Giavana harus menahan rasa muak ketika dia melihat Gyarendra bertingkah mesra pada kakaknya, Magdalyn, namun sebenarnya dia mengetahui dengan jelas bahwa itu hanya manipulasi Gyarendra terhadap Magdalyn saja.
Mengenai tujuan sikap manipulatif Gyarendra, Giavana belum mengetahui secara pasti. Dia hanya berpikir bahwa Gyarendra ingin mengganggu hidupnya saja atau sekedar membalas dendam kepada dia melalui kakaknya.
Sungguh Giavana benci ketika dia harus dipertemukan lagi dengan mantannya yang menyebalkan itu. Meski dulu dia sempat jatuh hati setengah mati pada Gyarendra, namun kini sama sekali tidak!
Bagi Giavana, Gyarendra sudah usai di hatinya. Hendak membuat dia cemburu ketika melihat kemesraan yang dipertontonkan Gyarendra dengan Magdalyn? Itu tidak akan menghasilkan efek apapun dbagi Giavana selain muak dan jijik karena Gyarendra menggunakan kakaknya untuk tujuan … entah apa itu sebenarnya.
Yang membuat Giavana risih adalah setiap Magdalyn menatap ke arah lain, maka mata Gyarendra akan tertuju ke Giavana. Terkadang Giavana memergoki dan kadang dia hanya menduga melalui ujung matanya saja.
Apakah sebenarnya tujuan Gyarendra? Mengapa mendekati Magdalyn? Apakah lelaki itu tulus mencintai kakak Giavana, atau hanya untuk membuat Giavana cemburu saja?
Sepanjang perjalanan mereka berkutat di mall, Gyarendra tak segan-segan memperlihatkan perlakuan mesra dia kepada Magdalyn yang duduk di kursi roda dengan lelaki itu mendorong.
Sesekali Gyarendra akan memeluk Magdalyn dari arah belakang sambil mengecup kepala ataupun kening perempuan itu. Hal ini membuat orang-orang yang disekitar mereka, menatap dengan haru dan penuh simpatik.
Orang-orang akan tersenyum haru melihat betapa sayangnya Gyarendra kepada Magdalyn meski wanita itu berada di kursi roda.
Saat ini mereka sedang berada di bagian supermarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dan sekaligus membelikan beberapa barang untuk Bu Jena.
"Itu yang namanya cinta sejati," tutur lirih seorang ibu kepada putrinya yang sepertinya berusia awal 20. "Tetap sayang dan cinta meski perempuannya cacat. Jangan seperti mantanmu yang cuma dekati kamu karena kamu anak papa yang kaya dan cantik."
"Tapi, Ma, siapa tahu kakak di kursi roda itu juga anak orang kaya, makanya si lelaki mau." Rupanya putri dari ibu tadi tidak terima disalahkan karena sempat keliru memilih pacar.
"Hei, apa kau tidak lihat? Baju yang dipakai lelakinya itu bermerek internasional dan tidak kaleng-kaleng! Harganya saja sampai ribuan dolar, loh! Mama ini paling paham soal fashion! Malah yang dipakai si perempuannya … Mama tak yakin itu merek apaan." Si ibu tadi pun beranjak pergi mengajak putrinya dari lorong itu.
Magdalyn sebenarnya bisa mendengar bisik-bisik ibu dan anak tadi karena tak cukup jauh darinya. Dalam hatinya ada terselip perasaan sedih sekaligus tak percaya diri. Ya, dirinya ini memang pantas dikatakan orang cacat meski sebenarnya bisa berjalan normal. Tapi kondisinya begitu rapuh dan tentu akan merepotkan orang-orang di sekitarnya.
Dulu ketika Gyarendra menyatakan cinta padanya, Magdalyn sempat ragu dan ingin menolaknya karena dia sadar diri akan kekurangan fisiknya dari aspek kesehatan.
"Vigo, aku ini punya penyakit jantung yang sewaktu-waktu mudah kambuh. Aku juga pasti akan merepotkan kamu jika kita jalan sebagai pacar." Begitu kata Magdalyn saat dia hendak menolak Gyarendra.
Namun, Gyarendra gigih dan menjawab, "Aku tidak memandang penyakitmu sebagai kekuranganmu, Lyn. Justru dari situ, aku bisa mencurahkan perhatian secara lebih pada kamu. Kamu ini tidak akan merepotkan aku, sungguh! Aku justru berharap hubungan kita nantinya menjadikan aku lebih dewasa dan lebih sabar. Maka dari itu, ayo kita coba jalani dulu, yah!"
Magdalyn pun luluh, apalagi setelah dukungan penuh ibundanya. Bagi Bu Jena, perhatian Gyarendra diharapkan bisa memompa semangat putri sulungnya agar lebih positif dalam memandang hidup, dan tentu saja supaya peluang hidup Magdalyn bisa lebih panjang lagi.
Harapan Bu Jena sepertinya mulai terwujud sedikit demi sedikit ketika akhirnya Magdalyn menerima cinta Gyarendra. Hampir tiap hari lelaki itu akan datang untuk memberi perhatian pada Magdalyn.
Inilah kenapa, ketika usia hubungan mereka mencapai 3 bulan, Gyarendra nekat melamar Magdalyn. Namun, lelaki itu berkata kalau kedua orang tua dia sudah tiada dan hanya bisa diwakilkan oleh pamannya saja.
Bu Jena tidak mempermasalahkan itu. Malah, Beliau makin salut pada calon menantunya karena sudah mapan, tampan, dewasa dalam bersikap pula. Yang pasti, Bu Jena sangat bangga memiliki menantu seperti Gyarendra.
Ini yang akan menjadi tantangan tersendiri bagi Giavana untuk membeberkan mengenai sejatinya Gyarendra. Ia tak tahu apakah nanti ibu dan kakaknya akan percaya pada ucapannya mengenai lelaki itu. Pun, Giavana tak tahu apakah dia memiliki nyali untuk mengungkapkannya.
Bila dia salah bicara, bila dia salah memilih kata, bisa-bisa penyakit jantung kakaknya akan kambuh dan itu akan fatal. Dia tak mau disebut sebagai pembunuh sang kakak hanya karena ceroboh dalam berucap.
Giavana sangat menyayangi Magdalyn. Sejak dulu. Mereka tidak pernah bertengkar, terutama ketika si bungsu mengetahui penyakit kakaknya, dia makin sayang dan berhati-hati di depan kakaknya.
"Va? Vava? Halo?" Terdengar suara Magdalyn.
"Hah? Ehh? Ya, Kak?" Giavana tersadar, rupanya sedari tadi dia banyak melamun sampai termangu di depan rak tanpa bergerak meski sudah dipanggil Magdalyn.
"Ayo ke bagian yang lainnya. Kamu kenapa malah mematung di depan rak celana dalam pria?" Magdalyn menahan tawa gelinya.
"Hah?" Giavana menatap ke depan untuk meyakinkan apakah ucapan kakaknya dusta atau … astaga, ternyata benar! Dia berhadapan dengan berbagai merek celana dalam pria. Lekas saja dia beranjak dari sana, berjalan mengikuti kursi roda kakaknya.
"Hi hi … memangnya kau berlama-lama menatap deretan celana dalam tadi karena kamu hendak membelikan untuk pacarmu, Va?" goda Magdalyn.
"Tsk, Kakak … jangan ngawur, ahh! Aku ini mana ada pacar, sih?" sungut Giavana.
"Ehh? Lalu bukannya dulu kamu pernah cerita ke Kakak tentang pacarmu di Aussie? Yang kamu bilang orangnya brengsek dan posesif itu? Siapa waktu itu namanya, Va?" tanya Magdalyn sambil melirik ke belakang.
Deg!
Tak hanya jantung Giavana saja yang berdegup kencang bagai dihantam godam raksasa milik dewa Guntur, namun jantung Gyarendra pun demikian.
"O-Ohh, itu … ehm, namanya … Ren." Menjawab demikian, Giavana sembari melengos dari lirikan Gyarendra.
"Ahh, ya, Ren. Itu yang kamu bilang bikin kamu sakit hati dan benci setengah mati itu, kan? Apa kalian jadi putus atau masih berlanjut setelah itu?" Rupanya Magdalyn hanya diberi cerita singkat saja mengenai Ren oleh Giavana. Mungkin karena waktu itu Giavana tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan patah hatinya, oleh sebab itu malas bercerita banyak mengenai Ren.
"Um, sudah putus, Kak. Mana sudi aku masih lanjut pacaran dengan cowok seperti dia? Sudah brengsek, playboy, eh masih bisa sok posesif, apalagi aku yakin dia orangnya juga manipulatif, Kak!" Giavana seolah menjadikan ini sebagai ajang menyindir keras Gyarendra. Ia tak perlu melirik ke lelaki itu untuk menegaskan sindirannya. Biar saja lelaki itu tertohok keras ulu hatinya.
"Yah, kalau memang orangnya separah itu kelakuannya, Kakak hanya bisa bersyukur kamu sudah lepas dari dia, Va." Magdalyn terdengar lega.
Dalam hati Giavana, dia membatin, 'Iya, Kak, aku memang sudah bisa lepas darinya, tapi sekarang justru Kakak yang tak bisa lepas darinya'.