Airen.

"Ah, mereka mah maunya enaknya aja giliran udah jadi malah di buang," kekeh Sihar dengan mata melebar.

"Raimu yo djancok!" balas Rayhan di susul tawa terbahak dari Sihar.

Uwuwuwu

ありがとう!

Terima kasih banyak untuk kalian para pembaca yang sudah setia mengikuti kisah Yevan.

eummm ...

Aku bingung kenapa kalian masih setia sama cerita ini tapi, yang jelas terima kasih banyak 💚

Without you're all, cerita chia bukan apa-apa :")

Chia juga mau bilang kalau cerita ini tembus 1k pembaca

Chia bakal cover lagu 'Find You dari MonstaX"

----------....--------