webnovel

I Found

Aku dan kamu yang terpisah oleh jarak Aku dan kamu yang terpisah oleh waktu Aku dan kamu yang terpisah oleh kepercayaan Tapi itu dulu. . . Dulu aku dengan susah payah mencari mu Dulu aku dengan susah payah mencari kabar mu Dulu aku dengan susah payah mencari dimana keberadaan mu But now, i'm find you ---- Lalu kalimat aku dan kamu pun sekarang berubah menjadi kata kita

Unichias · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
26 Chs

Believer

~Jangan lupa meninggalkan jejak~

"Kamu jago masak, pasti betah deh kalau aku punya pendamping hidup kayak kamu."

Airen melirik laki-laki di sebelahnya itu kesal.

"Harum banget," ucapnya lagi. "Jadi enggak sabar nyicipin."

"Daripada kamu banyak omong, lebih baik kamu buat adonan whipped creamnya." Airen menyodorkan panci yang sudah berisi kuning telur dan butter.

"Ini bagaimana cara membuatnya?? memang bisa??" tanya Marshall sembari menggaruk tengkuk.

Airen memutar bola mata malas. "Susah sih ya, hidup jadi orang berada yang maunya tinggal jadi ... kolot banget."

"Ya ampun ... tajam banget sih omongannya, nyesek abang," balas Marshall mengerucutkan bibir.

"Enggak usah sok manis, deh, keburu gosong itu muffinnya," ketus Airen.

Kemudian Ia membuka microwave yang ada di sebelah kanannya tersebut. hidangan yang ia masukkan sudah matang dengan bentuk yang sempurna.

"Ck!"

Dengan cepat Marshall menarik tangan Airen dan menyiramnya dengan air di westafel.

"Marah-marah terus sih ... jadi teledor, kan," gumam Marshall.

Airen mencebik. "Kamu aja yang kurang inisiatif!"

"Lha, salah lagi aku?" tanya Marshall.

"Gosong itu muffinnya," ketus Airen.

Marshall menatap manik mata Airen sebentar, setelah itu ia menyaut kain lap yang tergantung di kitchen bar dan mengeluarkan loyang dari dalam microwave.

"Bentuknya bikin ngiler ...," ucap Marshall.

Airen tak memperdulikan ucapan Marshall karena Ia sendiri sibuk merendam tangannya yang melepuh.

"Jangan di rendam terus nanti terkelupas kulitnya ... nih, aku ada salep untuk luka bakar." Marshall menyerahkan sebuah kemasan tube kepada Airen.

"Enggak deh," tolak Airen.

Marshall mengerutkan dahi. "Kenapa? takut perih ya?"

"Apa sih?" tanya Airen dengan sedikit ketus.

Marshall terkekeh kecil. " Masa kalah sama Omi sih."

Kali ini Airen tidak tinggal diam ia memukul bahu Marshall penuh kekesalan. Marshall pun tidak bisa banyak berkutik, ia hanya tertawa melihat Airen tersulut emosi.

"Hmm ... hmm!" Sebuah suara berat mengejutkan Airen dan Marshall.

"Eyang ...."

"Seru banget pacarannya, sampai lupa Eyang daritadi nungguin muffinnya." Eyang berjalan menuju sebuah rak berisi piring-piring.

Marshall menggaruk tengkuknya canggung, sementara Airen hanya bisa terdiam.

"Aromanya aja udah bikin perut keroncongan, apalagi kalo makan," gumam Eyang sembari menghirup uap muffin buatan Airen.

"Eyang, kita enggak pacaran." Airen  membuka suara.

Eyang terkekeh, lalu mengatakan, "Eyang juga pernah muda, sudah ya ... Eyang masuk dulu."

"Tapi Eyang, kit—"

"Udah fokus masak sana," potong Eyang lantas pergi dari dapur.

"Eyang kamu udah ngerestuin aku?" tanya Marshall.

"Kalaupun Eyang ngerestui aku juga enggak mau nikah sama kamu," gumam Airen.

Marshall menyeringai kecil. "Yakin enggak mau?"

Airen mengedik lalu mengalihkan pandangannya.

***

"Ssst ... jangan nangis terus, ini minum aku buatkan ice latte." Yevan meletakkan gelas di hadapan Aisha.

"Makasih, Kak," ucap Aisha.

Yevan duduk di sebelah Aisha dengan mata bergetar.

"Lebih baik ... aku berhenti sekolah aja, kak, aku bisa kerja nerusin usaha ayah, kok," kata Aisha.

"Berhenti sekolah? terus kamu mau kerja gitu aja?? eumm ... bener memang tanpa sarjana pun kamu bisa sukses tapi, setidaknya kamu tamatin dulu sekolah kamu," kata Yevan.

Aisha merunduk.

"Oh ya, apa almarhum pak Ibnu pernah bercerita tentang ibu tiri kamu?" tanya Yevan.

Aisha mengusap sudut matanya menggunakan punggung tangan. "Sesekali, ayah pernah bercerita."

"Terus kamu tau di mana mereka sekarang??" tanya Yevan lagi.

"Seingatku ayah pernah bilang kalau mereka tinggal di Malang," jawab Aisha.

"Alamat spesifiknya kamu enggak tau?" tanya Yevan.

"Ak—"

Dering ponsel Yevan memotong pembicaraan mereka.

"Maaf ya, aku angkat dulu." Yevan menekan tombol hang up. "Halo ...."

"...."

"Hah?! yang benar kalau ngomong,"

"...."

"Ya sudah, aku ke sana sekarang!"

Dengan kesal Yevan mematikan sambungan telponnya dan berdiri. Ia melirik Aisha di sebelahnya.

"Aisha, aku ingin ke rumah sakit apa kamu mau ikut?" tanya Yevan

Aisha mengangguk.

Sesampainya di koridor rumah sakit Yevan bertemu dengan Dorothea yang sedang terduduk pucat.

"Dorothea, apa yang terjadi sama Rachel?" tanya Yevan tanpa basa-basi.

Dorothea menggeleng. "Enggak ... aku enggak tau kak, yang jelas banyak banget darah ngalir dari kaki kak Rachel."

"Darah ngalir?? kok bisa, dia jatuh atau gimana?" runtut Yevan tanpa jeda.

"Enggak tau, kak," jawab Dorothea dengan mata berkaca-kaca.

Tak lama kemudian seorang dokter spesialis kandungan keluar dan membuka masker yang di kenakannya.

"Bagaimana keadaan Rachel, Dok?" tanya Yevan.

"Bapak suaminya?" balas Dokter muda tersebut.

"Eummm ... saya keluarganya, Dok," jawab Yevan.

"Saat ini Bu Rachel kritis Pak, Ia kehilangan  banyak darah untungnya Bu Rachel cepat di bawa ke sini, kalau tidak mungkin keduanya tidak selamat, Pak," jelasnya.

"Lalu, Dok ... bayinya bagaimana?" tanya Yevan.

"Alhamdullilah selamat, Pak. namun, kondisinya juga sangat lemah." Dokter tersebut melepas sarung tangan medisnya. "Omong-omong, Pak, bagaimana bisa Bu Rachel mengonsumsi peluruh kandungan?"

Yevan melotot tak percaya. "Ob—obat peluruh kandungan?"

"Berdasarkan hasil lab, ada beberapa butir serbuk yang tertinggal di jemari Bu Rachel, Pak," kata Dokter itu.

"Dorothea, kok kamu enggak tau dia beli obat peluruh kandungan?" tanya Yevan pada Dorothea yang sama terkejutnya.

"A-aku enggak tau kak, bahkan bentuknya gimana pun aku enggak tau, enggak paham," ucap Dorothea.

"Ya sudah Dok, lakukan yang terbaik untuk Rachel ya, saya mohon ... saya akan bayar berapa pun asal Rachel dan bayinya selamat." Yevan menggenggam jemari Dokter muda tersebut.

"Kami akan berusaha lebih keras untuk mendapatkan pendonor darah O, Pak. kebetulan stok golongan darah O sangat jarang di Rumah sakit kami," kata Dokter tersebut.

"Maaf Dok, golongan darah saya O ... apa boleh saya mendonorkannya?" tanya Aisha.

"Mari ikut saya ke ruang donor," kata Dokter tersebut.

Yevan melirik Aisha sedikit. "Kamu yakin?"

Aisha tersenyum dan mengangguk pelan. setelah itu ia mengikuti dokter tersebut.

Dorothea masih terduduk pucat di kursi tunggu.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Yevan.

"Aku enggak tau kak, tiba-tiba saja Kak Rachel berteriak kesakitan. aku pikir ia terkena tumpahan kopi lagi ...."

"Apa yang di pikirkannya hingga nekat seperti itu," ucap Yevan frustasi.

***

Airen berjalan mengendap-endap ke ruang tamu, Ia berharap tidak ada anak-anak yang menghampirinya untuk mengajak bermain.

Airen merasa sangat pegal setelah berjam-jam berjibaku dengan adonan yang tidak ada habisnya. Ia duduk di salah satu sofa dan memijit pelan lengannya.

"Capek?"

Sebuah suara membuat Airen mendongak. "Enggak."

"Enggak usah bohong ... nih, aku buatin matcha." Marshall meletakkan cangkir di hadapan Airen.

"Sok baik banget sih," dengus Airen.

"Bukan sok baik tapi, kasihan aja pasti kamu capek banget." Marshall duduk di sebelah Airen.

"Enggak usah sok kasihan, toh nanti juga kalo kamu nikah kamu bakal lupa kata-katamu barusan," dengus Airen.

"Hah??"

"Cowok itu kalo udah nikah ibarat banci," kata Airen lagi.

"Kok gitu sih, memang kamu udah nikah?" Marshall terkekeh melihat kekonyolan Airen.

"Itu fakta empiris! Makanya kalo punya mata sama otak itu di sinkronin biar enggak bego," balas Airen.

"Kamu PMS ya? daritadi ngegas mulu ...." Marshall mendelik, lalu menyenderkan punggungnya ke sisi sofa. "Ya ... memang sih, sebagian cowok memang kadang gobloknya sampai kromosom. mereka berani nikah tapi, gak berani jadi kepala keluarga yang bisa memberi teladan. mirisnya lagi mereka itu memperlakukan istri enggak lebih dari pembantu, padahal udah jelas kalau istri itu tugasnya jadi pendamping hidup bukan jadi pembantu gratisan."

"Dan pastinya kalian menggunakan embel-embel itu kewajiban seorang istri, kan," celetuk Airen.

"Kewajiban seorang istri tapi, enggak ada berhentinya kerja 24 jam, pantes aja cewek-cewek jaman sekarang takut nikah, orang nikah cuma jadi ratu sehari doang seterusnya jadi pembantu." Marshall tertawa kecil.

"Thanthe ailna abic."

Tiba-tiba saja suara Omi terdengar dari ambang pintu dapur, Airen menghela napas lantas menggulung lengan bajunya.

"Aku aja yang angkat galonnya, Ren," kata Marshall.

"Gak usah, aku bisa sendiri kok. mending kamu duduk santai aja minum matchanya sambil baca koran, hitung-hitung aku mau latihan jadi pembantu biar waktu nikah nanti suamiku enggak usah repot-repot turun tangan buat angkat galon," tukas Airen.

Marshall menautkan kedua alisnya, "Memangnya Yevan bakal rela kamu kerja keras?"

"Ganti aja celana jeansmu dengan rok lipit, kalian terlihat sangat kemayu untuk jadi suami," timpal Reyhan yang tiba-tiba datang dari pintu belakang.

"Kenapa kesannya jadi memojokkan gini?" tanya Marshall.

"Memojokkan dengan fakta lebih baik," sahut Airen.

"Iya deh, iya ...."

***

tiitt tiitt tiitt ....

Suara elektrokardiogram membuat Yevan yang berjaga di ruang rawat Rachel bergegas memanggil dokter.

Ia melihat Rachel sedikit kejang saat  alat itu mulai berbunyi.

"Mohon tenang Pak, kami akan memeriksanya." Dokter muda tersebut segera mengeluarkan stetoskop dan memeriksa detak jantung Rachel. "Tidak apa-apa, Pak. ini hanya kejang biasa."

Yevan menghela napas pelan. "Benarkah itu, Dok?"

"Iya, Pak, kemungkinan sebentar lagi Bu Rachel akan sadar," jelas Dokter tersebut.

Setelah itu Ia keluar dari ruang rawat tersebut. Yevan sendiri mulai mendekati Rachel yang masih terbaring di bangsal rumah sakit.

'kenapa kamu begitu bodoh ingin menyingkirkan anakmu sendiri?'

Tak lama pintu terbuka lagi, Yevan menoleh dan mendapati Aisha berdiri di ambang pintu dengan canggung.

"Kak, aku boleh masuk?" tanyanya.

"Masuk aja sini, kebetulan aku mau nanya tentang ibu tiri kamu," jawab Yevan lantas membimbing Aisha duduk di sofa tunggu.

Aisha mengikuti Yevan, lalu Ia menyerahkan sebuah kertas. Yevan menerimanya dengan pandangan penuh tanda tanya.

 

"Aku menemukan foto itu di kamar ayah," kata Aisha.

"Ini foto kamu?" tanya Yevan bingung.

Aisha menggeleng cepat,