Eric dan Raymond berada di ruang BP saat ini. Mereka diberi hukuman menulis 'surat permintaan maaf' sebanyak 200 lembar.
Selama ini Eric bungkam. Bahkan, air matanya berkali-kali lolos dan jatuh ke kertas di depannya. Ia tidak takut meski harus memusuhi seluruh sekolah, yang ia takutkan hanya jika ayahnya benar-benar dipanggil ke sekolah.
Apa yang akan dia jelaskan tentang fitnah saat ini? Bagaimana jika setelah itu ayahnya semakin membencinya? Bagaimana jika ayahnya sakit karena memikirkan masalah ini?
Membayangkannya saja sudah membuat hati Eric mengerut.
"Eric?" panggil Raymond.
"Ya?"
"Sekarang apa yang kamu coba rencanakan, ya?"
Eric mengernyit. Dia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan sahabatnya.
"Maksudnya?"
"Apa mencuri kini menjadi hobi favoritmu, eum?" ucap Raymond, sambil terus menulis hukumannya.
Eric terdiam. Amarahnya membuncah. Eric bisa terima jika itu tuduhan dari orang lain, tapi jika tuduhan itu dari sahabatnya sendiri, ini sungguh sangat menyakitkan. Eric berkali-kali menghela napas untuk mengontrol emosi.
"Apa mencuri hati kakak kembarku saja belum cukup bagimu?"
"Heeehhh?" Eric geram. Ia melempar penanya dan berhasil mendarat ke kening Raymond.
"Tidak lucu, Kak!"
"Aakh!! Betapa kejamnya kau pada kakak iparmu ini, eo?" sahut Raymond. Raymond memiliki saudari perempuan. Mereka kembar. Tapi, mereka berbeda kelas. Rosa satu kelas dengan Eric, sedangkan Raymond di kelas yang berbeda.
Rosa secara terang-terangan menunjukkan kekagumannya pada sahabat kakak kembarnya itu. Meski Eric berumur satu tahun lebih muda dari Raymond dan Rosa, tapi mereka satu angkatan.
Eric mencebikkan bibirnya, mengabaikan keluhan dan ocehan Raymond.
"Ahahaha ... tersenyumlah, Eric! Masih banyak yang akan percaya padamu, contohnya aku, Alice dan Rosa tentu akan lebih percaya padamu, Sahabatku," ungkap Raymond. Dia menepuk pucuk kepala Eric berkali-kali, seperti saudara yang menenangkan saudaranya yang sedang sedih.
Eric menarik kedua sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman.
"Ah, begitu dong! Eric yang kukenal itu tidak akan lama-lama terlarut dalam kesedihan. Jadi, sekarang tersenyumlah, Sobat!" gumam Raymond.
Eric kembali menarik kedua sudut bibirnya. Setidaknya masih ada Raymond, yang selalu akan percaya terhadapnya, jadi Eric merasa sedikit tenang.
"Percayalah! Keadilan pasti akan menang," ucap Raymond sambil menepuk bahu Eric.
"Terimakasih, Kak Ray," sahut Eric.
***
Sore ini, seperti biasa, Eric menjadi pelayan di sebuah restoran. Mencatat pesanan, mengantar makanan ke pelanggan dan mencuci piring menjadi pekerjaannya setiap sore hingga menjelang malam.
Eric melakukan tanpa mengeluh. Sejak papanya mengeluh tentang pengeluaran untuk kebutuhan mereka, kini Eric bekerja lebih keras lagi untuk membantu papanya.
Namun, saat Eric sudah berniat seperti itu, malah papanya yang ganti berubah. Papanya jadi sering mabuk-mabukkan beberapa bulan terakhir ini. Padahal, sebelumnya tidak pernah.
Eric bahkan merasa jika itu bukan papanya yang konyol lagi. Eric tidak tahu apa yang mendasari perubahan sikap papanya. Pasti telah terjadi sesuatu, batin Eric.
Jam menunjukkan pukul 8 malam, sudah saatnya ia pulang. Sebelumnya, Eric sudah membersihkan seluruh restoran.
Ada senyuman samar tercetak di bibir Eric mengingat hari ini adalah akhir bulan. Saatnya menerima gaji.
Eric mengetuk pintu ruangan bosnya. Ia sudah memanajemen untuk apa saja uang ia habisnya. Selain untuk membeli keperluan sehari-hari, ia juga menyisihkan untuk membayar biaya sekolah. Dia hanya diberi keringanan biaya bulanan, biaya yang lain-lain masih harus tetap dibayar.
"Masuklah!" Suara berat dari dalam ruangan.
Eric perlahan masuk dan membungkuk.
"Saya sudah membersihkan semua tempat, dan saya pamit untuk pulang, Bos."
Lelaki yang berada di hadapan Eric mengangguk. Ia mengambil amplop berwarna coklat yang sudah ia siapkan di atas meja.
"Ini gajimu bulan ini, Adik. Sudah aku potong untuk ganti rugi benda-benda yang kau pecahkan."
Eric menerimanya, ia mengecek nilai uang yang baru ia terima. Hanya beberapa lembar uang lima puluh ribuan rupiah saja. Eric terkejut, nominal ini tak sesuai dengan kerja kerasnya selama ini.
"Maaf, Pak Bos. Bukankah kesepakatan kita dulu, Anda membayar saya 5000 rupiah perjam. Berarti, selama saya bekerja 4 jam perhari jadi 20.000 rupiah. Saya bekerja di bulan ini selama 26 hari. Seharusnya, gaji saya 520.000 rupiah 'kan, Pak Bos?Kenapa Anda hanya memberi saya 300.000 rupiah, Pak Bos?" protes Eric.
"Kalau kau tak terima, kau boleh keluar dari sini, Dek! Lagipula, sudah untung aku mempekerjakan pelajar sepertimu! Aku tidak butuh pekerja anak si bawah umur!" Lelaki itu berucap, dingin.
"Maaf, Anda tidak bisa berbuat seperti ini pada saya, Pak Bos! Saya bisa menuntut Anda kalau terus seperti ini!" ancam Eric.
"Tuntut saja kalau berani! Tapi, asal kau tahu, ayahmu yang duluan akan kutuntut karena membuat keributan di rumah makan ini minggu lalu!" Lelaki itu menyahut.
Eric diam membeku. Ia tak dapat lagi membantah. Ia tak mungkin sanggup jika melihat papanya dipenjara.
Minggu lalu ...
Prak!!
Pyar!!
Terjadi kegaduhan di Sagu's Restauran. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahunan mengamuk. Lelaki itu menghancurkan beberapa perabot di rumah makan itu.
Eric dan beberapa pelayan lain keluar dari dapur untuk melihat keributan. Betapa terkejutnya Eric saat tahu pembuat onar itu adalah ayahnya sendiri, Tuan Reno Yudhistira.
Bersambung....