Di dunia ini ada dua rasa sakit yang disebabkan karena cinta.
Yang pertama adalah menahan rasa sakit, saat orang yang kita cintai memilih untuk melabuhkan hati dan cintanya kepada orang lain. Dan yang kedua adalah penantian yang tak berujung, saat orang yang kita cintai pergi dari sisi kita untuk selama-lamanya.
Itulah penderitaan yang harus Evan dan Julian tanggung untuk selama-lamanya. Namun yang berbeda dari keduanya adalah cara mencintai Rhea, kalau Evan rela melakukan segalanya demi membuat Rhea bahagia. Sedangkan Julian akan melakukan segala cara untuk memiliki Rhea, salah satunya adalah mengambil jantung dan kornea mata Rhea untuk didonorkan kepada Iris.
Tujuan Julian adalah agar dia bisa selalu mendengarkan debaran jantung Rhea yang tidak akan pernah bisa dimilikinya, Julian juga ingin agar kornea mata Rhea bisa menatapnya bukan lagi menatap wajah Evan.
Sungguh cinta yang sangat egois! Julian pikir semuanya akan berjalan seperti yang ia mau, tapi pikirannya salah.
Karena cinta itu laksana aliran air sungai yang mengalir dari hulu dan pada akhirnya akan menyatu di lautan, setinggi apa pun Julian mencoba membendungnya, sekuat apa pun usaha Julian memisahkan cinta Rhea dan Evan. Cinta Evan dan Rhea akan selalu bertemu dan tak akan pernah terpisahkan meski di dalam raga yang berbeda.
Itulah yang dinamakan jodoh.
****
"Ayolah kak, Izinin Iris melihat parade tahunan besok. Iris bosan karena terus-terusan terkurung di rumah," rengek Iris yang terus mengekor di belakang Julian dan sesekali ia berjalan di depan Julian, menghalangi kakaknya yang hendak berjalan menuju ke ruang kerjanya.
Julian mendengkus kesal. "Tidak boleh! Pokoknya kamu tidak boleh keluyuran kemana-mana! Iris, kamu masih dalam proses pemulihan, kalau terjadi apa-apa bagaimana? Pokoknya kamu tidak boleh pergi kemanapun besok, titik!"
Iris yang merasa sangat kesal dengan kakaknya langsung mengerucutkan bibirnya dan menghentakkan kakinya ke tanah. "Kak Julian egois! Kakak memangnya mau mengurung Iris di kamar sampai kapan?! Sampai Iris mati dan jadi arwah gentayangan? Pantas saja kak Julian tidak pernah bisa mendapatkan gadis yang kakak suka! Kak Julian egois," ujar Iris kesal lalu berbalik badan dan berjalan pergi meninggalkan Julian.
"Rhe– .... Ah! Iris, dengarkan kak Julian dulu! Iris!"
Iris yang sudah terlanjur kesal langsung menutup kedua telinganya agar tidak bisa mendengar suara kakaknya, ia berjalan masuk ke dalam kamar dan membanting pintu dengan kencang.
Fellix–paman Julian yang sedari tadi memperhatikan perdebatan kecil diantara 2 keponakannya itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sembari berjalan menghampiri Julian yang masih berdiri terpaku di tempatnya.
"Ada masalah apa lagi, Julian?" tanya Fellix dengan dahi mengerut yang semakin jelas memperlihatkan garis-garis keriput di dahinya.
Julian mengendikkan kedua bahu bidangnya. "Entahlah paman, sifat Iris sudah berubah total sejak operasi transplantasi jantung dan kornea mata dari Rhea. Sekarang Iris menjadi lebih keras kepala dan susah diatur bahkan ia juga selalu membangkang perintahku, terkadang aku berpikir kalau Iris adalah Rhea."
Fellix duduk di kursi, tepat di hadapan Julian. " Bukankah ini yang kamu mau? Paman pernah mendengar ini sebelumnya, tak heran kalau sifat Iris kini berubah. Karena bukan cuma Iris saja, semua pasien yang pernah menjalani transplantasi organ pasti sifat dan kebiasaannya akan berubah sama persis dengan pendonornya," jelasnya.
Julian tertawa. "Itu hanyalah sebuah rumor, Julian tidak akan pernah percaya dengan rumor murahan seperti itu."
"Kalau kamu tidak percaya, lalu kenapa kamu tadi salah menyebut nama adikmu? Bukankah kamu merasa ada kemiripan perilaku antara Iris dan juga Rhea?''
Mulut Julian seketika terbungkam dengan ucapan Fellix, dan ucapan dari pamannya itu benar adanya dan tidak mengada-ada.
"Sudahlah Julian, jangan terlalu keras kepada Iris. Biarkan dia keluar sekali-sekali," bujuk Fellix.
"Paman, Julian melakukan ini demi kebaikan Iris. Paman tahu sendiri kalau Evan sekarang sedang mengincar keluarga kita, aku hanya ingin melindungi Iris dari kekejaman Evan. Aku tidak akan pernah membiarkan Evan menyakiti Iris," timpal Julian dengan ekspresi wajah penuh rasa kekhawatiran.
"Julian! Jika memang Evan dan Rhea telah ditakdirkan untuk menjadi pasangan, meski kamu telah membunuh Rhea dengan tujuan untuk memisahkan mereka, Itu jelas percuma. Karena cepat atau lambat, takdir pula lah yang akan mempertemukan Evan dan Iris. Karena sekarang ini, bagian tubuh Rhea telah menyatu ke dalam tubuh Iris."
Julian seketika berdiri dari singgasananya sambil menggebrak meja, setelah mendengar perkataan Fellix.
"TIDAK!! Aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi! Aku tidak akan pernah membiarkan Evan dan Iris bertemu! Persetan dengan yang namanya takdir, karena takdir Evan dan Rhea sudah benar-benar berakhir. Dengan tangan inilah aku memisahkan Evan dan Rhea, dan aku bersumpah tidak akan pernah membiarkan Evan bertemu dengan Iris," ujar Julian dengan wajah menyeringai.
****
Keesokan harinya ...
"Evan, sepertinya aku harus putar balik karena sedang ada parade tahunan di jalan. Mungkin sebentar lagi jalanan akan penuh sesak dan mobil tidak akan bisa lewat," ucap Peter yang sedang duduk di bangku kemudi.
Evan yang sedari tadi pandangannya tertuju pada layar ponselnya seketika beralih ke jendela mobil, netranya kini menyapu ke jalanan dimana banyak orang terlihat mulai berkerumun di tepi jalan.
"Terserah kamu saja," ucap Evan pasrah dan tatapannya kembali terfokus pada layar ponselnya.
Mobil yang dikendarai Peter yang tadinya sedang berhenti di tepi jalan, kini hendak bersiap untuk pergi meninggalkan jalanan kota Roma yang sebentar lagi akan menjadi jalur lintas parade tahunan.
Sementara di jalanan ada seorang gadis muda yang berpakaian dress yang panjangnya sebatas lutut berwarna putih tulang, dengan memakai flat shoes warna putih terlihat sedang berlari kencang ke arah mobil Evan.
Gadis itu tampaknya sedang menghindar dari kejaran beberapa pria yang berpakaian serba hitam, agar ia tidak tertangkap, gadis itu pun segera membuka pintu mobil Evan dan langsung melompat ke dalamnya lalu menutup pintu mobil sambil menundukkan kepala dan juga tubuhnya untuk bersembunyi.
Gadis itu terlihat ketakutan dan segera menutupi mukanya dengan rambut hitam panjangnya sehingga nampak seperti hantu tanpa wajah.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Evan seraya menatap gadis itu dengan sorot mata yang tajam dan Peter yang tadinya sedang fokus menatap jalanan, langsung menoleh ke kursi belakang dan memperhatikan gadis aneh yang tiba-tiba saja menyelinap masuk ke dalam mobil.
"Cepat jalankan mobilnya, kalau tidak maka tamatlah riwayatku kalau aku sampai tertangkap pria-pria di belakang yang sedang mengejarku," pinta sang gadis.
"Lalu apa urusanku? Cepat turun dari mobilku," perintah Evan dingin.
"Tolonglah, aku mohon selamatkan aku kali ini saja. Kalian nanti bisa menurunkan aku di tempat yang aman, aku mohon. Kumohon," pinta sang gadis mengiba sambil menempelkan kedua tangannya.
Evan lantas menoleh ke belakang, ia kemudian melihat dari kaca. Tepat di belakang mobilnya ada beberapa pria yang sedang celingak-celinguk seperti sedang mencari seseorang, dan Evan kenal betul kalau itu adalah anak buah Julian.
"Lalu ... ada hubungan apa antara gadis ini dengan anak buah Julian? Kenapa ia sampai dikejar-kejar anak buah Julian?" tanya Evan di dalam hati.
"Peter! Cepat jalan," perintah Evan sambil terus menatap gadis yang sedang duduk tepat di sampingnya.
Setelah dirasa aman, gadis itu menegakkan tubuhnya lalu menyibakkan rambut panjang yang sedang menutupi wajahnya cantiknya.
"Huuufffh! Sudah aman, Graz–"
Gadis itu tidak melanjutkan perkataannya, setelah mengetahui kalau ia sedang berada di dalam mobil Evan. Mata Evan dan gadis itu kini saling menatap, debaran jantung keduanya kini sedang berpacu.
"Iris," lirih Evan mengenali gadis bermata indah nan langka, matanya sama persis dengan mata Rhea.
"Ka–kamu pria yang waktu itu, 'kan? Kamu pria di Trevi Fountain itu," tanya Iris mencoba memastikan.
Terselip sedikit rasa takut di hati Iris setelah melihat wajah Evan yang terlihat sangat dingin dengan sorot mata yang tajam bagai seorang pembunuh. Meski Iris takut, tapi ia tidak merasa khawatir dan malah merasa sangat nyaman berada di dekat Evan.
"Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa kamu bisa dikejar-kejar oleh anak buah Julian?" tanya Evan penuh selidik.
"I–itu, tadi. A–aku tidak tahu," gumam Iris tidak jelas.
"Bohong! Bagaimana mungkin kamu tidak tahu?! Peter, cepat hentikan mobilnya," perintah Evan cepat.
Peter pun segera menepikan mobil di jalanan yang terlihat sepi.
Evan segera turun dari mobil dan langsung membuka pintu mobil di sisi tempat Iris duduk. Tangan kekar pria itu langsung mencengkeram pergelangan tangan kurus Iris dan menarik keluar gadis itu dengan kasar lalu menutup pintu mobilnya keras-keras.
Evan melepaskan pergelangan tangan Iris lalu mendorong tubuh mungil gadis itu dengan kuat hingga membentur ke badan mobil dengan keras. Sampai bibir ranum Iris mengeluarkan suara desis kesakitan saking kerasnya benturan pada punggungnya.
"Cepat katakan kepadaku! Ada hubungan apa antara kamu dengan Julian? Kenapa kamu tadi harus bersembunyi di dalam mobilku hanya untuk menghindar dari kejaran anak buah Julian?" Evan menatap wajah dan mata Indah Iris dengan sorot mata tajam seperti singa yang hendak memangsa buruannya, tangan kiri Evan sedang mengunci tubuh Iris agar tidak bisa melarikan diri.
"A–aku sungguh tidak tahu," bohong Iris dengan tubuh yang bergetar hebat.
Tangan kanan Evan terlihat merogoh saku setelan jasnya, tempat ia biasa menyimpan pistol. Netra Iris membulat sempurna saat melihat tangan Evan yang sudah memegang pistol, pria berhati dingin itu tanpa ragu mengarahkan mulut pistol ke dahi Iris demi mendapat sebuah jawaban dari bibir Iris.
"CEPAT KATAKAN, KAMU SIAPA? DAN ADA HUBUNGAN APA ANTARA KAMU DENGAN JULIAN!!"
To be continued.