Eric sudah hampir kehilangan kesadarannya, sebelum ia mendengar langkah kaki mendekat. Dalam samar, Eric melihat seorang laki-laki yang berlari ke arahnya.
Sosok lelaki itu terlihat begitu familiar bagi Eric. Namun, karena pandangan Eric yang mengabur, Eric mengira jika pemuda itu adalah saudaranya, Rafael Yudhistira.
Eric tersenyum melihat sosok itu mendekat. Memang selalu ada bantuan di saat terdesak seperti ini, batin Eric. Dengan begini, Eric tidak akan menahan diri lagi. Dia akan menunjukkan pada saudaranya, yang juga adalah gurunya itu, tentang kemajuan latihan Eric selama ini.
"Hey!! Apa-apaan kalian ini, hah?! Masih pelajar sudah berkelahi! Mau jadi apa kalian saat sudah dewasa nanti, hah?!" bentak seseorang yang baru saja datang ke pergulatan itu.
"Bro!! Mending kau pergi saja! Jangan ikut campur urusan anak muda! Nanti tulangmu bisa patah loh. Hahaha ...." Ucapan Vino ini diikuti tawa meremehkan dari Bima, Dimas dan Dino.
Pasalnya, mereka melihat lelaki itu terlihat sangat lemah. Apalagi lelaki itu memiliki beberapa bekas luka yang masih diperban di beberapa bagian tubuhnya.
Sosok pemuda yang baru datang itu menyeringai. Belum tahu saja bocah-bocah itu bagaimana sebenarnya kemampuan bertarung pemuda ini. Bahkan, sebelum ini dia dijuluki dengan pemburu penyihir hitam sebelum sebuah tragedi membuatnya kehilangan ingatan. Well, dia adalah Zarius.
Namun, dalam pandangan Eric yang mengabur, Eric masih mengira jika yang datang itu adalah Rafael. Bukan Zarius.
"Bro El! Jangan dengarkan mereka, Bro! Biar aku saja yang melawan mereka. Nanti kalau kau sampai hilang kendali ketika menghukum mereka, aku bisa ikut-ikutan dipenjara, Kak El!" racau Eric pada sosok lelaki berperawakan tinggi tegap itu.
Adalah Zarius yang kebetulan lewat di jalan pinggir kebun mangga itu. Zarius memang tidak punya tujuan, jadi sejak pagi dia hanya menyusuri jalanan asing. Untung saja Rio terus mengawasi Zarius dan menciptakan situasi yang seperti kebetulan ini.
"Hahaha ... jangan ngaco, Eric! Memangnya kau dan pemuda lemah ini bisa berbuat apa pada kami, hah?! Tubuhmu saja lemah, dan tubuh pemuda itu penuh luka. Pasti nanti tulangnya malah patah jika ikut berkelahi."
Nah, ini suara Bima. Dia berani berkata seperti itu karena memiliki sosok Vino yang dapat dia andalkan.
"Bima! Mending kau diam! Jangan menyulut emosinya Kak Rafael, kalau kalian masih sayang nyawa kalian!" Eric mencoba memperingatkan. Dalam pandangan Eric yang berdiri di sana adalah sosok Rafael, bukan Zarius.
***
"Hahaha ... jangan ngaco, Eric! Memangnya kau dan pemuda lemah ini bisa berbuat apa pada kami, hah?! Tubuhmu saja lemah, dan tubuh pemuda itu penuh luka. Pasti nanti tulangnya malah patah jika ikut berkelahi."
Nah, ini suara Bima. Dia berani berkata seperti itu karena memiliki sosok Vino yang dapat dia andalkan.
"Bima! Mending kau diam! Jangan menyulut emosinya Kak Rafael, kalau kalian masih sayang nyawa kalian!" Eric mencoba memperingatkan. Dalam pandangan Eric yang berdiri di sana adalah sosok Rafael, bukan Zarius.
Tidak ada yang tahu apakah itu akibat pendangan Eric yang mengabur atau Eric sedang berada dalam pengaruh sihir seseorang. Tapi, yang dilihat Eric adalah Rafael, bukan Zarius.
Padahal, Bima yang menantang duluan, tapi Eric yang malah takut. Dia takut jika Rafael akan lepas kendali dan mencabut nyawa teman sekelasnya Eric seperti mencabut rumput.
Eric mengingat jika Rafael dijuluki sebagai 'Preman Sekolah' bukan tanpa alasan. Meskipun, mereka tidak belajar satu sekolah, tapi Eric tahu tentang kekejaman saudaranya itu.
Eric masih yakin jika yang berada di dekatnya adalah Rafael. Mungkin hal ini ada hubungannya juga dengan Rio, yang memperhatikan merek dari atas tiang listrik sejak tadi.
Eric sudah tahu tentang kekejaman saudaranya itu. Hanya dia yang tahu hal itu, bahkan papanya saja tidak tahu.
"Hahaha ... jangan mengatakan omong kosong, Bocah! Aku saja tidak yakin jika pemuda lemah itu bisa menyerangku." Suara Vino terdengar angkuh.
"Kakak El! Jangan dengarkan mereka, Bro! Mereka hanya teman-temanku yang masih suka disuapin mama mereka!!" Eric kembali berteriak agar Rafael tetap mengendalikan diri.
Padahal, pemuda itu adalah Zarius bukannya Rafael.
"Hahaha ... jadi nama pemuda itu L ya, Eric? L itu apa, ya? Apakah nama itu diambil dari abjad? L M N O P Q?" Kelakar Bima, disambut riuh tawa dari teman-temannya.
Zarius hanya menyeringai, mendengarkan racauan anak-anak manusia itu. Zarius memilih abai. Dia malah berjalan santai untuk mendekat ke arah Eric.
Zarius tidak peduli meski Eric memanggilnya dengan sebutan 'Rafael'. Hal itu tidak penting bagi Zarius saat ini.
Zarius mengulurkan tangannya pada Eric.
"Eric, kau tidak apa-apa, 'kan? Jangan jadi anaknya Paman Reno jika kau kalah dalam perkelahian ini."