Tiara POV
Aku bernafas lega sambil mengatur nafasku kembali agar lebih tenang. Suara tangisan bayi kini terdengar begitu melengking ditelingaku. Suara nyaring itu menandakan bahwa seseorang telah lahir dan tanpa menunggu lama aku tahu siapa. Itu bayiku. Bayi kecilku yang sudah 9 bulan ini aku nantikan. Haru Bercampur senang kini menyelimuti relung hatiku. Dia..dia seorang lelaki. Aku mengedipkan mataku namun entah mengapa kini aku sudah berdiri disebuah ruangan yang tak aku kenali padahal jelas tadi aku baru saja melahirkan. Disana aku melihat bayiku lagi yang sedang merangkak menghampiriku. Aku segera meraihnya, menggendongnya dengan kedua tangan. Anak itu tersenyum dengan salah satu tangan menyentuh bibirku. Apakah secepat ini anakku tumbuh?. Lagi-lagi entah bagaimana caranya anakku hilang dalam gendonganku dan beralih kesampingku. Dia…dia sedang mencoba berjalan sekarang. Astaga, apa yang terjadi. Kenapa waktu berjalan begitu cepat. Hanya dalam satu kedipan mata aku melihat bagaimana perubahan drastis anakku.
"Zidan….Zidan….ayo sini…" Seseorang memanggil anakku. Ya…itu memang panggilannya. Dengan berani anak itu melepaskan tanganku dan berjalan menuju suara yang memanggilnya. Suara yang begitu besar dan aku yakin sang pemilik adalah seorang pria dewasa.
"Ayo dikit lagi jalan ke Papa…" Ucapannya membuatku sedikit terkejut. Jadi…anakku akan berjalan kearah Papanya refleks aku langsung menaikkan wajahku dan melihat kearah pria itu namun bukannya melihat wajahnya aku malah silau oleh cahaya yang kini membangunkanku. Aku terengah-engah merasa Lelah dengan apa yang terjadi. Aku seperti sudah melintasi Lorong waktu dalam waktu yang singkat. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan dan disudut sofa ada 2 orang yang langsung berjalan kearahku.
"Tiara?, kamu kenapa?." Orang yang aku kenal membantuku untuk duduk. Itu Jay. Kepalaku sendiri sedikit sakit sekarang jadi aku memeganginya untuk meredakan sakit itu.
"Apa sakit?."
''Aku pingin minum…" Aku dengan suara kecil. Orang yang memiliki wajah persis seperti Jay nsegera mengambilkan tempat minum. Dia menyodorkan sedotan agar aku bisa minum segera mungkin. Setelah selesai minum, Kay segera menyalakan lampunya.
"Tiara, ada apa?." Kay mengulangi pertanyaan Jay tadi.
"Zidan mana?." Ucapanku membuat Jay dan Kay saling menatap. Ya….aku ingat. Aku ingat tentang anakku. Aku memimpikannya tadi.
"Zi..zidan?."
"Iya, aku pingin ketemu Zidan…"
"Oke, aku bawa dia kesini…"
"Jay..jay tenang. Tiara…Zidan ada dirumah, dia lagi tidur besok pagi aku jemput dan aku bawa kesini." Kay dengan suara lembut. Beda dengan Jay yang terlihat seperti panik.
"Zidan, kasian dia pasti cariin aku."
"Kamu inget?."
"Aku..aku tadi mimpi dia…" Aku mulai bercerita dan entah kenapa aku merasa sedih sekarang. Air mataku sedikit naik dan entahlah aku benar-benar merasa sedih.
"Aku..yang lahirin diakan?, aku yang jagain dia, aku liat yang nemenin dia jalan…"
"Tiara…" Jay kini duduk disampingku dan segera memberikan pelukan hangatnya. Aku langsung menangis sejadi-jadinya. Aku tak tahu kenapa, tapi aku ingin menangis. Kenapa aku jadi begitu sedih?. Inikan hanya ingatan yang kembali. Aku bisa merasakan tangan Jay mengelus halus punggungku dan juga rambut dibelakangku. Mungkin ini adalah ingatan seorang ibu.
"Iya kamu yang lahirin waktu itu, kamu yang jagain dia juga. Udah aku bilang, kamu ibu yang luar biasa buat ZIdan. Udah jangan nangis, kalau kamu pingin ketemu sekarang, aku bisa bawa dia."
"Jangan…jangan pergi please…" Aku dengan refleks malah mengencangkan pelukannya. Kay yang semula berdiri disana kini perlahan menjauh dan lama kelamaan dia keluar dari kamar kami.
"Oke tenang, kamu mau minum lagi?." Tanya Jay dan dijawab anggukkan olehku. Dia melepaskan pelukannya lagi lalu menyodorkan gelas minumanku. Tidak lupa satu tanganya menyeka air mataku. Dia benar-benar baik hati meskipun aku belum megingat dengan jelas tentangnya.
"Aku dulu selalu takut punya anak, aku takut dia sama kaya aku tapi waktu itu kamu, kamu yang yakinin aku kalau itu ga papa. Kamu mau nerima apapun kondisi anak kita sampai akhirnya kita beneran punya anak. Dari awal Zidan lahir sebenarnya ketakutan itu masih ada, aku selalu perhatiin gimana pertumbuhan anak aku dan setiap kekhawatiran selalu kamu jawab 'itu wajar, Zidan ga papa.' Jadi…jangan sedih Tiara, kamu itu selalu ngerawat Zidan dengan baik." Jay menceritakan sesuatu yang sama sekali aku tak ingat.
"Tapi aku lupa dia…"
"Dan sekarang kamu inget, kamu pingin ketemu sekarang?, aku jemput Zidan aja ya…"
"Aku yang pingin pulang. Aku pingin pulang Jay…"
"Kamu masih sakit.."
"Aku udah sehat, Aku bisa kok jalan pelan-pelan.." Aku memohon agar segera pulang dari rumah sakit. Aku sudah Lelah berada disini, makan tak enak, minum obat yang belum bisa mengembalikan ingatanku. Jay diam berpikir.
"Please Jay….aku pingin pulang."
"Oke, aku urusin ini nanti pagi, kita pulang hari ini."
"Makasih…"
***
Sejak semalam aku tak bisa tidur lagi, aku terlalu senang akan pulang dan bertemu dengan Zidan. Dokter pun telah melakukan pemeriksaan padaku. Dia kini sedang berbicara dengan Jay dan Kay diluar.
"Gimana? Aku boleh pulangkan?."
"Engga, kondisi kamu ga sebaik yang kamu rasain Tiara.."
"Aku pingin pulang Jay…"
"Iya kamu pulang, aku udah minta kamu dirawat dirumah aja." Perkataan Jay membuatku bingung tadi katanya aku tak boleh pulang sekarang dia bilang aku akan dirawat dirumah.
"Maksud kamu?."
"Aku udah bilang kamu tetep ngejalanin perawatan intensif kok."
"Aku telepon yang lain dulu ya…"
"Mereka suruh tunggu dirumah aja Kay.."
"Oke…" Kay keluar lagi.
"Makasih.." Aku memeluk lagi Jay. Pria itu hanya bediri sambil merangkul bahuku. Kalau benar dia suamiku, aku pasti sangat beruntung.
"Aku beres-beres dulu.."
"Aku pingin Cobain berdiri, aku pegel…"
"Oke…" Jay mulai membantuku untuk berdiri. Pertama aku memindahkan kaki kesamping agar nanti mudah turun. Dilain sisi Jay mendorong tiang infusku agar tak lepas dan melukaiku. Kini aku sudah terduduk dan siap untuk meluruskan kaki diatas lantai.
"Pelan-pelan…" Jay mulai meraih pinggangku dan tentu saja memegangku. Perlahan aku turun namun baru juga telapak kakiku menyentuh lantai aku sudah melemas. Dengan sigap Jay menahan bobot badanku.
"Sakit?."
"Kaki aku ga kuat berdiri."
"Bisa, kamu pasti bisa. Pegang tangan aku…" Jay mengulurkan kedua tangannya lalu kedua tanganku memegangi dilengannya. Waw….bisa aku rasakan otot-ototnya yang keras. Tenaganya pasti sangat kuat, bagaimana dengan bentuk badannya ya?. Aku jadi senyum-senyum sendiri malu.
"Kamu kenapa?."
"Engg..engga…" Aku mencoba berdiri lagi dan kali ini benar-benar berhasil. Setidaknya aku berhasil berdiri tegak meskipun belum bisa berjalan satu langkah. Saat menaikkan wajah mataku otomatis bertemu dengan matanya. Dia sedang menatapku juga. Bulu matanya yang lentik begitu jelas terlihat saat dia mengedipkan matanya. Tak ada pembicaraan apapun, mendadak aku dan Jay menjadi sedikit canggung. Tangan Jay yang semula memegang tanganku kini dia lepaskan salah satunya. Tangan itu membenarkan rambutku lalu turun menyentuh mataku, mengelus pipiku. Tindakan-tindakan itu membuat jantungku berdegup lebih kenyang apalagi sekarang jari-jarinya mulai mengusap bibirku dan ada pergerakkan yang tak bisa dari badannya.
"Jay..ak…" Suara Kay membuat kami berdua menoleh kearahnya secara bersamaan.
"Eh iya kenapa?." Jay segera menjauhkan tangannya.
"A..aku udah nelpon Daddy sama om Fahri, mereka bakalan nunggu dirumah."
"Oke, aku mau beres-beres dulu tadi Tiara pingin berdiri." Jay terlihat salah tingkah. Dia lucu. Aku heran sebenarnya apa yang unik dari dia?, dia selayaknya pria lain hanya.
**To be continue